Pengantar Admin :
Suatu hari, istri saya bercerita tentang pengalaman anak-anak di sekolah. Hari pertama di sekolah, anak saya menangis, ternyata dia dijahili temannya, karena pada saat berwudhu, jilbabnya disembunyikan mereka. Anak-anak saya memang terbiasa berhijab, sama halnya dengan bundanya. Bahkan kini usia kelas 6 SD sudah berhijab syar’i. Saat ditanya kenapa dia sampai menangis seperti itu, jawabannya cukup mengharukan, dia bilang, “kata bu guru, selembar rambut saja sampai terlihat, bisa menyeret ayah ke neraka. Aku gak mau ayah ke neraka karena aku sayang ayah.”
Dengan hati-hati kuberitahu, “Nak, tidak usah setakut itu. Kalimat itu bermakna dalam. Aurat memang harus ditutup. Makna tersirat dari kalimat itu sebenarnya, yang bisa menyeret ayah ke neraka adalah jika ada sedikit saja perbuatan kamu yang salah akibat ayah salah mendidik kamu.”
Dalam artikel sebelumnya, saya menyampaikan pendapat bahwa hakikat berhijab bagi perempuan adalah menutup seluruh perbuatan buruk yang berpotensi dilakukan perempuan, seperti bergunjing/ghibah, pamer baju-baju modis dan mahal, mengambil hak orang secara bathil, dll. Jadi intinya berhijab itu bukan ditutup berlebihan secara fisik, namun berpenampilan sopan sesuai kondisi lokal dan perilakunya positif.
Di Facebook, secara tidak sengaja saya juga menemukan tulisan yang senada dengan pendapat tersebut. Ditulis oleh Kang Hasan, Hassanudin Abdurakhman. Sengaja saya save di sini. Semoga bermanfaat bagi teman-teman yang kebetulan ikut membacanya.
Anda menganggap wajib hukumnya berjilbab. Tidak ada yang salah dengan pandangan itu. Banyak pendapat ulama yang mendukungnya, disertai sejumlah dalil. Maka, pakailah jilbab, sesuai dengan yang dituntunkan oleh para ulama. Ajaran itu saya ajarkan pada istri dan anak perempuan saya.
Tapi saya perlu memberi catatan. Ada klaim bahwa kewajiban berjilbab itu adalah pendapat jumhur atau sebagian besar ulama. Benarkah demikian? Coba kita ingat, kapan Islam masuk ke Indonesia? Berdasarkan berbagai referensi, diperkirakan Islam masuk ke Indonesia antara abad X – XII. Artinya, orang Indonesia sudah berislam setidaknya 9 sampai 10 abad.
Nah, coba perhatikan, bagaimana muslimah Indonesia berpakaian sejak dulu? Adakah yang memakai jilbab? Tidak. Bahkan di daerah-daerah yang dikenal ketat berpegang pada ajaran Islam seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, kita tidak temukan jilbab sebagai pakaian adat. Yang ada hanyalah pakaian yang menutup hampir seluruh tubuh, berupa sarung ditambah baju (kebaya atau baju kurung) lengan panjang, dan penutup kepala.
Kenapa tidak berjilbab? Ada yang bilang, para penyebar Islam dulu tidak tuntas mengajarkan syariat. Ini sebenarnya pendapat konyol. Sudah seribu tahun, kok dianggap tidak tuntas. Ada entah berapa puluh ribu ulama yang hidup selama seribu tahun itu, kenapa mereka tak kunjung membuat seluruh muslimah berjilbab?
Coba perhatikan ulama-ulama kita, yang menjadi tokoh nasional. Sebut saja Buya Hamka. Siapa yang meragukan kefakihan beliau? Dari kalangan NU, ada Wahid Hasjim. Berjilbabkah istri dan anak-anak mereka? Tidak. Mereka ini ulama, bukan orang biasa. Tidak mungkin mereka berpandangan A, sementara anak istrinya mengamalkan B.
Tidak hanya mereka berdua. Saat saya kuliah tahun 90-an, saya bergaul dengan banyak tokoh Islam dari NU dan Muhammadiyah. Kebanyakan istri mereka juga tidak berjilbab. Termasuk istri Gus Dur, yang sampai sekarang tidak berjilbab.
Ah, Gus Dur itu kan sekuler liberal. Ya. Tapi apakah Anda mau bilang Buya Hamka juga sekuler?
Saya tak hendak mementahkan pandangan bahwa berjilbab itu wajib. Saya hanya menunjukkan bahwa pandangan soal jilbab itu tidak tunggal. Bahkan mungkin bukan pula jumhur, seperti klaim yang ada. Perbedaan pandangan fiqh itu biasa. Yang pernah belajar ushul fiqh akan tahu bahwa suatu pendapat fiqh tidak boleh menyalahkan pendapat lain. Pendapat-pendapat itu hadir bersama, tanpa perlu saling mengeliminasi.
Sikap itulah yang patut untuk dijalankan dalam soal jilbab. Biarkan setiap muslimah memilih busana mereka, sesuai pandangan fiqh ulama yang mereka pilih.
Masalahnya, sekarang banyak orang yang tidak sanggup menerima perbedaan. Mereka menganggap hanya ada satu hukum, wajib. Saya tidak heran. Kebanyakan dari mereka ini bahkan tidak kenal, apa itu ushul fiqh. Jadi mereka hanya merekam satu sumber, dan menjadikan yang mereka rekam itu sebagai suara Tuhan.
Ada pula yang mengerti dan paham soal ushul fiqh. Tapi pengetahuan mereka itu tidak dipraktekkan menjadi sikap harian.
Jadi, pilihan untuk tidak berjilbab itu sama sahihnya dengan pilihan untuk berjilbab. Maka, jalankan sesuai pilihan masing-masing. Toh setiap orang akan bertanggung jawab sendiri atas amal yang mereka lakukan. Kenapa repot mengurusi orang lain?
Tapi kami wajib melakukan amar ma’ruf, dalih mereka. Amar ma’ruf itu mengajak kepada kebaikan. Amar ma’ruf harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf juga. Ma’ruf bagaimana? Dengan akhlak yang benar.
Yang sering terjadi, orang-orang berjilbab, dan para penganjur jilbab, menganggap pendapat yang mereka anut sebagai kebenaran tunggal. Pendapat lain salah. Ulama yang berpendapat berbeda, adalah ulama sesat. Contoh nyatanya adalah bagaimana orang memperlakukan Quraish Shihab. Mulai dari celaan sampai fitnah, ditimpakan pada beliau. Lucunya, itu dilakukan pula oleh orang yang mengajinya saja masih gagap.
Itu yang dinamakan tidak berakhlak. Ushul fiqh tidak paham, atau kaidahnya diabaikan, sehingga akhlak terkait perbedaan pendapat ditinggalkan.
Orang yang tidak berjilbab otomatis dianggap melanggar perintah Allah. Pelanggar perintah Allah adalah orang yang sombong, kata mereka. Orang sombong layak diperlakukan secara sombong, dalih mereka. Maka mereka merasa berhak menghina dan melecehkan orang yang tidak berjilbab.
Itulah dakwah yang tidak makruf. Mereka tidak tahu, atau tidak peduli bahwa orang punya dasar berpikir yang berbeda. Di mata mereka, orang tidak berjilbab itu adalah orang yang ingkar terhadap perintah Allah. Padahal, dalam sudut pandang lain, orang itu hanya memilih pandangan fiqh yang berbeda. Penganut pandangan fiqh berbeda tidak boleh dihina dan dilecehkan. Itulah akhlak Islam.
Alangkah sayangnya, bila niat untuk mendakwahkan Islam justru berubah jadi tindakan yang justru melanggar nilai-nilai Islam. Amal baik memakai jilbab, jadi tertutupi oleh amal buruk, yaitu menghina dan melecehkan orang lain.
Ingatlah, beramal baik tidak membuat kita jadi wakil Tuhan, sehingga kita jadi berwenang menghakimi orang. Tidak juga membuat kita pasti masuk surga. Ingat juga, ilmu kita mungkin hanya setebal kulit bawang. Maka kta harus mawas diri, bahwa yang berbeda dengan kita tidak otomatis salah.