Bandung Raya sudah beredar di pentas sepak bola Indonesia sejak 1987. Saat itu Bandung Raya berlaga pada kompetisi semi profesional Galatama. Bandung Raya menjadi klub Galatama ketiga yang bermarkas di Bandung setelah Sari Bumi Raya dan Tempo Utama.
Pada awal berdirinya Bandung Raya berintikan pemain klub PS UNI, termasuk pelatihnya Risnandar yang juga mantan pemain Persib dan nasional. Sesepuh UNI seperti H.R.A Marzuki, Nugraha Besoes dan Syamsudin Curita menjadi pelopor berdirinya klub ini. Pada perjalanannya pimpinan Bandung Raya diserahterimakan dari Syamsudi Curita ke Soeheod Warnaen.
Selama Berkiprah di Kompetisi Galatama, beberapa pelatih silih berganti menjadi arsitek tim, dimulai dari Risnandar, Sunarto, Ishak Udin, Parhim hingga Nandar Iskandar. Sayang prestasinya kurang bersinar. Hasil Terbaik diraih pada musim kompetisi 1988/1989. Bandung Raya yang ditangani Risnandar bertengger di peringkat 7 dari 18 peserta sekaligus menempatkan Dadang Kurnia sebagai top skorer dengan 18 gol bersama pemain Arema, Mecky Tata.
Menjelang berakhirnya era kompetisi Galatama, Bandung Raya gosipnya sempat akan dibubarkan karena kesulitan dana. Namun nasib baik masih memayungi klub ini, karena ketua Komda PSSI Jabar, Ukman Sutaryan mengucurkan dana segar sehingga Bandung Raya bisa berlaga pada musim perdana Liga Indonesia 1994/1995.
Di bawah pimpinan Tri Goestoro sebagai manajer tim, Bandung Raya yang diperkuant beberapa pemain tenar seperti Heri Kiswanto, Ajat Sudrajat, Hermansyah, Rahmalem Perangin Angin, Budiman Yunus, Alexander Saununu, dan Peri Sandria plus eks pemain muda eks tim PON Jabar 1996 Nuralim dan M. Ramdan menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan lawan-lawannya.
Pada LI musim perdana Bandung Raya yang ditangani Nandar Iskandar tertahan di babak 8 besar. Tetapi sukses mengantarkan Peri Sandria sebagai top skor dengan koleksi 34 gol. Perolehan gol Peri belum ada yang mampu melewati hingga saat ini. Keberhasilan Peri Sandria menjadi top scorer, tak lepas dari dukungan duet sehatinya, Dejan Gluscevic. Duet keduanya sangat harmonis dan saling mengisi, ibarat dua mata pisau tajam. Gosip awalnya, Dejan Gluscevic adalah pemain pinjaman dari Pelita Jaya yang didatangkan bersama rekan senegaranya dari Montenegro, Miodrag Bazovic dan Milorad Bajovic. Meskipun Dejan tercatat dalam sejarah sebagai pencetak gol perdana di Liga Indonesia pertama ke gawang Persib Bandung, kebintangan Dejan di Pelita Jaya dianggap tidak bersinar. Barulah saat di Bandung Raya, Dejan bertransformasi menjadi predator yang menakutkan di kotak penalti lawan. Saat itu Bandung Raya juga mulai menggenapi kuota pemain asingnya dengan mendatangkan Olinga Atangana dan Tibidi Alexis asal Kamerun. Gosipnya, saat itu Pelita Jaya berani meminjamkan Dejan ke BR karena mereka punya rencana yang lebih sensasional, mendatangkan dua pemain kelas dunia yang pernah bermain di World Cup : Roger Milla dan Mabouang Kessack.
Dalam pertandingan sarat emosi melawan Pelita Jaya, Dejan menunjukkan profesionalismenya dengan mencetak gol ke gawang mantan club-nya. Pertandingan di Stadion Lebak bulus pun ada peristiwa dikartukuningkannya Hery Kiswanto oleh wasit Suhartono, kartu kuning pertama dalam karir Hery Kiswanto sebagai pemain sepakbola. Buyung Ismu pun mencetak gol penalty kontroversial ke gawang Hermansyah yang memaksakan hasil akhir menjadi 2 – 2. Gosipnya, di stadion Lebak Bulus inilah terjadi beberapa akal bulus dari Pelita Jaya. Sejak saat itu, Pelita Jaya mulai dianggap sebagai “public enemy number one” oleh masyarakat Bandung.
Di musim pertama, meskipun Peri Sandria tampil ganas dengan mencatatkan dirinya sebagai top scorer, Bandung Raya gagal mencapai babak Final. Kontrak Olinga Atangana dan Tibidi Alexis tidak diperpanjang. Demikian pula dengan pelatih Nandar Iskandar.
Setahun kemudian Bandung Raya merger dengan Masyarakat Transportasi (Mastrans) Sehingga namanya berubah menjadi Mastrans Bandung Raya. Kursi pelatih beralih ke pelatih asal Belanda, Henk Wullems. Beberapa pemain baru pun bergabung termasuk bomber asal Yugoslavia, Dejan Glusevic. Setelah melewati beberapa pertandingan, Olinga Atangana dipanggil kembali. Tibidi Alexis dikontrak Persebaya Surabaya yang kemudian menjadi predator yang cukup ganas di sana. Di tangan Henk Wullem, masih dengan formasi 3-5-2, terjadi beberapa perubahan posisi pemain. Budiman Yunus digeser dari gelandang serang menjadi wing back kiri. Olinga Atangana digeser dari wing back kanan mejadi stopper.
Dengan Slogan “Kagok Edan Juara Sakalian” Bandung Raya sukses menyabet mahkota juara Liga Indonesia 1995/1996 dan menempatkan Dejan Glusevic sebagai top skor dengan 30 gol. Musim ini merupakan musim terbaik bagi Bandung Raya.
Selama dua musim di Bandung Raya, popularitas Dejan Gluscevic benar-benar terangkat. Bukan saja menjadi maskot Bandung Raya, lebih dari itu, saking ngefansnya, saat itu sampai banyak sekali bayi-bayi kelahiran Bandung yang diberi nama “Dejan” oleh orang tuanya. Gosipnya, Dejan pulalah yang memberi ide bentuk logo Bandung Raya.
Musim Ketiga
Pada Liga Indonesia 1996/1997 Bandung Raya ditinggalkan Henk Wullems yang dipercaya menjadi pelatih timnas Indonesia. Bandung Raya juga kehilangan Dejan Gluscevic yang ditarik lagi oleh Pelita Jaya. Setelah sempat digosipkan akan mendatangkan Marek Janota, juga digosipkan telah mengontak Andi Teguh untuk melatih (tidak pernah terlaksana karena belaiu meninggal dunia), akhirnya Bandung Raya dilatih oleh Albert “Ab” Fafie yang juga berasal dari Belanda.
Di tangan Fafie, beberapa pemain asal Afrika dicoba untuk mencari pengganti yang sepadan dengan Dejan Gluscevic, mulai dari Halidou Malam hingga Stephan Weah, adik dari George Weah striker AC Milan asal Liberia. Ternyata kualitas dia dan kakaknya memang masih jauh panggang dari api. Meskipun demikian, untuk kedua kalinya Bandung Raya melaju ke final sebelum akhirnya ditaklukan Persebaya yang diperkuat oleh Jacksen F Tiago yang gosipnya sudah fasih berbahasa Indonesia hingga berbahasa Suroboyo. Meski begitu, prestasi tetap ada, Nur’alim dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Setelah itu dengan berbagai alasan Bandung Raya resmi dibubarkan dan menghilang dari pentas sepak bola nasional. Setelah bertahun-tahun mati suri, pada 2007 Bandung Raya muncul lagi di kompetisi divisi III 2007.
Akuisisi Pelita Jaya
Pada tahun 2012, Ari D. Sutedi, pemilik 65% saham Bandung Raya, mengakuisisi seluruh saham Pelita Jaya FC dan mengganti namanya menjadi Pelita Bandung Raya. Pada Oktober 2012 Bandung Raya yang sudah berada di divisi II menjelma menjadi Pelita Bandung Raya, setelah PT Kreasi Performa Pasundan selaku pemilik baru Bandung Raya membeli PT Nirwana Pelita Jaya yang menaungi klub Liga Super Indonesia, Pelita Jaya. Dengan demikian, mulai musim kompetisi 2012/2013 Bandung Raya pun kembali beredar di pentas Liga Super Indonesia, dengan mengusung slogan “The Boys Are Back”.
Komitmen Bandung Raya untuk ikut mengembangkan potensi sepakbola Jawa Barat dan nasional dibuktikan dengan merekrut para pemain muda potensial. Awalnya Simon McMenemy yang sempat menangani timnas Philipina dipercaya memegang tim. Karena prestasi dianggap kurang baik diganti oleh Daniel Darko Janakovic. Pilihan terbaik ternyata ada di tangan Dejan Antonic.
Mungkin karena sejak Liga Indonesia I Pelita Jaya adalah musuh bebuyutan Persib Bandung dan Bandung Raya, pihak bobotoh banyak yang tidak suka jika nama “Pelita” ada di dengan Bandung Raya. Gosipnya pula, banyak bobotoh yang tidak suka melihat para Fans Bandung Raya berteman dengan The Jak Mania. Gosipnya, PBR akhirnya brpindah Home Base ke Bekasi, merger dengan Persipasi Bekasi, hingga berganti nama menjadi Persipasi Bandung Raya.
Awal April 2015 muncul kabar tidak sedap di Pelita Bandung Raya. Chief Executive Officer (CEO) PBR dikabarkan mengundurkan diri. Mundurnya Marco Gracia Paulo dari jabatannya membuat stabilitas finansial tim ini terganggu. Hingga manajemen memutuskan untuk berpindah homebase ke Bekasi.
Isu tak sedap soal tunggakan gaji muncul kembali. Hal tersebut membuat manajemen mengambil keputusan untuk merger dengan tim Persipasi Bekasi sebuah tim yang juga mati suri di Bekasi. Sehingga tim pun berganti nama dengan mengganti Pelita menjadi Persipasi. Dan membuat PBR masih tetap bisa bertahan hidup di era industri sepakbola modern.
Hanya saja segala sesuatunya berubah drastis. Berubahnya homebase ke Bekasi membuat beberapa nilai sejarah hilang begitu saja. Sejarah panjang Bandung Raya seolah terhapus dengan merger ini. Semuanya begitu terasa rancu mendengar kata Persipasi Bekasi Bandung Raya. Ada dua nama kota sekaligus dalam satu klub.
Memang, secara geografis Bekasi layak dicantumkan. Namun berbicara sejarah, Bandung Raya tidak bisa dipinggirkan. Kemelut soal konflik penamaan klub di mata supporter soebex mania menjadi berlarut-larut. Tidak ada lagi Bandung Raya di Kota Bandung dan musnah sudah derby Bandung yang dirindukan bertahun-tahun oleh masyarakat sepak bola Bandung itu.
Derby yang mempertemukan PBR dengan Persib memang masih bisa diakses via derby Pasundan. Namun nilai historisnya seolah hilang. PBR saat itu bukan lagi PBR yang bermarkas di Si Jalak Harupat atau berlatih di Siliwangi. Setengah PBR dimilikki warga Bekasi, dan setengahnya lagi oleh warga Bandung. Namun, karena Bandung sudah memiliki Persib. Maka seolah-olah warga Bandung tidak berlarut-larut dalam sengketa klub PBR ini.
Dari sinilah senjakala tim PBR kian terlihat. Fanbase yang didapatnya di Kota Kembang mulai meninggalkan kecintaannya terhadap PBR yang di musim sebelumnya mampu membuat kejutan sebagai semifinalis. Kemudian di musim 2015, musim dimana mereka berpindah ke Bekasi diliputi pelbagai permasalahan. Terutama masalah finansial. Menjelang Liga musim baru dimulai, tersebar isu PBR bubar.
Ari D Sutedi sebagai pemilik klub akhirnya menyerah. Pada 10 Januari 2016, pemilik mayoritas saham PBR itu menjual klubnya ke Achsanul Qosassi dan kemudian nama PBR benar-benar hilang setelah tim ini berpindah homebase ke Stadion Bangkalan Madura.
Bisakah PBR Hidup Kembali?
Nafas Bandung Raya tidak lepas dari merger ke merger atau juga pindah homebase. Dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup sebagai klub kompetisi level atas. Bukan saja saat mereka merger dengan Pelita. Namun tradisi merger Bandung Raya sudah ada sejak kompetisi perserikatan berlangsung. Zaman di mana Peri Sandria mencetak rekor gol terbanyak sepanjang masa dengan 34 golnya dalam semusim liga.
Sejak 1994, Bandung Raya beredar di Liga Indonesia yang merupakan penggabungan kompetisi dari Galatama dan Perserikatan. Bersama pelatih Henk Wullems Bandung Raya menjadi klub yang disegani lawannya. Terbukti di musim 1995/96 mereka mampu mengangkat trofi juara Liga.
Kemudian di musim selanjutnya, Dejan Gluscevic dan kolega berhasil kembali menembus grand final namun sayang mereka kalah oleh Persebaya. Tidak hanya prestasi secara tim, Henk Wullem bersama Bandung Raya menelurkan pemain besar. Peri Sandria, Herry Kiswanto,Olinga Atangana, Dejan Gluscevic, Nuralim, Adjat Sudrajat, dan lainnya.
Dengan begitu prestasi individu pemain pun mengiringi perjalanan sukses Bandung Raya dimasanya. Jika prestasi individu Dejan Glusveic yang meraih golden boot musim 1995/96 menghasilkan gelar juara bagi Bandung Raya. Lain hal dengan Peri Sandria, Ia mencetak rekor gol sepanjang masa yang beberapa waktu lalu dipecahkan oleh Sylviano Comvalius.
Singkat cerita, setelah musim yang manis kas Bandung Raya mengalami defisit. Hal tersebut membuat mereka harus merger dengan Mastrans singkatan dari Masyarakat Transportasi. Dengan demikian klub berganti nama menjadi Mastrans Bandung Raya (MBR) demi bertahan hidup di sepakbola nasional level satu.
Sebuah ironi tersendiri. Klub dengan potensi besar harus bertahan hidup dengan cara seperti itu. Mengubah nama klub sampai menjadi klub musafir yang berganti-ganti homebase. PBR dan MBR adalah kesamaan. Kita seperti dibuat deja vu oleh hilangnya tim Bandung Raya di kasta tertinggi untuk kedua kalinya, baik MBR maupun PBR mati dengan cara serupa: krisis finansial.
Adapun perbedaannya hanya terletak di prestasi saja. Jika MBR meraih satu gelar Ligina dan sekali runner up Ligina, prestasi terbaik PBR adalah semifinalis Liga di ISL 2014. Meski begitu, PBR sedang dalam tahap berprogres menjadi tim kuat. Sayang, mereka hanya diberi nafas sebentar saja untuk mencicipi Liga Utama.
Fondasi yang diletakan oleh Dejan Antonic menjadi bukti jika PBR bertahan dengan formasi yang utuh bukan tidak mungkin mereka mampu mengulang kisah MBR. Penulis ingin berusaha mengajak pembaca berandai-andai. Bayangkan di Liga Satu PBR masih hidup. Dan Kim Kurniawan, Wawan Febriyanto, David Laly, Ilja Spasojevic, Dane Milovanovic, Rizky Pellu, Ghozali Siregar, Rahmad Hidayat, Hermawan, dan alumnus lain dari PBR berkembang di klubnya masing-masing.
Dan bayangkan mereka berada dalam satu tim. Betapa kuatnya PBR di Liga Satu. Namun pengandaian tersebut mengantarkan kita pada satu pertanyaan
“Kapan PBR Hidup Kembali?”
Jawabannya sudah pasti tidak akan, karena percuma saja hidup jika untuk mati lagi. Lebih baik ruh Pelita dan Bandung Raya itu bersemayam di klub Madura United saja.