Saya mendapatkan tulisan di bawah ini dari seorang teman yang men-share-nya di sebuah group WhatsApp. Menurut pendapat saya pribadi, isi tulisan ini sangat bagus untuk bahanrefleksi kita bersama. Judul tulisan ini adalah *ISLAM TAPI TIDAK ISLAMI*
(untuk bahan introspeksi)
SYAIKH Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Ernest Renan, filosof Prancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya.
Dengan ringan, Renan, yang juga pengamat Dunia Timur itu mengatakan : “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam.”
Dan Abduh pun terdiam.
Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan.
Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti :
- kejujuran (shiddiq),
- amanah, keadilan,
- kebersihan,
- ketepatan waktu,
- empati,
- toleransi,
- dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW.
Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai ‘islamicity index’, mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut.
Hasilnya?
Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami..!
Indonesia?
Harus puas di urutan ke 140.
Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di ‘ranking’ 100-200.
Apa itu islam?
Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami ?
Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa :
“Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya.”
Itu indikator.
Atau hadits yang berbunyi :
“Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat.”
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga … hormati tamu.”
“Bicara yang baik atau diam.”
Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan indikator-indikator diatas tak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis akhirnya dia berkomentar:
“Saya tidak melihat Muslim disini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebaliknya di Mesir, saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam.”
Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling islami no 5.
Beliau heran melihat penduduk disana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya.
Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya,“Mengapa harus dikunci?”
Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah. Bandingkan dengan di negara kita, saat HP kita ketinggalan di dalam masjid saja, Insya Allah dijamin hilang. Apalagi kalo ketinggalannya di tempat perbelanjaan.
Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat.
Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan “aman”.
Artinya, jika semua penduduk “beriman”, seharusnya “bisa memberi rasa aman”.
Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal, mungkin, tanpa iman.
Tetapi saat ini kita merasa tidak aman ditengah orang-orang yang (mengaku) beriman.
Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah :
“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda.”
Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib.
Mengapa kontradiksi ini terjadi ?
Syaikh Basuni, ulama Kalimantan, pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir.
Suratnya berisi pertanyaan :
“Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum ?”
(“Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?”)
Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha,
- Islam mundur karena meninggalkan ajarannya,
- sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya.
- Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran ‘iqro’ (membaca) dan cinta ilmu.
Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca.
Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori ‘low trust society’ yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga.
Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah?
Mungkin yang salah yang membuat ‘survey’, karena seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya, pastilah Indonesia ada di ranking pertama.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
*******
Saudara-saudariku tercinta, mari kita berbenah…
mulai dari diri kita sendiri…
mulai dari sekarang….
Catatan Tambahan :
Ssya pernah men-share hasil survey negara mana yang paling Islami di dunia ini di social media. Hasilnya, banyak yang tidak bisa menerima kenyataan ini dengan jiwa besar. Mereka bilang “ini survey ngaco bin ngawur”, Ada juga yang berkomentar, “hati-hati teman, saat ini kita sedang digiring ke arah pemikiran liberal.”
Saya sih lempeng aja dengan tanggapan dan komentar miring tersebut. Ini soal pilihan hidup, dengan segala konsekuensinya.