Kejawen: Filosofi Spiritual Tanpa Kitab Suci

Kejawen: Filosofi Spiritual Tanpa Kitab Suci

Mengapa Kejawen tidak memiliki kitab suci? Saya pernah mendapatkan pertanyaan dari beberapa orang, “Kitab suci orang-orang Kejawen itu apa sih?” Karena memang di mata sebagian orang, Kejawen itu dikira sebagai agama. Bahkan dalam buku sejarah agama manusia, Kejawen juga diulas di dalamnya, yang akhirnya semakin memperkuat dugaan sebagian besar orang bahwa Kejawen adalah agama, walau mungkin mereka mengkategorikannya sebagai agama kuno yang ada di Nusantara.

Kejawen sendiri sebenarnya lebih ke filosofi. Istilah Kejawen memiliki makna yang berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Banyak orang mengira Kejawen adalah agama atau kepercayaan paling kuno dari Jawa yang sudah ada sebelum agama-agama luar masuk ke Nusantara. Padahal, Kejawen sendiri sebenarnya adalah aliran kepercayaan yang merupakan ajaran Islam yang lebih diambil dari sisi makrifatnya, tetapi sudah bercampur atau melebur dengan spiritual Jawa dan sisa-sisa kebudayaan Hindu-Buddha. Istilah Kejawen ini populer setelah Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam dengan mengedepankan ajaran tasawuf yang sudah dicampur dengan spiritual Jawa dan tradisi-tradisi Hindu-Buddha peninggalan zaman Majapahit.

Istilah Kejawen ini eksis setelah Kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Nusantara, runtuh dan digantikan dengan kerajaan-kerajaan Islam setelahnya. Jika kalian mencari agama atau kepercayaan tertua yang ada di Jawa, itu namanya Kapitayan. Kapitayan sendiri artinya adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, di mana sebenarnya ini lebih bersifat filosofis dan sangat spiritual, tidak seperti agama yang kompleks dengan ritual-ritual, kredo, dan struktur organisasi yang kaku dan mengikat. Kapitayan justru bersifat bebas dan personal, bahkan di dalamnya tidak ada ritual-ritual khusus untuk menyembah Tuhan, berbeda dengan Kejawen yang masih banyak ritual untuk tujuan penyembahan Tuhan dan peningkatan kesadaran spiritual.

Baca Juga  Kejawen: Akar Spiritual Jawa yang Terabaikan

Lalu, apa yang menjadi kitab suci dari Kapitayan atau Kejawen? Jawabannya, Kejawen dan Kapitayan tidak memiliki kitab suci khusus yang dikhususkan dan dijaga ketat kesuciannya seperti pada agama-agama lain di Indonesia. Lalu, bagaimana orang-orang Kejawen dan Kapitayan menyebarkan ajaran spiritual mereka? Bukankah kitab suci itu adalah panduan bagi pemeluknya untuk memahami sebuah agama dan kepercayaan? Mengapa Kejawen dan Kapitayan tidak punya kitab suci?

Kalau kalian baca buku mistik Kejawen, kalian akan menemukan jawabannya. Bagi penghayat spiritual dan kepercayaan dari Jawa, kita memang tidak menemukan kitab suci apapun. Namun, dalam tradisi Kapitayan atau Kejawen, lazim ditemukan banyak sekali kitab-kitab atau serat-serat kuno yang ditulis oleh leluhur mereka yang memiliki tingkat spiritual yang tinggi. Biasanya, isi dari kitab atau tembang ini bisa dilakukan. Mungkin kalian pernah mendengar nama-nama kitab atau serat seperti Babad Tanah Jawa, Serat Centini, Kitab Mahabharata, Serat Wedhatama, atau Kitab Wirid Hidayat Jati. Ini adalah sebagian kecil nama kitab dan serat yang ditulis oleh leluhur Jawa. Serat-serat dan kitab-kitab lain ada banyak dan ditulis oleh pujangga yang berbeda-beda.

Kitab dan serat ini kebanyakan berisi tentang ajaran moral dan ajaran spiritual yang banyak disebarkan di Jawa kala itu. Dulu, memang tidak ada satu kitab suci khusus yang dijadikan sebagai pedoman. Siapapun leluhur yang memiliki pemahaman spiritual yang tinggi dan mampu menciptakan karya sastra, mereka akan menuliskan pemikirannya ke dalam serat atau kitab tersebut. Dan jangan kalian pikir serat atau kitabnya akan berbentuk seperti buku tebal seperti kitab-kitab di film-film. Leluhur dulu biasa menuliskan serat ke dalam lembaran-lembaran daun lontar yang dipotong agak pendek, lalu dijahit dan disimpan ke dalam kotak kayu. Lembaran-lembaran ini disebut sebagai kental, dan inilah yang menjadi acuan para pembelajar spiritual zaman dulu.

Baca Juga  Tanda-Tanda Ditangani oleh Sedulur Papat: Waspadai Kehidupan yang Terpuruk

Dulu, masyarakat Jawa gemar mengkaji beragam kitab dari beragam pujangga. Mereka tidak saklek berkutat pada satu kitab atau serat saja, karena setiap pujangga memiliki pemahaman spiritual yang berbeda-beda. Namun, bila ditarik benang merahnya, semuanya sama, yakni ke arah pencerahan spiritual atau kemanunggalan dan moral manusia. Format penulisan serat atau kitab ini ditulis dalam bentuk karya sastra tembang, sehingga dalam satu lembaran daun lontar yang kecil bisa memuat banyak pesan dan makna. Kata-katanya juga dipilih sedemikian rupa agar enak didengarkan ketika rakyat menyanyikan bait-bait dari serat. Inilah maka ajaran-ajaran filosofi yang termuat di dalamnya bisa menyebar dari mulut ke mulut, dan bahasanya juga filosofis, sarat dengan banyak penafsiran.

Sebab, di zaman dulu, media penulisan atau dokumentasi tidak melimpah seperti di zaman sekarang. Dulu, untuk bisa menghasilkan satu kitab saja, leluhur kita harus membuat kertas sendiri dari daun lontar, lalu ditulis tangan dan membuat kotak kayunya sebagai cover dan penyimpanan. Jika ingin menduplikat serat atau kitab ini, ia harus dilakukan dengan cara yang sama. Jadi, kebayangkan untuk memproduksi satu kitab saja diperlukan waktu berapa lama? Dulu, media menulisnya itu kecil, sehingga leluhur harus pandai-pandai memilih kata-kata. Bagaimana caranya? Dengan kata-kata yang singkat dan indah, tetapi sudah bisa mengakomodasi makna spiritual dan moral yang begitu luas. Karena itu, bahasanya menjadi sangat filosofis dan multi tafsir.

Sebenarnya, metode ini juga dipakai oleh Nabi dan rasul-rasul agama lain dalam menuliskan kitab-kitab suci mereka. Itulah kenapa bahasa dari kitab suci itu kerap kali filosofis, puitis, dan multitafsir. Nah, alasan lain mengapa dalam kepercayaan Kejawen dan Kapitayan tidak ada kitab suci adalah karena bagi penghayat kepercayaan ini, kehidupan adalah kitab suci mereka. Ini dijelaskan lebih lengkap dalam buku mistik Kejawen berikut ini.

Baca Juga  Meditasi dan Kesaktian: Mewujudkan Potensi Supernatural Manusia

Orang Jawa lebih suka mempraktekkan ilmu Titen atau ilmu mengamati dalam proses spiritual mereka. Ketika manusia mengamalkan ilmu ini, maka ia menjadi pengamat atas segala hal yang ada dalam kehidupannya. Manusia jadi pengamat bagi lingkungannya dan juga bagi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan itu sendiri. Dalam ilmu Titen, manusia hanya perlu hadir menjadi pengamat, sehingga manusia bisa netral dan bertindak objektif. Dengan kemampuan pengamatan ini, manusia bisa mengambil hikmah dari setiap hal yang terjadi dalam kehidupannya. Pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik inilah yang dijadikan orang Jawa sebagai media untuk meningkatkan kesadaran mereka.

Sehingga, orang Jawa menjadi semakin sadar, semakin mengerti hukum-hukum alam, semakin paham bagaimana kehidupan bekerja, dan menjadi semakin mengerti apa itu hakikat kehidupan dan Tuhan itu sendiri. Karena itulah, di Jawa, aktivitas meditasi menjadi aktivitas yang banyak dilakukan sehari-hari. Dengan meditasi ini, orang Jawa sebenarnya melatih dirinya untuk hadir menjadi pengamat. Bagi orang Jawa, mereka tidak perlu melekat pada satu kitab suci tertentu, karena kehidupan adalah kitab suci dari Tuhan yang harus mereka baca dan mereka pahami melalui ilmu Titen. Selengkapnya bisa kalian baca sendiri di buku mistik Kejawen.