Kami mempunyai WhatsApp Group keluarga. Tidak dipungkiri, WhatsApps group merupakan salah satu sarana untuk membangun dan mempererat silaturahmi antar anggota keluarga. Saya pun bisa lebih mengenal anggota keluarga kami yang sehari-hari jarang bertemu.
Namun, keindahan silaturhami keluarga begitu mudah ternoda ketika ada salah satu anggotanya mulai memposting isme politik dan keagamaan yang dia yakini, di mana tidak semua orang sepakat de gan sudut pandangnya.
Beberapa bulan terakhir ini terjadi panas di group. Semua itu berawal dari banyaknya postingan-postingan yang dilakukan salah seorang anggota group yang berisi : “ajakan untuk membenci agama lain”, “ajakan untuk membenci pemerintahan Jokowi”, “ajakan untuk memusuhi Syi’ah”, dan postingan-postingan yang sejenis dengan itu.
Mungkin karena risih dengan segala postingan negatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan membangun dan memelihara silaturahmi, Mang Jonih, paman saya, akhirnya memilih sikap untuk keluar dari group Keluarga Wongsowinangun.. Pesan terakhir yang beliau sampaikan sebelum keluar begitu inspiratif. Itu sebabnya saya ingin berbagi dengan teman-teman di sini…
Sebab beberapa bulan terakhir WAG ini selain untuk silaturahmi ternyata juga sibuk membicarakan orang/kelompok lain, mencari-cari kesalahan orang/kelompok lain, dan sepertinya para anggota punya banyak waktu untuk menghujat kelompok bahkan pemerintah, padahal di akhirat nanti kita tidak ditanya tentang orang lain, dan akan sibuk dengan urusan sendiri, dengan dosa-dosa yang bertumpuk dan amalan minimalis. Hapunten ka sadayana, abdi bade pamitan.
Lebih banyak pada masa-masa Pilkada kemarin. Memang paling asyik mencari dan menyalahkan orang lain, walau ilmu dan wawasan kita sangat mungkin untuk tidak mumpuni untuk menilai orang/kelompok lain, dan mereka tidak membutuhkan penilaian kita. Seandainya berita tentang kesalahan orang/kelompok tersebut benar pun, tidak boleh kita forward ke berbagai kontak dan WAG ke mana-mana, apalagi kalau tidak benar. Sebab dengan sibuk menyebarkan aib/kesalahan orang, jangan-jangan, nauuzubillahi min zalik, kita akan menjadi golongan orang yang bangkrut di akhirat nanti.
Saya pun memberikan tanggapan di group tersebut dengan tulisan sebagai berikut :
Dulu, jauh jauh hari sebelum group ini terbentuk, dalam sebuah acara kumpul-kumpul bulanan Keluarga Besar turunan Wongsowinangun, saat buku pertamanya terbit, sambil membagikan beberapa bukunya, Mang Jonih bercerita beberapa hal yang berkaitan dengan karya tulisnya tersebut.
Pertama, dari pemilihan judulnya. Kenapa Judulnya “Malaikat Cinta”, kenapa tidak “Keajaiban dt Tanah Suci Mekah”, “Emak Ingin Naik Haji”, atau judul-judul sejenis dengan itu? Ini strategi dakwah. Sebagian besar orang tidak akan menyangka bahwa buku tersebut isinya tentang pengalaman spiritual ibadah haji. kenapa? supaya buku tersebut dibaca semua kalangan, bukan eksklusif orang Islam saja. Bahkan di awal bukunya ada kata sambutan yg ditulis oleh seorang Pendeta Nasrani. Saya lihat Mang Jonih cukup berhasil menyampaikan keindahan ajaran Islam pada komunitas lintas agama. Ini yang namanya Syiar Islam, Menyampaikan pemahaman yang benar tentang Islam dengan cara damai.
Kedua, Mang Jonih memilih bekerjasama dengan Penerbit Gramedia, itu khan Kompas group yang dikuasai orang Nasrani toch? Kenapa nggak memilih penerbit Mizan, Pustaka Rabbani, Gema Insani Press, atau penerbit berlabel Islam lainnya? Jika terbitnya dari sana, berapa banyak kalangan di luar Islam yg tertarik membaca bukunya? Saya lihat Mang Jonih berusaha menunjukan keindahan nilai-nilai spiritual Islam kepada semua kalangan.
Beda banget ya dengan sebagian dari kita yang dikit-dikit ribut dan emosi karena terprovokasi pada hal yang bersifat serba katanya, tanpa kita tabayyun-kan ke pihak yang terkorbankan, seperti :
- boikot sari roti,
- boikot Traveloka,
- boikot metro TV,
- mari kita belanja hanya kepada toko-toko milik muslim pribumi, dll.
Di saat yang bersamaan kita lupa bahwa rokok yang kita hisap adalah produk paling sukses dari nenek moyang bangsa yang mereka bilang Yahudi itu.
Suka tidak suka harus kita akui, sejujurnya,sebagian besar dari kita mungkin bersikap taklid, jarang sekali sebagian besar dari kita bersikap untuk menelurusi kebenaran informasi dan bertabayyun dgn seksama…
Akibatnya kita jadi ngamukan, baru dengar hoax dikit tentang “Islam dihina”, kita spontan bereaksi tanpa bepikir, lalu ikut pengumpulan massa, percaya begitu saja pada mereka yang berorasi, “Saudara-sadara, agama kita dilecehkan, dinistakan, ari kita bela agama Allah, TAKBIR!
Lalu dengan spontan ikutan berbuat anarkis. Jangan-jangan, nauzubillahi min dzalik, kita ini termasuk orang-orang yang perilakunya seperti binatang ternak?
Setiap ada postingan hasil kopas buta dari sosial media, saya lihat, Mang Jonih gak pernah nanggapin tuch.. Beliau malah berusaha mengalihkan fokus kita dengan memposting karya-karya tulisnya yang inspiratif… atau foto-fotonya saat dirinya bertadabur alam di tempat-tempat dengan pemandangan alam yg menyejukkan… Karena memang apa sih manfaatnya mengumbar emosi pada sesuatu hal yang belum tentu benar?
Saya pikir, beginilah harusnya kita bersikap, semakin tinggi dan dalam pemahaman kita akan ilmu agama, semakin santun bersikap & bertutur kata, semakin tolerir dirinya pada berbagai perbedaan pendapat, karena kita semakin meyakini bahwa kebenaran mutlak hanya milik Rabb semata, dan kita tidak berhak bersikap takabur dengan begitu gampangnya menghakimi orang lain yang berbeda pendapat, mazab, atau bahkan keyakinan dengan kita.
Saya yakin gak semua pembaca setuju dengan pandangan di atas, banyak kok teman-teman saya di group WhatsApp yang langsung protes, menyalahkan pendapat saya, lalu memposting beberapa artikel pendukung yang penuh dengan bumbu-bumbu pembenaran atas nama agama. Kalau memang sudah gak sepakat, itu hak mereka sih, agama sama-sama Islam, tapi, untukku pemahamanku, untuk mereka pemahaman mereka. Toch hisab kita kelak juga masing-masing.
Bagi saya pribadi, Mang Jonih Rahmat adalah salah satu “Role Model” dakwah. Pengertian dakwah levelnya tentu lebih tinggi dari ceramah. Kalau cuma ceramah, setiap orang pun termasuk anak-anak kecil seperti yang tampil di kontes Pildacil bisa, syaratnya hanyalah sekedar hafal cuplikan ayat kitab suci dan hadits dan bias berbicara di depan umum.
Berbeda dengan penceramah, pendakwah bukan sekedar berceramah, para pendakwah adalah mereka yang hidupnya senantiasa diisi dengan kebajikan hingga menjadi tauladan dan panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Ada perbedaan besar antara penceramah dengan pendakwah. Penceramah cukup modal pidato yang dibumbui dengan dalil=dalil dari mushaf dan hadits, meski penafsirannya belum tentu benar. Tapi yang namanya dakwah, ya harus dengan contoh-contoh perbuatan mulia, action langsung di masyarakat, gak cuma ngebacot doank!
Keberhasilan beliau membimbing dan menyantuni banyak anak-anak yatim di tengah-tengah kesibukannya bekerja dan aktif membuat tulisan-tulisan yang bermanfaat adalah bukti nyata dedikasi beliau pada kegiatan dakwah.
Mohon maaf jika di antara anggota group WhatsApp ada yang tidak berkenan dengan tulisan saya.. ini cuma opini pribadi. Yang benar berasal dari Rabb, yang salah berasal dari diri saya pribadi…
Apakah ada yang tersinggung dengan catatan saya di atas? Tentu saja ada. Dia tidak terima dibandingkan dengan “Saracen”. Dia juga mungkin tidak terima postingan-postingan dia yang nggak bermutu yang berisi ajakan kebencian pada orang-orang yang tidak seagama, saya banting dengan pemaparan fakta sepak terjang Mang Jonih yang jauh lebih bermanfaat bagi umat. Maklumi saja. Tulisan di blog ini pun tidak saya share ke group WhatsApp tersebut. Saya tidak mau bertengkar di sana 🙂
Last but not least…. Mang Jonih, terima kasih sudah mengingatkan kami untuk terus mengoptimalkan waktu kita untuk berbuat kebajikan.
Salah satu quote favorit saya dari Mang Jonih, “Sayangi yang di bumi, Engkau akan dicintai oleh yang di langit”.
Sekali lagi, dari lubuk hati saya yang paling dalam… Nuhun, Mang Jonih.. Nuhun sudah mengingatkan kami semua yang ada dalam group tersebut untuk tetap istiqomah dalam berbuat kebajikan untuk mencapai ridho Ilahi..