Bagaimana malaikat leluhur atau Dewa berkomunikasi dengan manusia? Dalam spiritualitas, banyak orang mengatakan bahwa sebenarnya malaikat leluhur atau Dewa bisa berkomunikasi dengan manusia, walaupun secara tak kasat mata. Bagaimana caranya? Sebelum itu, kita bedah dulu apa definisi Dewa, malaikat, dan leluhur.
Leluhur adalah istilah yang banyak terdapat di agama-agama kuno nusantara dan di beberapa agama tua di dunia, seperti Hindu dan Buddha. Leluhur artinya adalah pendahulu atau nenek moyang kita yang sudah meninggal atau moksa. Dalam agama-agama kuno, leluhur sering disucikan bahkan disembah karena mereka memiliki pemahaman spiritual dan kehidupan yang bijaksana. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa leluhur yang tingkatan spiritualnya sudah tinggi, walau sudah meninggal dunia, roh mereka bisa melakukan komunikasi dengan anak cucunya.
Dewa sendiri memiliki arti yang sangat banyak. Salah satu artinya adalah makhluk cahaya, mirip seperti definisi malaikat dalam agama-agama Samawi. Baik roh leluhur, malaikat, maupun Dewa, sama-sama didefinisikan sebagai makhluk cahaya dan berada di dimensi yang lebih tinggi daripada dimensi manusia di bumi. Dalam fisika kuantum, cahaya adalah energi dan termasuk ke dalam salah satu gelombang elektromagnetik. Di mana ada energi, di situ ada frekuensi; di mana ada frekuensi, di situ ada informasi yang bisa disampaikan.
Ketika roh-roh dari cahaya ini berkomunikasi dengan manusia, maka besar kemungkinannya mereka berkomunikasi dalam bentuk gelombang atau frekuensi elektromagnetik. Dalam filosofi Hindu, manusia sebenarnya memiliki perangkat dalam kepala yang disebut sebagai mata ketiga atau mata batin, yang berpusat di kelenjar pineal. Dalam kebudayaan-kebudayaan kuno, kelenjar pineal ini dianggap sangat penting dan kerap disimbolkan sebagai mata Siwa di dahi manusia, yang biasa dibentuk saat ritual upacara keagamaan. Kelenjar atau mata ketiga inilah yang dipercaya mampu menangkap getaran dari gelombang-gelombang elektromagnetik dari luar tubuh agar bisa saling menerima informasi. Tentu saja, frekuensi manusia harus selaras dengan frekuensi si pengirim pesan.
Orang-orang dari kebudayaan kuno sudah paham bahwa roh-roh Agung tersebut bergetar di vibrasi atau frekuensi yang tinggi. Karena itu, manusia harus meningkatkan vibrasi energinya ketika ingin bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk dimensi atas ini. Pesan yang diterima oleh kelenjar pineal biasanya diteruskan dalam bentuk intuisi atau ilham. Karena itulah, bila mata ketiga manusia makin terbuka, maka biasanya intuisi manusia juga menjadi semakin tajam dan ilham yang muncul juga makin banyak.
Dalam sejarah-sejarah agama, komunikasi antara manusia dengan malaikat ini begitu suci sehingga pesan-pesan yang diterima dianggap sebagai wahyu. Dalam kebudayaan Jawa, ini disebut sebagai wangsit. Lalu, pertanyaannya, apakah komunikasi ini selalu dalam bentuk intuisi, ilham, atau wahyu? Pada kasus beberapa orang, ada juga yang muncul dalam bentuk mimpi. Mengapa pesan ini diproses dalam bentuk mimpi? Jangan lupa, kelenjar pineal juga merupakan kelenjar penghasil hormon melatonin, di mana ini adalah hormon yang berperan dalam menghasilkan halusinasi, imajinasi, dan mimpi.
Pesan-pesan atau informasi yang diperoleh, jika masih berupa gelombang, tentu tidak akan dimengerti oleh manusia, sebab manusia terbiasa memahami komunikasi dalam bentuk suara, bentuk, atau visual. Kelenjar pineal dan hormon melatonin ini lantas menterjemahkannya sebagai intuisi, suara batin, mimpi, bahkan visualisasi. Itulah kenapa dalam kasus beberapa orang, ada yang sampai bisa mencitrakan sosok malaikat, Dewata, atau leluhur tertentu. Namun, jika dibandingkan dengan orang lain yang sama-sama bisa melihat, biasanya ada perbedaan citra. Ini bisa terjadi karena hormon melatonin memang bisa merubah gelombang tadi menjadi visualisasi atau penampakan, dan ini sebenarnya tergantung dari apa yang manusia simpan di dalam memori pikiran bahwa sadarnya sendiri.
Itulah kenapa pengalaman komunikasi dengan makhluk-makhluk dimensi atas ini sangat personal dan bisa berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Di sini, kesadaran kita lah yang nantinya memutuskan apa yang harus kita lakukan setelah menerima pesan-pesan tersebut. Apakah pesan itu penting untuk kita lakukan? Apakah itu baik untuk kita dan sekitar kita, atau kita justru malah terjebak ke dalam halusinasi? Ingat, hormon melatonin juga berperan dalam menimbulkan halusinasi saat menerima rangsangan dari luar tubuh. Merasa melihat leluhur, malaikat, atau Dewata memang bisa memunculkan euforia. Bila kita tidak segera menyadarinya, itu bisa membuat kita terlarut dan terjebak di dalamnya, dan malah membuat kita terjerat ilusi.
Jadinya, manusia berpotensi menjadi halusinasi. Tapi ketika kita menyadarinya, kita akan merenungkan dulu. Selanjutnya, ketika kita mengambil keputusan mau apa terhadap pesan-pesan yang kita terima, itu adalah karena dasar kesadaran kita sendiri yang sudah menimbang-nimbang baik dan buruknya. Di sinilah peran kesadaran kita semakin murni. Diri kita dari intervensi pikiran dan perasaan, maka semakin jelas dan objektif kita dalam melihat setiap peristiwa. Semakin pikiran dan perasaan kita mengendap, maka kesadaran murni manusia makin mendominasi, dan manusia makin bijaksana.