Ibnul Mubarak yang hidup 736 – 797 M adalah seorang ulama dan muhaddis yang terkenal pada abad ke-2 Hijriyah. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh zuhud dan wara’, serta ahli ibadah haji. Ia juga seorang ahli fikih, sejarah, dan qira’at. Ia berguru kepada banyak ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Al-Auza’i. Ia juga memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama seperti Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Syaibah, dan Ahmad bin Mani’. Ia menulis banyak karya yang menjadi rujukan bagi ulama-ulama sesudahnya, seperti Kitab az-Zuhd, Kitab al-Jihad, dan Kitab ar-Rihlah. Ia juga terkenal dengan kisahnya yang bermimpi tentang seorang tukang sol sepatu yang diterima hajinya, meskipun ia tidak pernah berhaji.
Kisah Abdullah bin al-Mubarak dengan si tukang sol sepatu negeri Damaskus adalah sebagai berikut:
Abdullah bin al-Mubarak adalah seorang ulama dan muhaddis yang terkenal pada abad ke-2 Hijriyah. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh zuhud dan wara’, serta ahli ibadah haji. Suatu ketika, ia bermimpi bahwa ia sedang berada di antara jutaan jemaah haji di Arafah. Ia mendengar dua malaikat yang sedang berbincang-bincang. Salah satu malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa jumlah jemaah haji tahun ini?” Malaikat yang lain menjawab, “Sekitar 600 ribu orang.” Malaikat yang pertama bertanya lagi, “Berapa yang diterima hajinya?” Malaikat yang lain menjawab, “Tidak ada satupun.” Abdullah bin al-Mubarak terkejut mendengar jawaban itu. Bagaimana mungkin di antara begitu banyak jemaah haji, tidak ada yang diterima hajinya? Apakah mereka semua sia-sia beribadah?
Namun, malaikat yang kedua kemudian melanjutkan perkataannya, “Oh, tunggu, ada satu orang yang diterima hajinya. Namanya Ali bin al-Muaffaq, seorang tukang sol sepatu di kota Damaskus. Dia tinggal di rumah yang begini-begini.” Malaikat itu kemudian menjelaskan secara detail ciri-ciri rumah dan lokasi tempat tinggal Ali bin al-Muaffaq. Abdullah bin al-Mubarak terbangun dari mimpinya. Ia merasa heran dan penasaran dengan sosok Ali bin al-Muaffaq itu. Bagaimana mungkin seorang tukang sol sepatu yang tidak pernah berhaji bisa mendapatkan pahala haji mabrur, sementara jutaan jemaah haji yang datang ke tanah suci tidak mendapatkannya?
Abdullah bin al-Mubarak kemudian memutuskan untuk mencari tahu kebenaran dari mimpinya. Ia pergi ke kota Damaskus dan mencari rumah Ali bin al-Muaffaq sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh malaikat dalam mimpinya. Setelah menemukan rumahnya, ia mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. Ali bin al-Muaffaq menyambutnya dengan ramah dan mengundangnya untuk duduk. Abdullah bin al-Mubarak kemudian bertanya kepada Ali bin al-Muaffaq tentang dirinya, pekerjaannya, dan kehidupannya. Ali bin al-Muaffaq menceritakan bahwa ia adalah seorang tukang sol sepatu yang hidup sederhana dan tidak memiliki banyak harta. Ia juga mengaku bahwa ia tidak pernah berhaji karena tidak memiliki biaya yang cukup.
Abdullah bin al-Mubarak merasa bingung. Bagaimana mungkin orang ini diterima hajinya, padahal ia tidak pernah berhaji? Ia kemudian bertanya kepada Ali bin al-Muaffaq, “Apakah engkau pernah berniat untuk berhaji?” Ali bin al-Muaffaq menjawab, “Ya, saya pernah berniat untuk berhaji. Bahkan, saya sudah menabung uang sebanyak 350 dirham untuk berhaji. Tetapi, ada suatu kejadian yang membuat saya harus mengorbankan uang itu.” Abdullah bin al-Mubarak bertanya lagi, “Apa kejadian itu?” Ali bin al-Muaffaq kemudian menceritakan kisahnya dengan haru.
“Suatu hari, ketika saya sudah siap untuk berangkat berhaji, istri saya yang sedang hamil mengatakan bahwa ia sedang mengidam makanan yang sangat enak. Ia mengatakan bahwa ia mencium aroma masakan yang sangat lezat dari arah rumah tetangga kami. Saya pun mencoba mencari tahu dari mana asal aroma itu. Ternyata, aroma itu berasal dari rumah seorang janda miskin yang tinggal bersama enam orang anaknya. Rumah itu sangat reyot dan hampir roboh. Saya pun mengetuk pintu rumah itu dan meminta izin untuk masuk. Saya melihat di dalam rumah itu ada sebuah panci besar yang berisi kuah daging. Saya bertanya kepada si janda, ‘Bolehkah saya meminta sedikit kuahnya untuk istri saya yang sedang mengidam?’ Si janda menjawab, ‘Maaf, saya tidak bisa memberikan kuah ini kepada anda. Karena, kuah ini sebenarnya adalah makanan haram.’”
Abdullah bin al-Mubarak terkejut mendengar jawaban si janda. Ia bertanya, “Makanan haram? Bagaimana bisa?” Si janda kemudian menceritakan bahwa ia dan anak-anaknya sudah tidak makan selama beberapa hari karena tidak punya uang untuk membeli makanan. Kemudian, ia menemukan bangkai seekor keledai yang mati di kebun. Ia pun memotong dagingnya dan memasaknya untuk dimakan bersama anak-anaknya. Ia mengatakan bahwa ia sangat menyesal dan malu dengan perbuatannya, tetapi ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Ali bin al-Muaffaq merasa sangat kasihan dan sedih melihat keadaan si janda dan anak-anaknya. Ia pun kembali ke rumahnya dan memberitahu istri nya tentang apa yang ia lihat. Istri Ali bin al-Muaffaq juga merasa iba dan terharu. Mereka pun bersepakat untuk memberikan seluruh uang tabungan mereka untuk berhaji kepada si janda dan anak-anaknya. Mereka mengatakan bahwa mereka lebih memilih untuk menunda haji mereka daripada melihat saudara-saudara mereka kelaparan dan makan makanan haram. Mereka pun membawa uang 350 dirham dan memberikannya kepada si janda dengan penuh keikhlasan. Si janda dan anak-anaknya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Ali bin al-Muaffaq dan istrinya. Mereka mengucapkan doa agar Allah memberkahi dan membalas kebaikan mereka.”
Setelah mendengar kisah Ali bin al-Muaffaq, Abdullah bin al-Mubarak menangis tersedu-sedu. Ia menyadari bahwa Ali bin al-Muaffaq adalah orang yang sangat mulia dan berhati suci. Ia mengorbankan niat dan tabungannya untuk berhaji demi membantu orang yang lebih membutuhkan. Ia menunjukkan kepedulian dan kasih sayang kepada sesama manusia. Ia menjalankan syariat Allah dengan sempurna. Ia pun mengerti mengapa Allah menerima hajinya, meskipun ia tidak pernah berhaji. Karena, haji yang sebenarnya adalah haji yang dilakukan dengan hati, bukan dengan badan. Haji yang sebenarnya adalah haji yang membawa manfaat, bukan yang membawa mudharat. Haji yang sebenarnya adalah haji yang menghubungkan manusia dengan Allah, bukan yang memutuskan hubungan manusia dengan manusia.
Demikian kisah Abdullah bin al-Mubarak dengan si tukang sol sepatu negeri Damaskus. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk berbuat baik kepada sesama dan menjalankan ibadah haji dengan sebaik-baiknya. 😊
- Abdullah bin al-Mubarak – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Abdullah bin Mubarak, Tabi’it Tabi’in Ahli Fiqih, Sejarah dan Hadits – Pecihitam.org
- Kisah Hidup Abdullah Ibnu Mubarak, Menggali Ilmu dari 4.000 Guru