Baru-baru ini muncul wacana pemerintah untuk menaikan cukai rokok. Di sini saya tidak membahas analisis ekonomi dan sosial politik secara mendalam, da saya mah rumasa bukan ahlinya, he he… Saya cuma mendongengkan apa yang saya lihat sehari-hari di lingkungan kerja dan keluarga saja…
Mas Sito, OB di rumah Kost milik orang tua saya ternyata sampai bela-belain menghabiskan uang gajinya untuk memborong rokok selagi bisa. Biasanya sehari beli sebungks, kemarin dia beli satu slof. Kelakuannya persis seperti orang-orang yang terpancing bela-belain ngantri di SPBU saat pengumuman kenaikan harga BBM keluar.
Kontroversi masalah rokok memang nggak pernah ada habisnya. Orang-orang yang sudah kecanduan rokok memang terkesan menghalalkan segala cara agar rokok tidak menjadi haram dalam pandangan agama.
“Ah, da nabi ge aya nu ngarokok,” celoteh Kang Emod
“Nabi saha kitu, kang?”
“Nabi Wir…,” seloroh Kang Emod bari cengar cengir.
“Astaghfirulloh!” 😀
Sepertinya orang-orang sudah bersikat “take for granted” ya pada peringatan-peringatan bahaya merokok bagi kesehatan. Saat mereka membaca penjelasan bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan tubuh, mereka berhenti membaca.
Asu dah lah…. pek bae kumaha dinya!
Di lain sisi, bisa ada puluhan bahkan ribuan jerat rokok yang tidak bersifat ketergantungan fisik melainkan lebih bersifat jerat psikologis yang mengikat kita terhadap “kegiatan” merokok, bukan melulu pada rokoknya. Dari berbagai pengalaman dan pengamatan saya, tidak hanya pada kasus merokok, obat terkuat yang paling ampuh untuk menyembuhkan jerat memori dan kebiasaan hanyalah satu.