Alkisah jaman dahulu kala, PERSIB akhirnya mampu melaju ke babak tingkat nasional, Divisi I di awal Januari 1983, namun lolosnya PERSIB diikuti oleh mundurnya Marek Janota. Pelatih asal Polandia ini resmi lengser setelah bekerja selama dua tahun setengah di tim kebanggaan masyarakat Bandung ini. Rupanya ia sudah tidak tahan dengan tekanan yang memang seolah-olah menjadi tradisi di tim PERSIB.
Sebagai penggantinya, pengurus PERSIB menunjuk Risnandar Soendoro , mantan bintang PERSIB di era 70’an. Untuk menghadapi Divisi I tingkat Nasional, yang akan dilaksanakan bulan Maret 1983, Risnandar dibantu oleh dua asistennya yaitu Wowo Sunaryo dan Suhendar. Beberapa nama baru didaftarkan untuk babak ini, diantaranya adalah Suryamin yang baru pulang membela PSSI Pratama dan Yusuf Bachtiar anak muda hasil pembinaan Diklat Ragunan.
Di bawah pelatih Risnandar, PERSIB akhirnya memastikan diri lolos ke babak 16 Besar, setelah mengukuhkan diri sebagai Runner-up Grup 1 tingkat Nasional, meskipun cuma mencatat sekali kemenangan atas Persiku Kudus 1-0 lewat gol tunggal Djafar Sidik, dan kalah 0-2 dari Persema Malang.
Menghadapi Kompetisi Divisi I tingkat nasional “16 Besar”, Risnandar tidak banyak melakukan perombakan tim. Ia tetap mengandalkan materi pemain muda hasil tempaan Marek Janota yang tampil di Invitasi Antarperserikatan U-23 1981 dan Piala Suratin 1982.
Di babak “16 Besar” Divisi I Nasional, PERSIB bergabung di Grup B bersama Persedil Dili, Persisam Samarinda, dan PSSA Asahan. Bertanding di Stadion Siliwangi, PERSIB tampil perkasa dengan menghajar Persedil 4-1, Persisam 5-0, dan PSSA 2-0, sekaligus memastikan langkahnya ke babak “8 Besar” sebagai juara grup.
Sebagai juara grup, PERSIB kembali dipercaya menjadi salah satu tuan rumah babak “8 Besar”, selain PSIS. Menjamu Persikabo Kab. Bogor, PSBI Blitar, dan PSP Padang di Grup F, anak asuh Risnandar melanjutkan keperkasaannya. Persikabo dikalahkan dengan skor 2-0, PSBI dijinakkan 2-1, dan PSP ditundukkan dengan skor 2-0, untuk melaju ke babak semifinal yang akan digelar di Stadion Diponegoro Semarang, April 1983.
Dengan lolos ke semifinal, PERSIB secara otomatis sudah memastikan satu dari empat tiket promosi ke Divisi Utama. Pasalnya, jika pada musim sebelumnya yang promosi cuma juara Divisi I saja, kali ini PSSI menambah menjadi 4 tim, karena ada keputusan menambah peserta Divisi Utama 1983, dari “6 Besar” menjadi “10 Besar”. Kemenangan ini disambut dengan suka cita.
Rupanya “penyakit” berleha-leha setelah menang, memang sudah ada dari zaman dulu, buktinya kegarangan PERSIB di babak sebelumnya mendadak sirna di babak semifinal. yang memang sudah tidak menentukan. Menghadapi tuan rumah PSIS, mereka dibantai 0-3. Beruntung PERSIB masih bisa menduduki peringkat ketiga usai menghajar PSP 5-1. Selain itu, salah seorang pemain mudanya, Adjat Sudradjat dinobatkan sebagai pencetak gol tersubur dengan koleksi 9 gol.
Setelah berhasil promosi ke Divisi Utama sebagai peringkat ketiga Divisi I, PERSIB tidak memiliki banyak waktu untuk rehat. Pasalnya, kurang dari lima bulan, Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1983 sudah akan dimulai.
Tetapi menjelang Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1983 yang akan dimulai September 1983, PERSIB justru diguncang sedikit prahara. Risnandar Soendoro yang sukses mengantarkan PERSIB promosi ke Divisi Utama justru dilengserkan pengurus, kurang dari sebulan menjelang kompetisi dimulai. Posisi Risnandar digantikan seniornya, Omo Suratmo. Omo efektif menangani PERSIB per tanggal 22 Agustus 1983. Kendati demikian, setelah Omo menangani PERSIB dalam dua kali pertandingan uji coba melawan tim Pemda Kalsel dan Pemda Jabar, Risnandar mengaku belum mengetahui adanya pergantian itu.
Terlepas dari persoalan internal itu, Omo tetap mempersiapkan tim menghadapi Divisi Utama 1983. Menghadapi putaran pertama babak penyisihan Wilayah Barat yang akan dimainkan di Stadion Imam Bonjol Padang, Omo memboyong 20 pemain. Mereka adalah Boyke Adam, Sobur, Wawan Hermawan (kiper), Adjid Hermawan, Suryamin, Kosasih A, Dede Iskandar, Giantoro (Capt), Robby Darwis, Yoce Roni Sumendap, Yana Rodiana, Wolter Sulu, Adeng Hudaya, Iwan Sunarya, Ade Mulyono, Adjat Sudradjat, Wawan Karnawan, Kosasih B., Rudiyanto, dan Bambang Sukowiyono.
Pada awal perjuangannya di Divisi Utama, penampilan anak-anak muda PERSIB belum begitu meyakinkan. Pada pertandingan pembuka, mereka dikalahkan PSMS Medan 0-1, lalu ditahan Persiraja Banda Aceh 2-2 dan Persija 0-0. PERSIB baru mencatat kemenangan pada laga keempatnya, ketika memukul tuan rumah PSP Padang 2-1, untuk menempati peringkat ketiga klasemen sementara.
Menjelang putaran kedua digelar di Stadion Siliwangi, dua pemain anyar dipanggil, yaitu Djafar Sidik dan Memed Ismar, pemain yang sebelumnya memperkuat Sari Bumi Raya Yogyakarta. Selain dua pemain baru tersebut, Omo juga memanggil kembali pemain veteran Encas Tonif untuk memperkuat skuad PERSIB. Ketiga pemain tersebut menggantikan posisi Wawan Hermawan, Yoce Roni, dan Ade Mulyono yang “menghilang” dari skuad Omo.
Dengan suntikan darah baru ini, PERSIB tampil garang di putaran kedua. Di hadapan publiknya sendiri, mereka menggasak Persiraja 4-0, PSP 5-0, dan PSMS 3-1. Hasil imbang 0-0 pada laga terakhir melawan Persija menempatkan PERSIB di peringkat kedua klasemen akhir untuk mendampingi PSMS lolos ke babak “4 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta.
Di babak “4 Besar” PERSIB semakin tampil menawan. Tiga lawannya mereka gasak. Persebaya Surabaya diembat 2-1, PSMS 2-1, dan PSM Makassar 3-0. PERSIB pun dengan mulus melaju ke grandfinal untuk menghadapi PSMS.
Berkat penampilan yang cantik selama babak 4 besar, publik sepak bola nasional mulai menjagokan PERSIB untuk tampil sebagai kampiun. Tapi sayang, nasib belum berpihak ke PERSIB. Melalui drama adu penalti yang sangat menegangkan, setelah bermain imbang tanpa gol selama 120 menit, termasuk perpanjangan waktu, tim yang dikapteni Giantoro harus mengakui keunggulan PSMS 2-3. Kecemerlangan penjaga gawang PSMS Ponirin Mekka, menggagalkan ambisi PERSIB untuk mencetak sejarah, langsung juara begitu promosi ke Divisi Utama. Dalam drama adu penalti, tiga eksekutor PERSIB, Giantoro, Adeng dan Dede Iskandar gagal melewati “tangan emas” Ponirin Mekka. Sedangkan Wolter Sulu dan Adjat Sudrajat sukses melakukan eksekusi dengan baik.
Dalam pertandingan Grandfinal yang digelar pada 10 November 1983 itu, Pelatih Omo Suratmo, menurunkan skuad : Sobur (kiper), Suryamin/Adjid Hermawan, Dede Iskandar, Robby Darwis, Giantoro (Capt), Encas Tonif/Kosasih A., Bambang Sukowiyono, Wolter Sulu, Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, dan Wawan Karnawan.
Ketua Umum PERSIB, Solihin GP. berusaha menghibur para pemain PERSIB. Meski tampak getir, ia berusaha membuat para pemain yang tertunduk pilu untuk tidak larut dalam kesedihan. Gagal tampil sebagai kampiun, kubu PERSIB sedikit terhibur. Pasalnya, mereka dinobatkan sebagai tim terbaik. Selain itu, salah seorang bintang mudanya, Adjat Sudrajat dinobatkan sebagai Pemain Terbaik dan Top Skor tersubur dengan 8 gol.
Dari delapan gol yang dicetak Adjat sepanjang musim itu, 4 di antaranya dicetak ke gawang PSMS dalam tiga pertemuannya di putaran pertama, kedua, dan babak “4 Besar”. Sayang, kerakusan Adjat Sudradjat membobol gawang PSMS lenyap ketika berlaga di partai final. Gosipnya, Adjat mengaku kondisinya tidak maksimal setelah sempat “dihantam” bek PSMS, Marzuki Nyakmad. Selain ketegangan Adjat di partai Final, episode lain yang tak boleh dilewatkan adalah soal kejengkelan Encas Tonif yang diganti Kosasih A. di pertengahan babak kedua. Saking jengkelnya, Encas sempat melemparkan air minum ke arah salah seorang ofisial tim. Pemain paling tua di kubu PERSIB itu (32 tahun) ditarik karena dinilai bermain kasar. Encas mengakuinya, tapi menurutnya itu dilakukan untuk memompa mental para pemain muda PERSIB. Kejengkelan Encas pada peristiwa itu karena pertandingan tersebut merupakan kesempatan terakhirnya mempersembahkan gelar juara sebelum gantung sepatu.
Selepas Kompetisi Divisi Utama Perserikatan, PERSIB diundang untuk mengikuti turnamen segitiga persahabatan internasional di Stadion Teladan Medan (28-30 Desember 1983). Pesertanya yaitu PERSIB, Freiburg (Jerman), dan tuan rumah PSMS Medan. Sayang, pada turnamen ini PERSIB tidak menampilkan performa terbaiknya, di pertandingan pertama melawan tuan rumah PSMS Medan, PERSIB kalah 1-0. Kemudian di pertandingan kedua, PERSIB harus mengakui keunggulan Freiburg dengan skor 0-5.
Para pemain muda PERSIB tak patah arang dengan kegagalan pada kompetisi sebelumnya. Mereka langsung bersiap menghadapi Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1985. Sejumlah turnamen persahabatan diikuti sepanjang 1984.
Piala Wali Kota Padang II, Piala Siliwangi IV, dan Piala Yusuf X adalah sejumlah turnamen yang diikuti PERSIB. Kecuali Wawan Karnawan yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di Piala Yusuf, tak ada mahkota yang direngkuh PERSIB dalam turnamen-turnamen tersebut.
Kendati sempat dikembalikan kepada Risnandar Soendoro di beberapa turnamen, namun menghadapi Divisi Utama Kompetisi Perserikatan 1985, pengurus PERSIB menunjuk Nandar Iskandar sebagai pelatih. Ia didampingi tiga asistennya, Suhendar dan Wowo Sunaryo serta Indra M. Thohir sebagai pelatih fisik. Posisi manajer dipercayakan kepada M. Yayat Ruchiyat.
Menghadapi kompetisi ini, PERSIB mendaftarkan pemainnya antara lain Boyke Adam, Sobur, Wawan “Kutil” Hermawan, Dede Iskandar, Suryamin, Cornelis Rudolf, Yoce Roni Sumendap, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Ganjar Nugraha, Sardjono, Yana Rodiana, Iwan Sunarya, Bambang Sukowiyono, Jafar Sidik, Kosasih A, Suhendar, Wawan “Balok” Karnawan, Dede Rosadi, dan Adjat Sudradjat.
Gosipnya, Cornelis Rudolf mempunyai julukan Si Magrib lantaran kulit tubuhnya yang hitam legam khas Papua.
Sebagian besar pemain PERSIB 1983 masih dipertahankan, kecuali Wolter Sulu yang hijrah ke PS Bengkulu, Giantoro dan Encas Tonif yang menyatakan pensiun, Adjid Hermawan, Ade Mulyono yang sejak awal putaran kedua Kompetisi Perserikatan 1983 sudah tidak masuk tim, serta Kosasih B. dan Memed Ismar. Tapi khusus untuk Encas Tonif, Ade Mulyono, dan Adjid Hermawan, menjelang akhir putaran kedua, mereka dipanggil lagi bersama Vence Sumendap.
Seiring dengan semakin matangnya permainan para pemain mudanya, PERSIB kembali difavoritkan untuk menjadi kampiun. PERSIB dinilai memiliki materi pemain terbaik dibandingkan 11 peserta lainnya. Publik sepak bola nasional semakin mantap menjagokan PERSIB, ketika lolos ke babak “6 Besar” dengan rekor tak terkalahkan. Di putaran pertama yang berlangsung di Stadion Lampineung Banda Aceh, PERSIB menghajar Persija 3-0 dan tuan rumah Persiraja 2-0. Dalam tiga laga lainnya, PERSIB bermain imbang, dengan Perseman Manokwari 2-2, PSP Padang 2-2, dan PSMS Medan 2-2.
Di putaran kedua yang berlangsung di Stadion Menteng dan Stadion Utama Senayan Jakarta, PERSIB memastikan diri lolos ke babak “6 Besar” sebagai juara Wilayah Barat, setelah menundukkan PSP 4-0 dan Persija dengan skor 4-0, Persiraja 2-0 serta imbang tanpa gol dengan PSMS 0-0 dan dengan Perseman Manokwari 1-1. PERSIB didampingi Perseman dan PSMS, peringkat kedua dan ketiga Wilayah Barat.
Sambil menunggu babak “6 besar” dimulai, Pada tanggal 5 Februari 1985, PERSIB mendapat kesempatan terlebih dahulu berujicoba dengan Torpedo Kutaisi. Tim ini merupakan klub dari Uni Soviet. Pada saat itu, skuad PERSIB tidak diperkuat Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, Jaffar Sidik, dan Bambang Sukowiyono. Namun, Djadjang Nurdjaman (mantan pemain PERSIB yang sempat hijrah ke Mercu Buana Medan di Galatama V/1984) kembali ikut membela PERSIB. Adjat Sudradjat saat itu berada di timnas Indonesia A. Sementara Adeng Hudaya, Jaffar Sidik, dan Bambang Sukowiyono tidak mendapat ijin dari instansinya. Hasilnya PERSIB kalah 1-3 dari lawannya. Torpedo Kutaisi unggul lebih dahulu 1-0 melalui Jorji Kashuili (menit 36). Namun, pemain baru Djadjang Nurdjaman berhasil membalasnya menjadi 1-1 pada menit 57. Sayang, PERSIB tidak mampu mempertahankannya, lawan berhasil menjaringkan dua gol tambahan sehingga ketika peluit akhir kedudukan 1-3. Keberadaan Djadjang Nurdjaman di kubu PERSIB baru sebatas pinjaman, dan tidak bisa dimainkan di Kompetisi Perserikatan yang sudah mencapai babak “6 besar”.
Di awal babak babak “6 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta, akhir Februari 1985, PERSIB melanjutkan keperkasaannya. Dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dihajar 4-0 dan Persipura Jayapura 3-1. Namun kekalahan 1-2 dari PSM Makassar pada laga berikutnya membuat langkah PERSIB tersendat.
PERSIB masih memelihara peluang ketika kemudian menundukkan Perseman 4-1. Kemenangan PERSIB atas Perseman ini sempat dituding berbau tidak sportif dan dikritik berbagai kalangan, termasuk Ronny Pattinasarani dan Iswadi Idris. Pasalnya, sebelum pertandingan berlangsung, Ketua Umum PERSIB, Solihin GP. diketahui membuat “ikrar” dengan kubu Perseman yang ketika itu menjadi public enemy penonton Senayan, akibat permainan keras menjurus kasar para pemainnya. Ikrar dilakukan antara Solihin GP. dengan Mayor M.E. Talahatu, asisten manajer Perseman.
Ikrar Solihin G.P. dengan sang mayor itulah yang dituding tidak sportif. Iswadi Idris mengatakan, untuk menghindari permainan keras menjurus kasar seperti diperagakan pemain Perseman, dibutuhkan wasit yang tegas dan jeli. “Bukan dengan pembacaan ikrar,” timpal Iswadi.
Kembali ke lapangan, posisi PERSIB kembali berada di ujung tanduk ketika dikalahkan PSMS 1-0. PERSIB lolos dari lubang jarum, karena PSM yang membutuhkan kemenangan untuk menggeser PERSIB di peringkat kedua hanya bermain imbang 2-2 dengan Persebaya. Alhasil, PERSIB lolos ke grandfinal untuk menantang sang musuh bebuyutan PSMS, hanya dengan keunggulan selisih gol dari PSM. Ini merupakan Partai Final ulangan Perserikatan 1983.
Pertandingan Final digelar di Stadion Senayan Jakarta tanggal 23 Februari 1985. Stadion Utama Senayan yang besar dengan kapasitas penonton 120.000, tak mampu menampung kedatangan sekitar 150.000 penonton yang didominasi oleh pendukung PERSIB yang datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Gosipnya, dari segi jumlah penonton, partai final ini tercatat sebagai ” Rekor Dunia “. Bayangkan, stadion Senayan yang dalam keadaan normal berkapasitas 120.000 orang, ketika itu sudah dijejali melampaui kapasitasnya; sampai ke pinggir lapangan. Menurut buku Asian Football Confederation (AFC) terbitan 1987, pertandingan ini merupakan pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan sepakbola amatir di dunia. Suatu rekor yang luar biasa dan belum terpecahkan hingga saat ini. Jumlah penonton yang membludak itu juga membuat pertandingan sempat ditunda beberapa jam, bahkan pemanasan pun dilakukan sampai tiga kali, di dalam dan di luar stadion.
Pada pertandingan final ini Nandar Iskandar menurunkan formasi Sobur (kiper); Suryamin, Dede Iskandar, Robby Darwis, Adeng Hudaya, Bambang Sukowiyono, Adjat Sudradjat, Kosasih A., Suhendar/Yana Rodiana, Iwan Sunarya, dan Wawan Karnawan/Dede Rosadi.
Pertandingan berjalan sengit, permainan keras PSMS diladeni oleh permainan bola dari kaki ke kaki, cantik seperti ciri khas PERSIB. Namun PERSIB tertinggal lebih dulu di babak pertama oleh 2 gol Musimin Sidik menit 14 dan 35. Di babak ke II, dengan mental baja PERSIB yang sudah ketinggalan 0-2, akhirnya dapat menyamakan kedudukan 2-2 melalui penalti Iwan Sunarya di menit 65 dan gol kelas dunia Adjat Sudrajat di menit ke-75. Melalui sundulan kepala yang sangat indah dari sedikit saja dari luar kotak penalti PSMS, menyambut tendangan sudut Iwan Sunarya. Sundulan Adjat yang cukup jauh jaraknya untuk ukuran sebuah gol dengan kepala ini menerpa mistar bagian dalam PSMS Medan, sehingga kiper hebat Ponirin Mekka sampai bengong tak bereaksi.
Soetjipto “Gareng” Soentoro, bintang PSSI di era 1960-an dan awal 1970-an yang jadi komentator melalui RRI Jakarta ketika itu, menyebutnya sebagai gol spektakuler yang berkelas dunia. Mirip golnya Paul Mariner di Premiere League, goal getter timnas Inggris tahun 1970-an.
Dalam waktu normal, plus perpanjangan waktu, kedua tim bermain imbang 2-2. Adu Penalti pun terpaksa dilakukan, algojo-algojo PERSIB dipersiapkan dari jauh-jauh hari untuk menghidari kegagalan final kompetisi sebelumnya, mereka adalah Adjat Sudradjat, Iwan Sunarya, Adeng Hudaya, Wawan Karnawan dan Bambang Sukowiyono yang selama latihan memiliki poin tertinggi untuk urusan akurasi penalti. Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. ternyata Dewi Persik eh ma’af “Dewi Fortuna” masih memusuhi PERSIB. Seperti Grandfinal 1983, PERSIB pun kembali gagal membawa pulang Piala Presiden, karena lagi-lagi kalah 3-4 lewat drama adu penalti. Dari 5 algojo penalti Persib, tembakan Iwan Sunarya menerpa tiang gawang sebelah kiri, Adjat Sudradjat sukses mengeksekusi penalti, tembakan Robby Darwis karena berhasil dipatahkan oleh kecermelangan seorang bintang kiper saat itu : Ponirin Mekka. Eksekusi Mameh Sudiono memastikan kemenangan PSMS atas Persib malam itu.
Hal unik soal penalti ini, semua tembakan algojo Persib mengarah ke kiri semua. Hanya Adjat Sudrajat yang arahnya ke kanan. Rupanya telah beredar gosip pada para pemain Persib bahwa kelemahan Ponirin Meka adalah sebelah kiri.
Kekalahan untuk ke-2 kalinya dari PSMS melalui drama adu penalti itu membuat kubu PERSIB terdiam. Solihin GP, Manajer Tim M. Yayat Ruchiyat, pelatih Nandar Iskandar, dan ofisial lainnya seakan terpaku melihat kegembiraan anak-anak Medan.
Suryamin tampak terisak-isak dalam pelukan Yana Rodiana dan Wawan Karnawan. Beberapa pemain lainnya menunduk lesu dan duduk di bangku cadangan. Suasana hening itu dibangkitkan Solihin G.P. yang dengan suara tegar meminta para pemain untuk menerima kenyataan itu dengan ksatria.
Suatu Pertandingan final yang sangat bermutu, menguras emosi penonton tetapi semua pihak yang terlibat tetap menjunjung sportifitas tinggi sehingga tak ada kerusuhan. Ini merupakan pertandingan sangat heroik dalam sejarah sepakbola Indonesia. Pertandingan ini sangat sarat dengan pelajaran berharga bagaimana sebuah sportifitas sebaiknya dikembangkan secara baik dan dewasa penuh kekeluargaan seperti ciri budaya Bangsa Indonesia ketika itu.
Meskipun penontonnya demikian banyak, kedua suporter tak saling bentrok sepanjang pertandingan berlangsung. Dan ternyata para suporter PERSIB khususnya tetap sportif menerima kekalahan dari PSMS untuk yang kedua kalinya di final melalui adu penalti. Pasca pertandingan tak terjadi kerusuhan sedikit pun. Bobotoh PERSIB pulang ke Jawa Barat (Banten masih termasuk Jawa Barat, saat itu) dan juga bobotoh yang tinggal di Jabotabek, dengan hati sangat sedih tapi tetap lapang dada. Adjat Sudradjat dan kawan-kawan kalah sangat terhormat setelah berjuang sampai keringat terakhir tak menetes lagi. Atau dalam kata-kata mantan kapten timnas Ronny Patinasarani : “PERSIB menang teknik dalam pertandingan final ini tetapi kalah mental dibanding PSMS”.
Pasca pertandingan PERSIB vs PSMS ini perseteruan di lapangan berlanjut ke persahabatan di luar lapangan. Pemain-pemain PERSIB diundang untuk memperkuat PSMS memenuhi undangan Singapura untuk turnamen Piala Merlion. Maka Adjat Sudradjat, Kosasih, Robby Darwis, Sukowiyono dan Iwan Sunarya beberapa minggu mencicipi latihan bersama Ponirin Mekka dan kapten Sunardi A dkk di stadion Teladan, Medan. Penonton Medan mengelu-ngelukan Adjat Sudradjat sebagai “Soetjipto Soentoro Baru”.
Gosip lain setelah pertandingan PERSIB vs PSMS 1985 ini, ada kisah menarik tentang Bintang PERSIB kala itu Adjat Sudradjat “dibawa kabur” oleh seorang selebritis ke sebuah hotel berbintang. Menurut pengakuan Adjat : “Ah, Kang, saya mah cuma nonton film Kungfu di bioskop hotel Kartika Chandra bersama Hetty Koes Endang”. Hetty yang masih lajang ketika itu malah “nyengir” ketika dicegat wartawan “Ah enggak, saya mah ngan ngajak Adjat nonton felem supaya melupakan kekalahan maen bola. Paling rencana kedepan saya dengan Adjat mau berduet nyanyi untuk rekaman tahun ini ” katanya.
Kembali kepada hasil Final Kompetisi Perserikatan, kekalahan PERSIB dari PSMS Medan (yang juga melalui drama adu penalti) diikuti dengan munculnya ketidakpuasan yang berbuntut pada gugatan Solihin GP. kepada wasit yang memimpin pertandingan, Djafar Umar. Surat protes resmi hasil rapat pengurus tertanggal 25 Februari 1985 itu dikirim ke PSSI dengan disertai bukti video rekaman pertandingan.
“Kami tidak menggugat PSMS sebagai Juara, tapi sekadar bertanya kepada PSSI. Memangnya tak boleh, Kami yakin, wasit merugikan kami, Ini bukan protes, tapi koreksi atas wasit Djafar Umar yang memimpin pertandingan final itu”, kata Solihin GP.
Dalam surat protesnya, PERSIB melihat ada tiga kekeliruan yang dilakukan Djafar Umar. Pertama ketika Medan unggul 2-1, di menit 77, PERSIB mendapat sepak pojok. Bola yang terlepas dari perebutan antara kiper Ponirin Mekka dan Bambang Sukowiyono disundul Robby Darwis dan masuk. Wasit tak menunjuk titik putih, sebagai tanda gol telah terjadi.
Kedua, pada menit ke-10 babak perpanjangan waktu, lagi-lagi terjadi kekalutan di gawang Ponirin oleh sebuah sepak pojok. Gol yang masuk lewat Dede Rosadi, juga tak dipedulikan wasit. Yang ketiga, ketika adu penalti, saat giliran penembak ketiga PERSIB, Adeng Hudaya, konon Ponirin sudah lebih dulu bergerak ke arah kiri, sebelum eksekusi dilakukan. Ini juga tak dianggap pelanggaran.
Namun, gugatan PERSIB itu menguap begitu saja. Ketua Komisi Wasit PSSI, Syamsudin Hadade justru sempat memeluk Djafar Umar usai pertandingan. “Pertandingan berjalan baik, semua keputusan wasit sesuai dengan peraturan,” katanya.
Soal 2 gol yang dianulir, Hadade juga mengatakan, sebelum gol terjadi, wasit sudah meniup peluit untuk pelanggaran pemain PERSIB terhadap kiper Ponirin. Begitu juga tentang tuduhan Ponirin bergerak lebih dulu di dalam adu penalti, menurutnya, yang bergerak cuma tubuh Ponirin, hal yang dibolehkan peraturan, asal kaki tak turut melangkah. Setelah dibahas oleh komisi khusus bentukan PSSI, protes PERSIB itu tak menghasilkan apa-apa, meski sudah dibuktikan video rekaman. Hadade mengatakan, rekaman itu tak bisa dijadikan barang bukti. “Pengambilan gambarnya tidak dari berbagai sudut,” dalihnya.
Usai gagal meraih gelar juara perserikatan tahun 1985, PERSIB kembali bersiap menghadapi musim selanjutnya. Pemain yang dipersiapkan, diterjunkan mengikuti turnamen Piala Tugu Muda di Semarang pada bulan Oktober 1986. Di turnamen ini PERSIB berhasil melangkah ke partai final dan berhadapan dengan Rajpracha, kesebelasan dari Thailand. Sayang keberuntungan belum berpihak pada PERSIB di tahun ini, PERSIB kembali kalah di partai final dengan skor 0-2. Tapi langkah PERSIB di turnamen kali ini dianggap yang terbaik sepanjang keikutsertaannya di turnamen rutin yang diadakan di kota Semarang itu.
Pada 19 November 1985, terjadi serah terima jabatan dari Solihin G.P. kepada Ateng Wahyudi sebagai Ketua Umum PERSIB. Acara serah terima ini dilakukan secara tidak lazim, yaitu melalui pesawat telepon. Ateng Wahyudi yang merupakan Walikota Bandung saat itu, merupakan sosok yang “gila bola”. Meskipun demikian, pada awalnya bobotoh yang terlanjur mengagumi figur kharismatik Solihin GP. belum mau menerima kehadiran sang ketua umum baru ini. Ada kejadian menarik di awal kepemimpinan Ateng Wahyudi yang saya ingat saat itu PERSIB bertanding di Siliwangi dan penonton saat itu membludak hingga pinggir lapangan dan tidak terkontrol. Ateng Wahyudi yang berada di podium Tribun VIP mencoba mengingatkan melalui pengeras suara tetapi tidak diindahkan oleh para bobotoh, sampai akhirnya Solihin GP. yang datang ke Siliwangi menggunakan Helikopter langsung berjalan mengitari lapangan untuk menenangkan penonton, dan “ajaibnya” para bobotoh saat itu langsung duduk ketika didekati oleh ” Mang Ihin”.