Akhir-akhir ini, rasanya terlalu banyak pembenaran sekelompok orang yang mengatasnamakan pembelaan agama… Sedangkan gerakan sekarang benar benar sangat jauh dari contoh Rasulullah SAW yang begitu sabar ketika dihina. Rasulullah SAW, jangankan kitab-nya dihina, bahkan ketika Tuhan nya dihina pun, Rasulullah SAW selalu bersabar. Malaikat menawarkan gunung dibalikan, Rasulullah SAW melarang. Jadi sebetulnya….siapa sih yang dicontoh sekelompok orang tersebut? Rasulullah SAW atau para politisi yang mengatasnamakan agama?
Rasulullah bukan sosok pemarah. Banyak yang mencoba mengejek, menyakiti dan melukai, tapi Rasulullah tidak menanggapi dengan api amarah. Rasulullah kadang malah membalas dengan kasih berlebih. Begitu pun ketika si Badui kurang ajar itu mengasarinya. Rasulullah tengah berjalan bersama Anas bin Malik, ketika tiba-tiba Arab Badui itu menarik selendang Najran di kalungan lehernya. Begitu kerasnya tarikan si Badui, Nabi pun tercekik. Anas, seperti tercatat dalam Shahih al-Bukhari, sempat melihat bekas guratan di leher Nabi.
“Hai Muhammad, beri aku sebagian harta yang kau miliki!” teriak si Badui, masih dengan posisi selendang mencekik Rasul.
Apakah Nabi marah dengan sikap si Badui yang mirip preman Tanah Abang ini berbuat kasar untuk minta ‘jatah’?
Tidak, Nabi justru tersenyum, dan berkata pada Anas, “Berikanlah sesuatu.”
Hati Nabi terlalu sejuk untuk sekadar diampiri letikan rasa gusar.
Itu masih belum seberapa. Nabi bahkan pernah ‘dihadiahi’ kotoran hewan, pada punggung, di saat Nabi sedang sujud dalam shalat. Abdullah bin Mas’ud jadi saksi, yang kemudian direkam pula dalam Shahih al-Bukhari.
Ibnu Mas’ud melihat Nabi tengah bersembahyang di dekat Ka’bah, dan pada saat yang sama Abu Jahal dan gerombolannya duduk-duduk tak jauh dari situ.
“Siapa mau membawa kotoran-kotoran kambing, yang disembelih kemarin, untuk ditaruh di atas punggung Muhammad, begitu dia sujud?”
Abu Jahl berseru pada punakawannya. Satu dari mereka, yang tak lain adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, serta Uqbah bin Abi Mu’ith, itu bergerak mengambil kotoran. Mereka tunggu hingga Nabi sampai pada sujud.
Dan benar, sampai ketika Nabi sujud, ditaruhlah kotoran itu di antara dua bahu Nabi. Abu Jahl, punggawa Quraisy yang selalu berupaya menghancurkan Nabi itu, dan gerombolannya menyaksikan dengan tawa keras. Nabi tetap dalam sujud hingga Fatimah az-Zahra membersihkan sembari meneteskan air mata. Tapi Nabi bukan sosok pemarah, bukan pendendam. Nabi tidak memerintahkan Sahabat-Sahabat untuk membalas balik perlakuan Abu Jahl Cs. Beliau hanya berdoa, “Allahumma alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy.” Ya Allah, binasakan mereka, bangsa Quraisy yang pongah itu.
Ya, nabi yang pemarah cuma ada di kepala mereka. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib yang bermuka sangar hanyalah gambar yang lalu lalang di dalam pikiran mereka sendiri. Tapi, siapa sebenarnya yang berperan membangun gambar itu di otak mereka? Bukankah kita? Kita sendiri? Ya, kita. Sadar tak sadar, kita diam-diam telah, sedang, dan masih saja berniat melukis Rasulullah dengan sketsa raut wajah garang.
Teladan kita sebagai umat Islam adalah Rasulullah SAW… Tapi kalau anda mau mencontoh POLI-TIKUS yang selalu membuat pembenaran dengan mengatasnamakan agama, ya silahkan saja… Itu mah pilihan…
Sepeninggal Abu Thalib, gangguan kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin besar. Beliau pun berniat untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh dukungan penduduk setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk agama Islam. Tak lama kemudian, beliau bersama Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, pergi ke Tha’if.
Kabilah terbesar di Tha’if adalah Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan fisik dan ekonomi yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah SAW menemui pemimpin Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara. Rasulullah SAW menyampaikan maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk memeluk Islam dan tidak menyembah kepada selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka sungguh di luar harapan beliau.
Salah satu dari mereka berkata, “Apakah Allah tidak dapat memperoleh seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan. Kami merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Buktinya dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh berbeda dengan ajaran yang kalian tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang selalu penuh dengan derita. Jelas kami menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan menimbulkan malapetaka bagi penduduk kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, Rasulullah SAW berkata, “Jika memang demikian, kami pun tidak memaksa. Maaf kalau telah mengganggu kalian. Kami mohon diri.”
Mereka berkata lagi, “Pergilah kalian cepat-cepat dari sini! Sebelum kalian menyebarkan bencana besar bagi penduduk di sini. Kedatangan kalian ke sini tak bisa kami diamkan begitu saja. Mau tak mau kami harus melaporkan hal ini kepada pemimpin Bani Quraisy di Makkah sebagai mitra kami. Kami tidak ingin berkhianat kepada mereka.”
Maka Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani Tsaqif itu. Akan tetapi, para pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka berdua pergi begitu saja. Di luar rumah para pemimpin tersebut, Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah dihadang oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang tidak ramah. Bahkan di antara kelompok itu ada beberapa anak kecil. Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok penduduk itu pun melempari Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah SAW sambil pergi dari tempat itu. Mereka berdua terluka akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if, Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon sambil membersihkan luka-luka mereka. Ketika sudah tenang, Rasulullah SAW mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepadaMu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapengasih Mahapenyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan diriku? Kepada orang jauh yang berwajah muram kepadaku? atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Aku tidak peduli selama Engkau tidak murka kepadaku. Sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaanMu kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali dengan Engkau.”
Kemudian Allah SWT mengutus Jibril untuk menghampiri beliau. Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota itu.”
Setelah mendapatkan hinaan dan lemparan batu yang demikian menyakitkan, kemudian mendapat tawaran luar biasa dari Jibril, apa jawaban Rasulullah SAW? Ia malah terkejut dengan tawaran tersebut, lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang ini tidak menerima ajaran Islam, tidak mengapa. Aku berharap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah SAW. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulianya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah, penuh kelembutan dan kasih sayang. Betapa kejinya orang-orang yang menghina manusia mulia ini. Betapa jahatnya orang-orang yang menyakiti beliau. Termasuk kita..
Begitu mudahnya kita menyakiti perasaan beliau dengan meninggalkan ajarannya. Tidak tahukah kita, bahwa setiap hari, amal-amal kita akan dihadapkan kepada Rasulullah SAW? Jika amal itu baik, maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka beliau dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi kita. Adakah pemimpin lain yang selalu memikirkan umatnya dari sejak di dunia hingga di kehidupan berikutnya selain Rasulullah SAW?
Ya Allah, ampuni kami.. Ya Rasulullah, maafkan kami…
Kaum Quraisy yang pongah… Berarti yang tidak pongah mah tidak atuh… Dan yang dihancurkan adalah kepongahannya
Jadi menghancurkan kepongahan adalah dengan contoh kesabaran
Yang dihancurkan adalah kepongahan kaum… Bukan kaum… Redaksional nya berbeda
Jadi jelas… Siapa yang seharusnya kita contoh…
Pernah satu ketika seorang Arab Badui kencing di satu sudut dalam Masjid Nabi yang memang belum ada batas yang jelas. Ada di antara para Sahabat marah karena sikap tidak beradab tersebut. Tetapi Nabi SAW tetap tenang dan berkata, “Biarkan dia menyelesaikan hajatnya…” Setelah orang tersebut selesai, Nabi SAW sendiri membersihkan najis itu dan kemudian barulah memberitahunya tentang adab-adab di dalam masjid.
Bayangkan seorang Rasul, Kekasih Allah, dan pemimpin Islam rela membersihkan kotoran orang lain yang dianggap salah agar tidak membuatnya tersinggung. Beliau sungguh berakhlak mulia dengan mengajarkan adab kepada orang lain dengan cara beradab. Suatu sikap yang sepertinya harus menjadi teladan bagi kita saat ini.
Saya sedang membayangkan jika kejadian serupa terjadi pada saat ini. Mungkin saja peristiwa tersebut akan menjadi viral di media sosial dengan isu, gosip dan berita hoax, seperti :
- “Islam dikencingi”
- “Islam dihina”
- “Masyallah, Rumah Tuhan dikencingi, ini saatnya berjihad”
- “Inilah Panggilan Membela Islam”
dan berita-berita lebay lainnya yang membakar emosi dari Sabang hingga Merauke. Tidak ada teladan seperti Nabi yang mencoba menyejukkan keadaan umat dengan pembelaan yang anggun dan tetap menampilkan Islam yang indah.
Sahabat yang marah melihat seorang Arab Badui itu adalah cerminan umat dan diri kita saat ini. Kita yang sedikit-sedikit marah melihat Islam seolah dilecehkan. Cerminan umat yang selalu emosional melihat simbol Islam dihina. Sikap yang seolah ingin menunjukkan Islam itu gagah, ditakuti dan harus dihormati. Umat saat ini mudah sekali baper dan seolah terdepan membela Islam, tetapi tidak tahu cara yang benar dalam membela Islam.
Apakah umat saat ini salah? Tentu saja tidak. Umat cuma kehilangan panutan dan teladan dari pemimpin agama sebagaimana Nabi mengajarkan dengan keteladanan. Umat saat ini hanya kehilangan pemimpin agama yang menyejukkan seperti Nabi mengajarkan dengan kelembutan, bukan pemimpin yang selalu membakar emosi. Pemimpin, panutan dan keteladanan itu hampir punah. Umat akhirnya mudah tersulut emosi dengan sedikit peristiwa apapun yang menganggu eksistensi Islam.
Coba sekali lagi kita perhatikan. Rasul itu makhluk paling mulia yang doanya pasti dijawab oleh kekasihnya, Allah. Apa resep Nabi sebagai makhluk paling mulia? Akhlaknya. Nabi diutuspun untuk menyempurnakan akhlak. Nabi Muhammad citra ideal manusia dengan perangai yang anggun dan kesantunan yang tinggi. Nabi tidak ingin menampilkan Islam yang garang dan gagah tetapi ingin menampilkan Islam yang indah. Islam yang dapat menyentuh hati manusia dengan keadaban, bukan memaksakan hati manusia dengan kekerasan.
Satu lagi cerita popular yang selalu saya ingin dengarkan waktu kecil walaupun sudah kesekian kalinya mendengar cerita ini. Kisah seorang wanita tua yang selalu menyakiti Rasulullah SAW dengan meletakkan duri, najis dan lain-lain untuk mengahalangi jalan yang selalu dilewati Nabi SAW. Namun beliau tidak terbesit untuk menghardik dan membalasnya. Pada satu ketika wanita itu sakit dan orang pertama yang menjenguk wanita tua tersebut adalah Rasulullah SAW dengan menunjukkan kasih sayang terhadapnya. Wanita tua itu terharu dengan kebaikan Rasulullah, lantas memeluk Islam.
Apabila kita meneladani akhlak Nabi, sungguh kita tidak menemukan referensi cara membela Islam dengan menghardik, memaki, menghujat apalagi dengan kekerasan. Islam itu Indah, bukan gagah apalagi garang. Islam itu melindungi dan mengayomi, bukan menghardik dan menakuti. Sayangnya, cerita-cerita akhlak dan keteladanan Nabi seperti itu sudah tidak banyak terdengar. Kita sibuk mentransfer sejarah Nabi tentang peperangan. Seolah anak kita tidak absah apabila tidak kenal dengan peperangan dalam Islam.
Islam indah tidak perlu dibela, tetapi perlu dirawat keindahannya dengan sikap kesantunan kita. Kalaupun Islam harus dibela, contohlah cara pembelaan Nabi dengan penuh adab. Tepatnya membela Islam itu harus dengan benar bukan dengan sikap sangar. Mengajarkan adab terhadap orang lain itu harus dengan beradab.
Dua cerita inspiratif keteladanan Nabi di atas membekaskan dua pelajaran penting bagi saya pribadi dalam membela Islam. Pertama, selalu mengedepankan maaf atas segala tindakan kesalahan. Memaafkan jauh lebih manjur untuk menyadarkan seseorang dari pada membalas kesalahannya. Memaafkan adalah senjata terbaik dalam membela Islam.
Kedua, mengedepankan kesantunan dan kesopanan terhadap siapapun bahkan kepada mereka yang bersalah. Kegagahan Islam tidak akan luntur dengan sikap sopan dan santun terhadap umat lain. Islam tidak akan hina dan dianggap lemah dengan sikap santun dan sopan para umatnya. Nabi telah membuktikan kebesaran Islam yang ditegakkan dengan tiang akhlak yang mulia.
Akhirnya, kita sangat berharap kepada para pemimpin agama untuk selalu memberikan teladan terbaik sebagaimana Nabi mengajarkan keteladanan terhadap para sahabatnya. Kita sangat memimpikan pemimpin agama yang selalu menyejukkan hati di tengah kekerasan sosial yang dianggap sebagai suatu kewajaran. Jika anda tetap ngotot membela Islam dengan kekerasan, mungkin anda sudah menemukan figur teladan lain selain Nabi. Amin.
Ingat dua kalimah syahadat… Bagaimana ikrar kita…
1 Comments