Mengapa Tasawuf Sering Dianggap Sesat dalam Islam?

Mengapa Tasawuf Sering Dianggap Sesat dalam Islam?

Mengapa tasawuf dianggap sesat oleh orang Islam? Jika kalian membaca buku Sufisme Jawa, kalian akan menemukan jawaban dan sejarahnya. Kenapa tasawuf kerap dianggap sesat oleh sesama penganut Islam sendiri? Tasawuf sebenarnya adalah ilmu kebatinan atau mistisisme dalam Islam. Menurut penjelasan dari buku sejarah agama, tasawuf adalah sisi esoterisme dalam agama Islam. Jadi, agama Islam memiliki dua sisi, yakni eksoteris atau syariat dan esoteris atau kebatinan.

Dalam abad-abad penyebarannya, agama Islam banyak diajarkan secara syariatnya saja, sehingga muncullah gerakan-gerakan Islam yang bersifat kaku, fundamentalis, dan puritan. Mereka yang kaku dan puritan inilah yang banyak menganggap tasawuf sebagai ajaran sesat, bahkan hingga kini. Sebenarnya, ada konflik agama yang melatarbelakangi mengapa ajaran tasawuf ini sampai sekarang dianggap sesat oleh penganut Islam syariat. Tasawuf baru muncul di abad ke-8 Masehi di Timur Tengah.

Pada abad ini, Eropa sedang mengalami abad kegelapan dan harus menghadapi ancaman ekspansi umat Islam. Ketika Eropa terpuruk dalam abad kegelapan, peradaban Islam justru sedang mengalami ekspansi yang masif, menaklukkan wilayah-wilayah di Eropa. Selama masa penaklukan ini, doktrin-doktrin agama Islam dipakai untuk mengobarkan semangat jihad, yang tak lebih dari semangat menguasai wilayah baru di Eropa. Agama Islam berkembang dengan cara yang kaku dan doktrinal, sehingga sangat mudah dijadikan sebagai alat politik untuk membakar semangat perjuangan dan menaklukkan wilayah-wilayah lain.

Tasawuf sendiri muncul hampir satu abad setelah agama Islam lahir. Awalnya, tasawuf muncul karena adanya golongan umat Islam yang tidak puas dengan perkembangan agama Islam yang amat rasionalis. Hal ini menjadikan Islam bertumbuh sebagai agama yang kaku dan doktrinal. Agama Islam juga berkembang menjadi sangat formalis dan legalis, sehingga tata cara beragama menjadi ribet. Banyak orang saling menyalahkan, mengharamkan, atau membid’ahkan orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan pemahaman agama mereka. Kondisi ini mirip dengan umat Islam di Indonesia akhir-akhir ini yang suka mengkritik, menyalahkan, dan membid’ahkan tata cara umat Islam lain yang tidak sesuai dengan alirannya.

Akibatnya, banyak orang sibuk beribadah, tetapi secara keimanan mereka tidak mengalami kedekatan pada Tuhan sama sekali. Mereka sibuk membetulkan syariat-syariat orang lain, tetapi sisi batinnya atau rohaninya terlupakan dan tidak tersentuh. Sistem beragama yang seperti ini rawan membuat agama dimanfaatkan oleh politikus atau penguasa untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan politis mereka. Agama menjadi dangkal dan kering. Inilah yang terjadi di abad pertengahan atau abad kegelapan.

Baca Juga  Tanda-Tanda Ditangani oleh Sedulur Papat: Waspadai Kehidupan yang Terpuruk

Akhirnya, muncullah reaksi dari golongan penganut mistik yang lebih mementingkan sisi rasa rohani dan penghayatan agama. Mereka mulai menginginkan ikatan yang longgar terhadap syariat dan memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan atau hal-hal duniawi lainnya. Gerakan tasawuf ini awal mulanya digagas oleh Ibrahim bin Adam dan Rabiah Al-Adawiyah. Mereka memperkenalkan dasar agama Islam yang baru, yang lebih dekat pada unsur gnostik mistik, yakni rasa cinta dan penyatuan dengan Tuhan.

Pada prakteknya, para sufi atau pejalan tasawuf ini lebih suka menghabiskan hidup mereka untuk menjauhi urusan-urusan duniawi seperti harta, politik, dan tahta. Mereka lebih memilih untuk fokus mengembangkan sisi rohaninya agar rasa cinta, ikhlas, dan kemanunggalan terhadap Tuhan bisa terwujud dalam kesehariannya. Para sufi justru bisa menjalankan kehidupan secara ikhlas dan tawakal, sampai di titik mereka tidak lagi mengharapkan pahala atau menghindari sesuatu karena takut neraka. Apa yang mereka kerjakan ini benar-benar murni untuk berbakti dan menyatukan diri dalam Tuhan atau makrifat. Bagi para sufi, mencapai level makrifat adalah tahapan tertinggi yang mereka idam-idamkan.

Hal ini tentu saja tidak terjangkau oleh umat Islam yang syariat. Agar bisa mencapai makrifat, para sufi rela melakukan tapa brata yang amat berat dan lama, serta melakukan serangkaian olah batin untuk mawas diri dan menaklukkan segala nafsu di dalam diri. Tujuannya adalah agar diri manusia kembali murni, sehingga mereka bisa berada dalam fase kesadaran murni dan mengalami penyatuan mistik atau kemanunggalan dengan Sang Pencipta. Ketika mereka sudah manunggal, maka segala pengetahuan dalam diri menjadi bersumber dari Tuhan langsung, alias mendapatkan ilmu laduni.

Terkadang, seorang sufi bisa sampai membuang segala ikatan dengan dunia agar mereka bisa mengalami keterlesan dari kemelekatan dan segera mengalami penyatuan mistik. Nilai-nilai seperti inilah yang sulit diterima oleh pelaku Islam syariat, karena mereka hanya menjalankan ibadah dan beragama di kulit luarnya saja, tidak sampai masuk ke ranah batin atau rohani. Padahal, baik dalam tasawuf maupun dalam ajaran-ajaran kebatinan lainnya, sudah banyak dijelaskan bahwa ketika manusia bisa menyelami dirinya sendiri dan mengenali dirinya sampai ke sisi dalam atau batin, maka di situ manusia juga bisa mengenal penciptanya.

Baca Juga  Meditasi dan Kesaktian: Mewujudkan Potensi Supernatural Manusia

Pada kelanjutannya, gerakan tasawuf berkembang dan mendapatkan banyak murid atau peminat. Puncaknya adalah di abad ke-13 Masehi, di mana muncul banyak tarekat-tarekat Islam yang mengajarkan tasawuf di bawah bimbingan seorang guru yang dianggap telah mencapai makrifat atau pencerahan. Di abad ini, muncullah ratusan ordo tarekat yang memiliki sistem baiat atau penerimaan murid, serta cara dzikir dan wirid sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Akhirnya, penganut tasawuf pun terpecah-pecah ke dalam banyak kelompok tarekat. Ini mirip dengan kondisi ordo Kejawen saat ini yang terpecah ke dalam banyak ordo atau aliran Kejawen, di mana setiap ordo atau lembaga memiliki guru spiritual sendiri yang biasanya memiliki tata cara yang berbeda dalam latihan-latihan kebatinan mereka.

Pada perkembangan selanjutnya, gerakan tasawuf ini justru menjadi ajang pengkultusan guru spiritual. Setiap ordo atau tarekat kebatinan tasawuf biasanya diampu oleh setidaknya satu guru spiritual yang dianggap suci. Namun, akhirnya para muridnya banyak mengkultuskan guru spiritual mereka, bahkan ada yang sengaja mengkultuskan diri untuk menjaring banyak pengikut. Di sinilah awal mula gerakan tasawuf mengalami kemerosotan. Di Timur Tengah, gerakan tarekat membuahkan kemunduran dan kebekuan ajaran tasawuf. Pikiran para murid banyak dijerat dengan ajaran-ajaran atau doktrin tarekat tertentu. Selanjutnya, mereka diwajibkan untuk patuh buta kepada Sang Guru, bahkan dilarang untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri dan hanya boleh menuruti kata-kata guru dengan dalih sopan santun, etika, dan kedisiplinan.

Akhirnya, terjadilah para murid ini seperti seekor kuda yang mengenakan kacamata. Mereka tidak bisa melihat sisi kiri dan kanannya, selain ke depan dan nurut apa kata guru spiritual mereka saja. Jadinya, pemikiran murid malah terbelenggu dan terbelakang. Gerakan tasawuf yang semula dinamis dan bersifat memerdekakan individu lantas berubah menjadi gerakan massal yang tradisional dan terbelakang. Bahkan, karena tasawuf ini bergerak di bidang mistisisme, banyak juga tarekat-tarekat yang justru terjebak dalam tahayul dan halusinasi. Contohnya adalah tarekat Badawiyah yang didirikan oleh Ahmad Badawi di abad ke-13 Masehi, yang akhirnya bercampur dengan praktik dan tradisi Mesir kuno zaman Jahiliyah, seperti sihir gelap dan sebagainya. Inilah yang membuat tasawuf semakin dianggap sesat, tidak hanya oleh pengaruh Islam syariat saja, tetapi juga oleh orang yang masih memiliki akal sehat di luar tasawuf.

Baca Juga  Kejawen: Akar Spiritual Jawa yang Terabaikan

Ketika kemerosotan tasawuf telah mencapai puncaknya, Timur Tengah harus menghadapi invasi bangsa Mongol yang bengis dan kejam. Bangsa Mongol lantas merepresi para sufi ini, sedangkan umat Islam saat itu tidak mampu melawan penjajah karena sudah mengalami kemerosotan dari segi intelektualitas. Para sufi yang merasa direpresi oleh penjajah akhirnya melarikan diri ke tempat-tempat lain di Asia Timur dan Asia Tenggara untuk menyebarkan ajaran tasawuf mereka, salah satunya di Nusantara.

Kondisi kemerosotan tasawuf ini juga bisa terjadi pada gerakan kebatinan Kejawen atau pulau Jawa kuno yang ada di Indonesia saat ini. Banyak sekali ordo komunitas, bahkan perguruan Kejawen atau Jawa kuno yang dibuka untuk menampung masyarakat yang haus akan spiritualitas. Namun, yang terjadi justru banyak gerakan komunitas atau perguruan kebatinan ini malah lari ke tahayul, sehingga bercampur dengan praktik dan sihir. Pola pendidikan muridnya juga sama, yakni dibuat patuh buta dan harus nurut apapun kata gurunya setelah mereka dibaiat dan dijejali dengan doktrin-doktrin spiritual Jawa.

Jika ini diteruskan, maka bisa jadi nasib gerakan kebatinan Jawa akan sama seperti tasawuf dari negeri-negeri Arab dulu. Mereka bukannya membawa Timur Tengah menuju kemajuan zaman, melainkan malah memundurkan Timur Tengah ke dalam kemerosotan. Memang, agama yang doktrinal hanya akan menghambat kemajuan peradaban, tetapi gerakan spiritual yang terlalu mistis dan ketat juga akan berpotensi memundurkan peradaban. Jika agama syariat yang keras dan kaku ini bersifat rasional, maka gerakan kebatinan yang mistis ini bersifat rasa. Sebuah peradaban baru bisa berkembang ketika masyarakatnya bisa melampaui rasional dan rasa, atau setidaknya bisa menyeimbangkan sisi rasional dan sisi perasaan, sehingga mereka bisa menjadi toleran dan berdiri di tengah-tengah. Outputnya adalah bisa menjadi masyarakat yang tercerahkan, bijaksana, dan cerdas.