Apa yang dimaksud dengan diri sejati? Seperti apakah diri sejati manusia itu? Mengapa ketika mengalami kebangkitan spiritual atau spiritual awakening, kita diarahkan agar segera menemukan diri sejati kita? Sebenarnya, hakikat diri sejati itu apa sih? Apakah dia adalah sosok makhluk suci yang akan kita temui di puncak spiritual kita, ataukah ada definisi lain dari diri sejati?
Sebenarnya, istilah “diri sejati” adalah istilah spiritual yang banyak diwariskan dalam beragam filosofi, agama, dan budaya. Setiap agama bisa menyebut istilah diri sejati dengan sebutan yang berbeda-beda, namun secara hakikat, sebenarnya semuanya sama. Diri sejati berperan sebagai guru sejati kita, di mana ini adalah kesadaran murni kita sendiri. Dengan kesadaran murni ini, kita bisa memetik pelajaran dan hikmah dari setiap detik kehidupan, sehingga kita menjadi manusia yang bertumbuh bijaksana dan hidup selaras dengan hukum-hukum alam.
Sekarang kita akan melihat bagaimana tradisi dan agama-agama yang berbeda mencoba mendefinisikan diri sejati ini.
Pertama, dari perspektif filosofi Jawa kuno, hakikat dari diri sejati ini sudah disandingkan dalam huruf Jawa “honocoroko” dalam barisan huruf-huruf awal, yakni hanacaraka. Inilah letak hakikat diri sejati manusia. “Ho” artinya Tuhan atau sumber kehidupan, “no” artinya ada, “cho” artinya cipta atau pikiran, “ro” artinya rasa atau jiwa, dan “kau” artinya karso atau tubuh. Barisan awal huruf honocoroko ini sebenarnya memiliki arti sebagai berikut: Tuhan ada di dalam pikiran, jiwa, dan tubuh manusia. Dalam filosofi Jawa kuno, percikan cahaya Tuhan ini menjadi diri sejati atau ruh manusia dan menjadi pengendali atas pikiran, rasa, dan tubuh. Manusia yang sudah sadar tentang diri sejatinya artinya dia sudah sadar bahwa dia adalah pengendali bagi pikiran, jiwa, dan tubuhnya sendiri. Sehingga dalam setiap kehidupannya, dia selalu eling lan waspada atau sadar dan berhati-hati. Orang seperti ini disebut sebagai orang yang sadar atau “Jawa”.
Kedua, dalam tasawuf atau marifat, penjelasan mengenai diri sejati ini diuraikan secara detail oleh Syekh Abdul Qodir Al Jaelani dalam kitabnya. Sebelum alam semesta ini tercipta, yang ada di semesta ini hanyalah kekosongan. Tuhan lantas menciptakan Nur Muhammad sebagai cikal bakal seluruh makhluk ciptaan di semesta. Nur Muhammad ini adalah cahaya yang merupakan citra Tuhan, bersih dari segala kegelapan yang menghalangi jalalullah atau zat Allah. Nur Muhammad ini juga adalah penatuhan yang berfungsi untuk mengalirkan pengetahuan dari Allah sebagai sang sumber hidup ke manusia. Nur Muhammad adalah inti dari alam semesta atau ciptaan yang pertama. Lalu Allah menciptakan roh suci manusia yang diambil dari percikan-percikan Nur Muhammad ini. Inilah yang menjadi ruh atau diri sejati manusia yang membuat manusia bisa berkesadaran. Roh manusia yang merupakan percikan cahaya dari Nur Muhammad ini disebut sebagai ruh qudsi, sedangkan alam tempat penciptaan ruh qudsi ini adalah alam laut, yang oleh orang-orang tasawuf disebut juga sebagai negeri asalnya manusia. Ruh qudsi ini diturunkan ke dimensi alam fisik dan menjadi intisari jasad tubuh manusia, berikut pikiran dan perasaannya. Kini, ini menjadi hijab bagi ruh qudsi. Setelah ruh ini menjadi ruh di dalam jasad manusia, ruh ini kehilangan kesadarannya. Ia lupa akan hakikat kemurniannya dan lupa akan asal dan tujuannya. Nanti, ketika sudah dewasa, seiring dengan perkembangan pengetahuan dan spiritual, manusia bisa dengan sendirinya mengingat kembali hakikat diri sejatinya. Ketika itulah manusia menjadi tersadarkan kembali tentang jati dirinya dan ia menjadi khalifah di bumi yang juga menjalankan fungsi sebagai utusan Tuhan dalam mengelola dan menjaga keseimbangan alam.
Ketiga, diri sejati menurut filosofi Siwa Buddha. Siwa Buddha adalah agama resmi di era kerajaan Hindu-Buddha, kurang lebih sejak zaman kerajaan Mataram kuno hingga ke era Kerajaan Majapahit. Siwa Buddha sebenarnya adalah perpaduan antara agama Hindu Siwa, di mana penganutnya ini lebih berfokus menyembah Dewa Siwa sebagai Dewa pelebur, yang dipadukan dengan agama Buddha dari aliran Mahayana atau aliran tantrayana. Di zaman dulu, masyarakat lazim mempelajari spiritual agama Siwa Buddha dari rontal-rontal yang ditulis oleh para pujangga yang sudah memiliki tingkatan spiritual yang tinggi. Salah satu rontal yang berjudul Sang Hyang Nawaruji dan Sang Hyang Tatwa Cenana menjelaskan hakikat dari diri sejati manusia. Menurut kedua rontal tersebut, diri sejati manusia disebut sebagai Atman atau roh manusia. Namun saat manusia lahir, Atman ini berada dalam kondisi “aceh tanah” atau tidak sadar dan dibalut dengan Maya atau ilusi kehidupan. Pikiran, jiwa, dan tubuh manusia adalah kenyataan sekaligus ilusi bagi Atman. Puncak dari spiritual dalam Siwa Buddha adalah membersihkan Atman dari Maya atau ilusi ini, sehingga secara bertahap Atman bisa mendapatkan kesadarannya kembali atau cetana. Dengan demikian, diri sejati manusia bisa sadar dan mengerti apa asal dan tujuan hidupnya, bisa tahu dan sadar bagaimana posisinya di dunia ini, bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan bisa sekaligus bertindak sebagai penyampai pesan-pesan Tuhan selama hidup di dunia.
Keempat, dari perspektif filosofi Lingga Yoni dalam agama Hindu. Jika kalian pergi ke candi-candi kuno di nusantara, di situ banyak sekali terdapat arca Lingga Yoni yang sering diartikan hanya sebatas simbol kenikmatan atau simbol seks belaka. Padahal, makna dari Lingga Yoni ini tidak hanya berkutat di seputar reproduksi dan hubungan antara pria dengan wanita. Sampai sekarang, simbol Lingga Yoni masih digunakan dalam tradisi Hindu. Lingga sebenarnya adalah lambang dari Dewa Siwa atau Dewa pelebur, lambang maskulinitas, dan lambang dari Atman atau ruh manusia. Yoni yang feminin adalah simbol dari energi, kekuatan, kecerdasan, dan kesadaran si Atman, atau disebut juga sebagai simbol saktinya Atman. Ini adalah representasi dari energi kundalini yang berperan dalam membantu Atman untuk membersihkan segala ilusi atau Maya, sehingga Atman bisa menjadi murni dan bisa sadar kembali. Ketika energi kundalini ini sudah naik, maka energi ini akan membersihkan semua cakra yang dilaluinya hingga bersih tak bersisa, sampai akhirnya manusia atau Atman menjadi tercerahkan, benar-benar sadar tentang siapa jati dirinya dan apa posisi serta tujuan hidupnya di dunia ini. Masuknya Lingga ke dalam Yoni sebenarnya adalah simbol dari Atman yang sudah menemukan kesadarannya kembali atau telah eling akibat dibantu oleh energi kundalini yang lembut dan feminin. Atman yang sudah menemukan kesadarannya kembali inilah yang menjadi jati diri manusia dan inilah diri sejati sekaligus guru sejati manusia.
Jadi, yang dimaksud dengan bertemu diri sejati itu bukan berarti kita lantas menemui sosok diri sejati yang letaknya ada di luar diri, melainkan ini adalah cikal bakal dari diri kita sendiri atau ruh kita yang sudah menemukan kesadarannya kembali. Sehingga manusia tak lagi bertanya-tanya tentang siapa dirinya, kenapa manusia diciptakan di dunia, siapa Tuhannya, dan kemana manusia pulang setelah tutup usia. Ketika roh sudah menemukan kesadarannya kembali, segala pertanyaan tadi akan diperoleh jawabannya dengan sendirinya. Selanjutnya, manusia menjadi sosok makhluk yang eling dan bisa menjadi perwakilan Tuhan atau khalifah untuk merawat dan menjaga keseimbangan alam sesuai dengan tuntunan Ilahi melalui atmannya yang telah sadar.