Warisan Keimanan

Warisan Keimanan

Saya tertarik untuk menyisipkan tulisan Afi Nifaya Faradisa ini ke dalam blog ini. Sebelumnya saya pernah menyusun sebuah artikel yang menyampaikan pesan yang sama di blog ini. Tidak setiap orang akan setuju dengan isi tulisan tersebut, namun saya sangat sependapat dengan tulisan ini.

Beginilah Afi Nifaya Faradisa menulis :

Warisan

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.

Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.

Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.

Ternyata….

Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.

Maka….

Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.

Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.”

Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja “iman”.

Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali coba menjadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.

Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, “Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya”.

Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?

Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.

Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.

Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.

Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.

Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.

Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.

Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir…

—oOo—

By the way, ketika saya mencoba mendiskusikan masalah ini, ada salah satu teman saya berkomentar, “Itu sebabnya kita harus bersyukur, gan, karena kita yang dilahirkan dari keluarga muslim, sudah bisa merasakan lezatnya iman dari dulu..”

Pendapat yang menarik… Namun, timbul pertanyaan selanjutnya… iman itu artinya apa, bro? apa bedanya beriman dengan percaya? Sebagai golongan orang-orang yang sudah merasakan lezatnya iman, benarkah sikap kita selama ini pada sesama manusia di sekitar kita?

Daripada kita sibuk menghakimi orang, lebih baik kita merefleksi diri kita terlebih dahulu. Di akhirat nanti, kita punya pertanggungjawaban pribadi di hadapan Sang Pencipta.

Pantaskah seseorang yang katanya sudah bisa merasakan lezatnya iman menghakimi dan mem-bully kelompok lain dengan berbagai istilah “kafir”, “munafik”, “kecebong”, “penista”, “bani taplak”, “ahoker”, “cebonger”, “bumi datar”, “onta”, dan beberapa istilah lain yang intinya adalah bullying dan deskriditisasi terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan politiknya?

Bukankah seharusnya orang yang sudah merasakan lezatnya iman itu menjadi rahmatan lil alamin dengan sikap-sikap yang toleran dan menyebar kasih sayang antar sesama manusia?

Bagi saya pribadi, orang yang bisa merasakan lezatnya iman tentulah harus terlihat dari sikap, ucapan, dan perbuatannya seharui-hari… nggak cukup modal agama dan iman warisan…. Akang-Teteh pembaca setuju? Atau ada pendapat yang lain? 🙂

Oh iya, ini adalah fakta sejarah yang perlu kita ketahui…

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *