Waspadai Spiritual Bypassing dan Toxic Positivity dalam Perjalanan Spiritual

Waspadai Spiritual Bypassing dan Toxic Positivity dalam Perjalanan Spiritual

Waspadalah pada spiritual bypassing dan toxic positivity yang bisa menjangkiti para pejalan spiritual. Mengapa hal ini bisa berbahaya dan harus kita waspadai? Di konten ini, saya akan membahas mengapa dua hal ini banyak menjangkiti para pejalan spiritual dan mengapa ini berbahaya.

Spiritual bypassing adalah penggunaan metode-metode spiritual untuk melarikan diri dari musibah, masalah, sakit hati, stres, ketidaknyamanan, atau luka batin yang ada. Banyak orang mengira ketika mereka melakukan meditasi dan mendalami proses spiritual, mereka akan terlepas dari segala masalah. Mereka percaya bahwa mereka akan menjadi manusia yang kuat, mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, dan tidak berurusan dengan kejahatan lagi. Sehingga, mereka mengira dengan terjun ke spiritualitas, mereka tidak akan lagi merasakan emosi-emosi negatif seperti marah, sedih, depresi, stres, jengkel, dan sebagainya.

Ini akhirnya membuat manusia cenderung menolak atau mendinai semua perasaan negatif yang muncul ketika tertimpa masalah atau musibah. Mereka berpikir, “Saya sudah di jalan spiritual, maka saya harus menjadi kuat, bahagia, dan damai. Meditasi saya harus bisa menekan dan menghapus semua emosi negatif yang ada.” Inilah yang dinamakan spiritual bypassing, yakni menolak atau menghindari emosi negatif dan lari dari masalah menggunakan jalan-jalan spiritual seperti meditasi.

Orang yang mengalami spiritual bypassing biasanya memiliki kemelekatan yang kuat terhadap perasaan atau emosi positif seperti kebahagiaan, kedamaian, keberlimpahan, dan sukacita. Istilah spiritual bypassing ini awalnya diperkenalkan oleh John Welwood, seorang guru dan psikoterapis, di pertengahan 1980-an. Istilah ini muncul setelah John Welwood mengamati bahwa banyak anggotanya tergelincir dalam spiritual bypassing.

Seberapa bahayanya spiritual bypassing ini sehingga kita harus waspada? Spiritual bypassing bisa berbahaya karena sifatnya membuat manusia cenderung mengabaikan emosi negatif yang ada akibat kegagalan hidup, masalah, atau musibah. Ini bisa berpotensi menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu dan tentu saja bakal merugikan diri sendiri dan orang lain. Spiritual bypassing juga menyebabkan manusia melekat hanya pada positifitas saja, sehingga banyak yang akhirnya terjebak dalam toxic positivity.

Banyak orang yang lari ke jalan spiritual karena mengharapkan hidup yang bahagia, mudah, tidak stres, dan serba nyaman. Padahal, spiritualitas adalah latihan manusia untuk meningkatkan kesadaran mereka, sehingga mereka bisa hidup dalam kelimpahan emosi positif. Namun, prosesnya tidak serta-merta seperti yang dikira oleh para korban spiritual bypassing. Selama hidup di dunia, manusia tetap hidup dalam dualitas; ada baik dan ada jahat. Sampai mati pun, manusia tetap akan menemukan kejahatan dan masalah.

Dengan menekuni spiritualitas, bukan berarti kalian tidak akan mendapatkan masalah, kejahatan, dan musibah lagi. Kejahatan, musibah, dan masalah itu tetap ada, dan adalah wajar ketika kita mendapatkan masalah, kita merasakan emosi negatif seperti marah, syok, sedih, kesal, kehilangan, bahkan stres. Kita bisa merasakan emosi-emosi ini karena ini adalah mekanisme alamiah manusia. Ketika kita tertimpa masalah, otak dan hormon di dalam tubuh akan mengeluarkan emosi dan ekspresi kesedihan, marah, kesal, dan sebagainya. Ini sebenarnya adalah hukum alam dalam diri manusia dan juga sistem dalam diri manusia sendiri.

Baca Juga  Mengapa Tasawuf Sering Dianggap Sesat dalam Islam?

Ketika kita marah, sedih, atau kesal ketika tertimpa masalah atau tersakiti, itu adalah tanda bahwa tubuh kita sedang membentuk mekanisme pertahanannya. Kita bisa merasakan sedih, marah, dan kesal karena secara bawah sadar kita tidak ingin disakiti dan dimanfaatkan oleh orang lain. Sistem di dalam tubuh sedang mengirimkan peringatan agar kita mengaktifkan pertahanan diri. Nah, orang yang mengalami spiritual bypassing cenderung tidak mengindahkan, bahkan kabur dari perasaan-perasaan seperti ini. Akhirnya, mereka malah tergelincir dan melekat ke dalam toxic positivity.

Toxic positivity sendiri adalah positifitas yang beracun. Ini merepresentasikan kata-kata atau pola pikir positif yang justru menyakiti. Toxic positivity bisa dilakukan kepada orang lain dan juga terhadap diri sendiri. Contoh kalimat toxic positif yang banyak dilontarkan ke orang lain adalah sebagai berikut: “Jangan sedih, semua pasti ada hikmahnya. Kamu kuat, kamu tidak boleh lemah. Kalau disakiti orang lain, kamu baik, kamu tidak boleh membenci orang yang menyakiti kamu. Jangan nangis kalau ada masalah, stay positive. Be nice to people who hurt you. Tingkatkan vibrasi kamu ya, kalau lagi dijahatin orang. Kalau kamu baik dan punya level spiritual yang tinggi, kamu pasti penuh kasih dan tidak akan melawan orang yang menyakiti.”

Untuk toxic positivity yang dilakukan terhadap diri sendiri, tinggal mengganti kata “kamu” menjadi “aku.” Toxic positivity ini berbahaya karena tidak solutif dan sebenarnya justru menyakiti hati orang yang terkena musibah. Ketika seseorang diberi penuturan positif seperti ini, sebenarnya sama seperti kalian sedang menyuruh dia supaya tetap positif terus, padahal kondisi dia sedang tidak positif sama sekali. Ini hanya akan menyakiti dia karena perasaan negatifnya tidak divalidasi.

Perasaan negatif yang tidak diterima akan menimbulkan bayangan gelap yang bisa menjadi bom waktu suatu saat nanti. Di dunia ini, wajar jika kita mengalami sakit hati, marah, sedih, atau stres ketika ada masalah. Proses spiritual bukanlah kabur dari perasaan-perasaan ini dan memaksa diri kita agar selalu positif, tetapi proses spiritual adalah menerima perasaan-perasaan negatif ini, memvalidasinya, lalu memprosesnya menjadi hal-hal yang solutif.

Baca Juga  5 Tanda Malaikat, Leluhur, atau Dewa Sedang Berkomunikasi dengan Kita

Seorang pejalan spiritual bisa mengalami peningkatan kesadaran yang signifikan bukan karena dia kabur, merepresi, atau menekan emosi-emosi negatif yang muncul, tetapi ia menerima, memvalidasi, dan mengelolanya agar menjadi hal-hal yang solutif dan bisa berubah positif. Makanya, alih-alih mengatakan kalimat yang berpotensi toxic positif kepada orang lain yang sedang terkena musibah, lebih baik bantu mereka untuk memvalidasi perasaan negatifnya. Dengan membantu memvalidasi perasaan negatif orang lain, kita sebenarnya juga membantu mereka untuk lekas sembuh dari perasaan marah, sakit hati, atau stres.

Bagaimana cara memvalidasi emosi negatif orang lain yang sedang terkena musibah? Sederhana saja. Kita cukup memposisikan diri seolah-olah kita merasakan apa yang mereka rasakan. Contohnya dengan ucapan seperti ini: “Iya, aku tahu kok rasanya dijahatin. Kalau aku jadi kamu, aku juga kesal deh.”

Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak tergelincir dalam spiritual bypassing dan toxic positivity? Pertama, kita harus paham dan menerima bahwa dalam spiritualitas, proses hidup yang menyakitkan dan menguras emosi itu tetap ada. Sampai kita mati pun, hidup kita akan dihadapkan dengan beragam masalah dan kejahatan karena kita masih tinggal di bumi yang dualitas; ada baik dan ada jahat.

Kedua, kita juga harus menerima dan menyadari bahwa kita adalah manusia yang kompleks, di mana di dalam diri kita ada positif dan ada negatif. Melampaui dualitas bukan berarti kita menekan dan kabur dari negativitas, tetapi kita bisa berdiri di luar positif dan negatif karena kita tidak melekat di salah satunya. Dengan demikian, kita bisa mencari solusi.

Ketiga, tetaplah berlatih untuk hadir saat ini dan di sini, menjadi pengamat atas apa yang terjadi dalam hidup, mau itu sakit, sedih, susah, senang, semuanya kita amati dan kita terima, bukan ditolak atau kabur. Emosi manusia, ketika dia diamati, bisa mereda sendiri perlahan-lahan. Tapi ketika kita tolak atau kita justru kabur, emosi negatif justru menjadi bayangan yang bisa berpotensi menjadi bom waktu bagi diri sendiri.

Keempat, tentu saja berlatih menghindari ucapan-ucapan toxic positivity dan berlatih memberikan empati terhadap diri sendiri dan orang lain. Intinya, proses spiritual adalah proses pendewasaan, bukan ujug-ujug menjadi tercerahkan dan selalu baik seperti malaikat yang tidak memiliki emosi negatif lagi. Manusia tetaplah manusia yang tubuhnya memiliki otak dan sistem hormon yang bisa memproduksi emosi-emosi negatif sebagai mekanisme pertahanan atau self-defense.

Sampai kita matipun, kita akan tetap bertemu dengan masalah dan kejahatan. Justru semakin tinggi level spiritualnya, masalah dan kejahatan yang kita hadapi itu semakin berat. Mustahil bila otak dan hormon manusia tidak lagi memproduksi emosi-emosi negatif sebagai peringatan untuk mengaktifkan sistem pertahanan kita, kecuali kita mengalami gangguan kepribadian atau kelainan mental.

Baca Juga  Tanda-Tanda Ditangani oleh Sedulur Papat: Waspadai Kehidupan yang Terpuruk

Sebagai orang yang mengalami musibah, masalah, atau kejahatan, perasaan-perasaan negatif ini seharusnya diterima, disadari, dan kita tetap berlatih untuk hadir saat ini dan di sini, untuk mengamati apa yang terjadi dalam hidup. Dengan demikian, kita bisa mengambil hikmahnya dan bertumbuh lebih dewasa serta lebih sadar lagi.

Bagi orang yang tidak sedang dalam musibah, kalian juga harus menyadari bahwa meskipun ada manusia yang kesadarannya sudah tinggi, bukan berarti dia lepas dari masalah sama sekali. Justru bisa jadi masalah yang dia hadapi jauh lebih berat dari yang kalian bayangkan. Maka sebaiknya, tidak usah mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung toxic positivity, apalagi menghakimi.

Pernah saya lihat ketika ada orang atau publik figur yang dianggap memiliki kesadaran atau spiritualitas tinggi, ketika orang tersebut mendapatkan masalah, orang lain justru ramai-ramai menghakimi tanpa tahu sebesar apa masalah yang sedang terjadi. Sebenarnya, bisa jadi jika kalian yang mengalaminya, kalian justru tidak kuat sendiri.

Proses menyadari dan mengelola emosi negatif ini memang akan lebih mudah jika kita telah mengalami peningkatan kesadaran. Kebangkitan spiritual sebenarnya adalah proses manusia untuk mengalami peningkatan kesadaran seiring dengan naiknya energi spiritual, sambil membersihkan cakra-cakra yang ada. Semakin bersih diri kita, semakin kita menjadi sadar baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitar kita.

Dalam istilah Jawa, kita menjadi semakin eling dan waspada. Ketika kita semakin meningkat kesadarannya, kita jadi semakin cepat sadar ketika ada emosi-emosi negatif yang muncul di kala kita tertimpa masalah atau musibah. Dengan demikian, kita bisa lebih cepat mengelola emosi ini agar tidak terlalu larut di dalamnya.

Jangan lupa, setiap masalah, kejahatan, dan kesakitan yang terjadi dalam hidup sebenarnya adalah proses bagi manusia untuk meningkatkan kesadarannya. Sampai akhirnya, manusia benar-benar menemukan hakikat diri sejatinya. Orang yang sudah menyadari diri sejatinya ini disebut juga sebagai orang yang tercerahkan atau orang yang sudah “jawab,” atau sadar.

Bagaimana proses manusia menyadari diri sejati ini? Metode spiritual apa saja yang bisa dilakukan manusia untuk bertemu diri sejatinya? Selengkapnya akan saya bahas dalam online kelas saya di bulan April ini. Jika teman-teman ingin ikut hadir dan berpartisipasi, silakan baca deskripsi di video dan amankan tempat kalian segera, karena belum tentu online kelas akan diadakan lagi bulan depan.