Tulisan ini hanya untuk mereka yang punya logika. Bagi yang tidak punya logika, silakan skip saja.
Benarkah PSSI dikuasai oleh mafia sepak bola? Lebih spesifik lagi, benarkah Erick Thohir, Arya Sinulingga, Patrick Kluivert, dan kawan-kawannya dikuasai mafia sepak bola? Benarkah tersisihnya Indonesia dari Piala Dunia 2026 terjadi karena para pengambil keputusan di PSSI dibayar oleh para bandar judi agar Indonesia kalah? Itulah rangkaian pertanyaan yang kini mengemuka.
Saya tidak berani untuk mengiyakan atau membantahnya. Kita seharusnya tidak menuduh orang-orang tersebut. Kalau kita tidak punya bukti, bagi saya kelewatanlah atau keterlaluanlah kalau mereka dengan sengaja mengubur mimpi puluhan juta rakyat Indonesia bahwa Indonesia pada akhirnya bisa bertanding di Piala Dunia. Itu impian yang luar biasa indah. Saya pun sampai beberapa minggu yang lalu masih memimpikan itu. Apakah kini impian itu hancur begitu saja karena urusan sogok dari mafia? Saya tidak berani menyimpulkannya.
Sepak bola Indonesia memang sudah sejak lama diketahui dililit korupsi. Tapi kalau sekarang, saat Indonesia sudah tumbuh menjadi salah satu kekuatan utama sepak bola Asia Tenggara bahkan Asia, kita masih juga sengaja mengalah karena dibayar untuk kalah — rasanya sih kelewatan. Namun pada saat yang sama, mungkin bisa dimengerti juga kalau tuduhan itu sampai muncul dan berkembang karena ada begitu banyak kejanggalan dalam perjalanan sepak bola Indonesia kali ini. Kejanggalan-kejanggalan itulah yang menyebabkan orang curiga.
Kalau saja kejanggalan itu tidak terjadi, Indonesia sangat mungkin sudah lolos sejak di babak ketiga, atau setidaknya lolos di babak keempat dengan menyisihkan Arab Saudi dan Irak. Saya ingin memaparkan argumen mengapa Indonesia seharusnya tidak tersisih. Ini semua dimulai dari soal pergantian Shin Tae-yong oleh Patrick Kluivert — keputusan yang sangat mencurigakan.
Kluivert menjadi pelatih timnas saat mimpi Indonesia sedang melambung tinggi. Shin Tae-yong sudah memimpin Indonesia sejak 2020, dan ketika Kluivert menggantikannya pada 2025, itu masa di mana Indonesia benar-benar percaya pada timnasnya. Shin saat itu sedang memimpin Indonesia menuju Piala Dunia 2026. Langkah pertama Indonesia di babak penyisihan adalah menyingkirkan Brunei dengan skor mencolok 6–0 dan 6–0.
Di babak kedua, Indonesia berada satu grup dengan Irak, Vietnam, dan Filipina. Indonesia jadi runner-up grup setelah hanya kalah dari Irak dan menang atas Vietnam serta Filipina. Dengan bekal itu, Indonesia maju ke babak ketiga. Di babak inilah Indonesia berada di Grup C. Semula Indonesia dianggap sebagai tim terlemah. Di grup itu, Indonesia harus bertemu Australia, Jepang, Arab Saudi, Tiongkok, dan Bahrain. Banyak pihak menganggap hanya Australia, Jepang, dan Saudi yang berpeluang besar.
Namun sejak September 2024, Shin Tae-yong membuka mata bahwa Indonesia bukan tim kaleng-kaleng. Kita bermain imbang 1–1 dengan Saudi, imbang 0–0 dengan Australia, dan imbang 2–2 dengan Bahrain. Bahkan, kalau bukan karena keputusan wasit, Indonesia sebenarnya bisa mengalahkan Bahrain 2–1. Indonesia memang kemudian kalah 1–2 dari Tiongkok dan dibantai Jepang 0–4, tetapi publik mulai melihat Indonesia sebagai kekuatan yang tak bisa diremehkan.
Apalagi setelah itu, Indonesia mengalahkan Saudi 2–0 di Jakarta. Itu prestasi luar biasa. Shin Tae-yong tampak sebagai sosok pembawa keajaiban bagi Indonesia. Tak pernah rasanya orang Indonesia sebangga itu terhadap timnasnya. Berbagai komentator sepak bola internasional pun memuji kebangkitan Indonesia sebagai raksasa baru di Asia Tenggara, apalagi dengan semakin banyaknya pemain naturalisasi yang bergabung.
Namun pada titik itulah mimpi Indonesia berakhir. Tiba-tiba saja Erick Thohir memutuskan memecat Shin Tae-yong dan menggantinya dengan Kluivert. Media menyoroti bahwa keputusan itu tidak melalui konsultasi mendalam dengan pelatih maupun pemain. Erick hanya mengatakan bahwa pergantian dilakukan karena tim nasional butuh kepemimpinan yang lebih kuat dalam hal strategi dan komunikasi dengan pemain.
Menurut Erick, Kluivert dipilih karena banyaknya pemain keturunan Belanda-Indonesia dalam skuad sehingga dianggap akan lebih nyambung secara budaya dan komunikasi. Erick juga mengatakan semula ada 15 nama yang dipertimbangkan, tapi Kluivert akhirnya dipilih karena bersedia diwawancarai oleh Erick pada 25 Desember 2024, di hari Natal. Ini mencengangkan.
Padahal, sejak awal Kluivert sudah dilanda banyak isu negatif. Ia dikabarkan punya utang judi sekitar Rp16 miliar pada periode 2011–2012 ketika melatih tim cadangan FC Twente di Belanda. Kelompok kriminal tersebut dikabarkan melakukan pemerasan terhadap Kluivert agar melunasi utangnya. Meskipun begitu, pihak penyidik dan pengacaranya menyatakan tidak ditemukan bukti bahwa ia terlibat dalam pengaturan skor. PSSI juga menyatakan Kluivert bersih dari kasus judi.
Namun penunjukan Kluivert tetap dipertanyakan, mengingat minimnya prestasi yang ia torehkan sebagai pelatih. Namanya memang besar sebagai pemain Ajax, timnas Belanda, dan Barcelona, tetapi sebagai pelatih, rekam jejaknya relatif mengecewakan. Dari 34 pertandingan, ia hanya mencatat kemenangan sekitar 35%. Ia lebih sering menjadi asisten pelatih ketimbang pelatih kepala.
Ini sangat berbeda dengan Shin Tae-yong, pelatih yang membawa Korea Selatan U-20 ke final Piala Dunia U-20 2019 dan mengalahkan Jerman di Piala Dunia 2018. Di Indonesia, ia berhasil membawa tim ke final Piala AFF 2020, ke Piala Asia 2023, dan ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026. Peringkat FIFA Indonesia naik 40 posisi dalam tiga tahun, dari 175 ke 134.
Hubungan emosional antara pemain dan Shin Tae-yong sangat kuat. Banyak pemain menyebutnya sebagai figur ayah dan pelatih yang disiplin tapi sabar. Ia dikenal menerapkan pressing tinggi, transisi cepat, diet ketat, dan gaya hidup atletik. Karena itu, pemecatannya tanpa alasan logis menjadi kejanggalan pertama yang menghancurkan timnas Indonesia.
Padahal kontrak resminya baru berakhir pada 2026, dan PSSI terpaksa memberikan kompensasi Rp40 miliar. Hasilnya pun membuktikan kecemasan publik: setelah dilatih Kluivert, Indonesia dibantai 1–5 oleh Australia. Setelah itu memang sempat menang atas Bahrain 1–0 dan Tiongkok 1–0, namun akhirnya kembali kalah dari Jepang.
Di babak keempat, Indonesia kalah dari Saudi 2–3 dan Irak 0–1. Dua kekalahan itu membuat Indonesia gagal ke Piala Dunia. Pertanyaannya: pantaskah Indonesia kalah dari Saudi dan Irak? Indonesia sebenarnya tidak kalah kelas. Namun keputusan-keputusan Kluivert di lapangan menimbulkan tanda tanya besar. Misalnya, ia tidak memainkan bintang tim nasional Thom Haye sejak awal laga, memposisikan Jacob Sayuri sebagai bek kanan, dan mencadangkan Rizky Ridho.
Saya ingin mengatakan: Indonesia sebenarnya bisa menang. Tapi seolah tidak dibiarkan menang. Karena itu, wajar bila banyak orang mempertanyakan apakah tersisihnya Indonesia akibat kesalahan Erick Thohir dan Kluivert.
Kita tentu saja tidak pantas menuduh tanpa bukti bahwa ada permainan uang di balik tragedi timnas Indonesia. Namun kita juga harus jujur mengakui bahwa ada banyak kejanggalan yang membuat mimpi Indonesia gagal terwujud.
Gunakan akal sehat. Karena hanya dengan akal sehat, Indonesia bisa selamat.