Temanku, seorang petugas posyandu, bercerita bahwa rutinitas tugasnya adalah mengupdate data-data bayi yang baru lahir di lingkungan RT. Salah satu hal yang menurut dia menarik adalah adanya kolom agama di data isian. Tentu saja yang dimaksud formulir tersebut adalah agama bayi yang bersangkutan, bukan agama orang tua si bayi yang bersangkutan. Karena si bayi belum bisa ngisi data sendiri, tentu saja data tersebut diisi oleh orang tua bayi yang bersangkutan. Si bayi pun pasrah. Terserah dech mau diisi data apa. Yang umi dan abi-nya Islam, bayinya ditulis beragama Islam. Yang mamih-papihnya Kristen, bayinya ditulis beragama Kristen. Begitu juga Mamah-Papahnya yang beragama Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.
Jika dihitung sejak pertama kali Adam dan Hawa turun di bumi kita ini, sudah berapa abad ini berlangsung? Sudah ada berapa agama yang terjadi hingga saat ini? Ternyata….
Hal ini membuatku merenung. Ya, sebagian besar dari kita menjadi beragama karena faktor turunan. Setelah dewasa, jarang sekali ada yang memutuskan untuk berganti agama. Kebanyakan tetap menganut agama yang sama dgn agama orang tua yang ‘diwariskan’ ketika lahir.
Apa akibatnya?
Sebagian besar dari kita tak pernah secara sadar memilih agama. Kita ‘terima beres’ soal keimanan. Kita tidak pernah berusaha mempelajari agama lain, merenungkannya, melakukan perbandingan, melewati pencarian dan kegelisahan spiritual penuh emosi, sebelum akhirnya mantap memilih, atau mantap tidak memilih apapun. Dampak buruknya, kita juga jarang mendalami agama sendiri. Kita hanya memakai kacamata kuda, ‘pokoknya ini yang paling benar’.
Ketika ada benturan dengan kenyataan, kita abaikan. Pokoknya benar, jangan mikir jangan nanya. Benar benar benar. Karena terlalu keras berusaha membenarkan, akhirnya kita jadi kaku, tegang, dan begitu mudah marah ketika ada yang menyinggung agama kita.
Ada satu fenomena lagi terkait ini, yaitu kebiasaan kita sebagai muslim dan muslimat untuk ‘mengidolakan’ muallaf. Kita sangat senang kalau ada muallaf, apalagi kalau muallaf itu orang hebat dan terkenal. Bahkan kita melangkah lebih jauh, memuallafkan orang terkenal, padahal hoax. Kita juga jadi begitu fanatik men-share tulisan-tulisannya di sosial media, meskipun tulisan tersebut bersifat provokatif.
Kok sampai segitunya ya? Mungkin karena kita nggak pernah punya pengalaman tergugah imannya. Kita merasa selalu ada di dalam iman, gimana bisa tergugah? Jadi mendengar kisah pencarian spiritual muallaf membuat kita terharu dan terasa meneguhkan iman kita sendiri.
“Tuh lihat, orang hebat kayak dia aja pilih Islam. Sudah, nggak perlu banyak tanya, sudah pasti Islam itu benar!”.
Dan kita tutup mata apakah setelah itu sang orang hebat tetap hebat, atau tetap Islam setelah beberapa tahun berlalu, nggak penting buat dibahas lagi.
Apakah ini juga merupakan salah satu pertanda bahwa umat Islam saat ini sudah mulai krisis idola?
Begitulah. Maka kebanyakan dari kita nggak pernah tahu apakah kita benar-benar punya iman atau nggak. Kebanyakan dari kita nggak pernah mencari tahu apakah iman kita hanya ada di KTP atau sudah bisa merasakan. Bahkan ekstrimnya, kita malah nggak ngerti iman itu apa.
Mirisnya, ketika kita nggak ngerti, akhirnya kita hanya bertahayul. Tahayul punya iman. Nggak heran kan, kalau perilaku kita juga sama dgn orang yg percaya tahayul? Takut pada segala hal yang tidak bisa dimengerti. Bedanya, kalau orang jadul mengusir ketakutan dengan mantra, sementara kita mengusirnya dengan ayat Al Qur’an. Sungguh tragis, ayat-ayat suci al Qur’an yang seharusnya kita kaji dan telaah agar menjadi petunjuk dan pedoman hidup, malah jadi kumpulan jampi-jampi yang tidak kita ketahui maknanya.
1 Comments