Tokoh yang memplesetkan kata “sampurasun” menjadi “campur racun” adalah Habib Rizieq, pentolan Front Pembela Islam (FPI). Ia dilaporkan ke Polda Jawa Barat oleh Angkatan Muda Siliwangi (AMS) karena dianggap telah melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap budaya Sunda.
Terus terang, saya pribadi kurang paham, apa maksud Imam Besar FPI Habieb Rizieq ketika memplesetkan kata Sampurasun menjadi Campur Racun. Kesan yang saya tangkap, seolah-olah Habib sama sekali tidak menghargai budaya pengucapan “Sampurasun” tersebut.
Alasan Habib Rizieq memplesetkan kata “sampurasun” menjadi “campur racun” adalah untuk menekankan bahwa pengucapan “sampurasun” tidak seharusnya menjadi sarana untuk mengadu domba antara adat istiadat dan syariat Islam, karena masing-masing memiliki tempat dan syarat serta cara penggunaannya. Dalam konteks ini, Habib Rizieq mengkritik kampanye yang dilakukan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Habieb mungkin tidak memahami apa arti sampurasun. Bukan cuma Habieb yang tidak paham, saya rasa sebagian besar masyarakat Indonesia pun banyak yang tidak paham apa makna ucapan sampurasun dan rampes. Sebagai seorang pimpinan organisasi yang mendompleng nama Islam, tidak seharusnya Habieb memberikan contoh yang tidak baik pada masyarakat. Ketidakpahaman itu yang membuat dirinya seolah mengatakan bahwa Sampurasun dan Rampes adalah budaya sesat yang perlu dia luruskan karena, menurut Habib, tidak Islami.
Tahukah Akang-Teteh, apa arti dan makna sapaan “Sampurasun” dan “Rampes” itu sebenarnya?
SAMPURASUN dan RAMPES merupakan salam khas warisan nenek moyang bangsa Nusantara. Banyak di antara kita yang saat ini tidak memahami makna dari SAMPURASUN-RAMPES ini, karena memang tidak pernah diajarkan di kurikulum pendidikan nasional. Ada pula yang mengatakan hingga sebatas, “Sampurasun adalah ucapan selamat masyarakat Sunda yang sangat terkenal dan mengandung unsur penghormatan kepada sesama.”
SAMPURASUN berasal dari kata SAMPRAZAAN, kata dalam bahasa Sunda Kuno, yang berarti Selamat sejahtera semoga dilimpahkan kepada Anda. Karena penyebutannya makin lama makin dianggap susah, kata ini lambat laun berubah menjadi SAMPURASUN dalam bahasa sunda masa kini. Kenapa nenek moyang kita memakai kata “Selamat sejahtera” dan bukan “salam sejahtera”?
Dari awal, ucapan selamat diberikan pada semua manusia di segala dimensi. Sedari awal, manusia mengharapkan keselamatan, baik keselamatan di dunia, dan di segala dimensi. Mengapa juga mencakup keselamatan di segala dimensi? Bisa saja kita secara fisik celaka di dunia saat ini, tapi kita “selamat di dimensi lain. Misalnya saja ketika seseorang mengalami tabrakan, ia secara fisik bisa saja hancur, namun sebenarnya diselamatkan oleh Allah. Bila tidak, ia akan hidup dan menjalankan hidupnya sebagai penjahat. Contoh lain, anak yang meninggal kaena sakit cacar, mungkin saja sebenarnya ia diselamatkan oleh allah agar tidak tumbuh menjadi koruptor.
Kata itu dijawab RHAMPIAZA, yang lambat laun berubah menjadi RAMPES, yang artinya “anda semua di seluruh dimensi”. Nenek moyang bangsa kita memahami bahwa tidak ada manusia yang mati, yang ada hanyalah pindah dimensi dari kehidupan dunia ke dimensi kehidupan selanjutnya, hingga harus tetap didoakan.
SAMPRAZAAN dan RHAMPIAZA mengandung makna yang sangat dalam. Keduanya adalah do’a yang disampaikan sesama manusia, untuk semua umat manusia, di dimensi manapun dia berada. Sayangnya, banyak yang tidak mengerti maknanya yang dalam tersebut. Sehingga saat ini, SAMPURASUN dan RAMPES hanya dianggap sebagai sebuah tradisi sapaan basa-basi biasa saja. Kata SAMPRAZAAN dan RHAMPIAZAA ini, kemudian diadopsi ke dalam bahasa Arab oleh Rasulullah Muhammad SAW menjadi kata Assalamu’alaikum dan Wa’alaikum salam.
Jika benar demikian, artinya nenek moyang bangsa Indonesia jaman dulu hidupnya sudah demikian Islami. Bukankah itu berari SAMPURASUN dan RAMPES mempunyai makna yang benar-benar identik dengan kata “Assalamu’alaikum – Wa’alaikum Salam Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh”?
Jadi, bisakah kata “Sampurasun-Rampes” dianggap sepadan dengan “Assalamu’alaikum – Wa’alaikum salam“? Yang jadi masalah yang suka dibesar-besarkan, banyak orang dari golongan fanatik tertentu yang tidak terima dengan fakta ini. Karena di mata mereka, bahasa Arab adalah bahasa syurga, bahasa pilihan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Di mata mereka, Bahasa Arab adalah akar dari segala bahasa di dunia. Itu khan pendapat segolongan orang yang belum tentu golongan-golongan lain sepakat. Itu hak mereka.. siapapun bebas berpendapat. Tapi kita di sini sering lupa, kebenaran di mata manusia bersifat relatif. Apa yang dikatakan benar dalam tafsiran manusia, belum tentu sepenuhnya benar di mata Sang Pencipta.
Nilai-nilai Islam dapat diamalkan tanpa harus menghilangkan budaya lokal. Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, bangsa Arab punya kebiasaan memutari kabah tanpa busana, dan banyak bayi wanita dikubur hidup hidup. Rasulullah hanya mengubah tradisi yang merugikan dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam, serta membiarkan tradisi yang tak bertentangan, seperti tradisi kumpul-kumpul duduk melingkar makan nasi briyani, mas kawin pakai onta, dll
Cukup menyedihkan memang, ketika kita mencoba berbicara soal budaya di depan kaum intoleran yang merasa telah mewakili Tuhan yang begitu mudahnya mengeluarkan vonis liberal atau Islam Nusantara.
Tetap melestarikan SAMPURASUN-RAMPES untuk sunda, dan KULONUWON untuk jawa adalah budaya yang baik, tidak ada pertentangan dengan akidah sama sekali. Penggunaannya tinggal disesuaikan saja dengan situasi. Meskipun mushaf Al Qur’an yang kita baca saat ini ditulis dengan bahasa Arab, bukan berarti kita harus memaksakan hatur nuhun dan matur nuwun dihapus dan diganti dengan kata “syukron” yang lebih arabi