Benarkah Kejawen bukanlah ajaran spiritual dan filosofi asli Jawa? Pertanyaan ini menggugah rasa ingin tahu kita tentang akar spiritualitas yang mendalam di tanah Jawa. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan spiritual asli Jawa? Dalam buku Sufisme Jawa, terungkap bahwa Kejawen adalah aliran kebatinan yang kaya, merupakan perpaduan antara filosofi Jawa kuno dan tasawuf Islam, sambil tetap mempertahankan beberapa tradisi dari era kerajaan Hindu-Buddha. Istilah Kejawen sendiri mulai mencuat setelah runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Jawa, menandai sebuah transformasi yang mendalam dalam spiritualitas masyarakat.
Bagaimana awal mula aliran Kejawen ini muncul? Apakah benar bahwa ini adalah hasil impor dari agama luar? Dalam buku Sufisme Jawa, kita menemukan kisah menarik tentang penyebaran Islam dan kemunculan Kejawen. Pada abad ke-13 Masehi, ketika gerakan tasawuf Islam mencapai puncaknya di Timur Tengah, bangsa Mongol melancarkan invasi yang menghancurkan. Banyak pelaku Sufi dan guru-guru mereka terpaksa melarikan diri, mencari perlindungan di Asia Tenggara. Di Nusantara, mereka disambut hangat oleh masyarakat yang masih terikat dengan ajaran Siwa-Buddha, yang melihat kesamaan inti spiritual dalam ajaran tasawuf ini.
Kedua ajaran ini, baik Siwa-Buddha maupun tasawuf, memiliki unsur mistik yang kuat. Di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh bangsa Mongol, yang dikenal sebagai nomaden dan kasar, banyak kebudayaan Islam di Timur Tengah hancur. Perpustakaan Islam dibakar, buku-buku dihanyutkan ke sungai, menciptakan air berwarna biru akibat tinta yang bercampur. Dalam situasi ini, para guru mistik melarikan diri ke Asia Tenggara, di mana mereka menemukan tanah subur untuk menyebarkan ajaran mereka. Mereka tidak hanya membawa ajaran, tetapi juga keterampilan berdagang, sehingga menyebarkan tasawuf sambil berbisnis.
Ajaran Islam yang disebarkan kemudian terpecah menjadi dua aliran: Islam Putihan atau Islam Santri yang lebih ortodoks, dan Islam Abangan yang lebih toleran dan dekat dengan mistik. Di Sumatera, khususnya Aceh, terjadi perlawanan antara kedua aliran ini, namun pada akhirnya, tasawuf lebih diterima di kerajaan Hindu-Buddha. Dari sinilah lahir tradisi martabak yang masih dipraktikkan oleh orang-orang Kejawen hingga kini.
Seiring dengan meningkatnya hubungan dagang antara Nusantara dan Timur Tengah, tarekat-tarekat Sufi semakin banyak bermunculan, baik dari guru-guru lokal maupun dari Timur Tengah. Ketika kerajaan Hindu-Buddha terakhir, Majapahit, runtuh, kesultanan Islam segera mengambil alih. Para wali dengan cepat mengkonversi penduduk dari agama lama ke Islam, menyebarkan ajaran mereka ke pulau-pulau lain seperti Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Sumatera, yang sebelumnya menganut Hindu-Buddha. Hanya Pulau Bali yang tetap mempertahankan kepercayaannya.
Dalam proses pengislaman ini, beberapa wali menciptakan jembatan antara ajaran tasawuf Islam dan spiritualitas Jawa yang kuno. Mereka mengadaptasi elemen-elemen dari kebudayaan Hindu-Buddha yang masih ada, sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan cepat tanpa pertumpahan darah yang berarti. Dari sinilah lahir aliran Kejawen yang lebih bersifat kebatinan atau esoteris, serta istilah Islam Kejawen, yang menunjukkan bahwa mereka adalah penganut Islam yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual Jawa.
Lalu, bagaimana dengan spiritual Jawa yang asli? Spiritual Jawa yang asli adalah kesadaran murni, bebas dari ritual agama atau pengaruh budaya luar. Namun, jejak-jejak budaya spiritual Jawa kuno kini sulit ditemukan, karena telah bercampur dengan berbagai agama. Spiritual Jawa yang asli kini lebih bersifat filosofis, menjadi akar dari semua spiritualitas dan esoterisme yang diajarkan oleh agama-agama di dunia, yaitu kesadaran murni.
Ketika manusia mencapai kesadaran murni, mereka mulai memahami siapa diri mereka, menemukan tujuan hidup, dan merasakan kepenuhan dalam diri. Di sinilah peluang untuk mengalami kemanunggalan atau penyatuan mistik, tidak hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan alam semesta. Ini sejalan dengan ajaran makrifat dalam tasawuf Islam. Orang yang telah mencapai kesadaran murni ini disebut sebagai orang yang sudah “jawab.” Oleh karena itu, agama ini juga dikenal sebagai agama Jawi, sebuah perjalanan spiritual yang mendalam dan penuh makna.
Dengan demikian, Kejawen bukan sekadar aliran, tetapi sebuah jembatan yang menghubungkan warisan spiritual Jawa dengan ajaran tasawuf, menciptakan sebuah harmoni yang kaya dan beragam dalam perjalanan spiritual masyarakat Jawa.