Pada artikel sebelumnya, saya pernah menulis tentang alasan-alasan logis yang menyebabkan para gojek driver berpenghasilan di atas UMR. Dari obrolan dengan beberapa orang teman yang tinggal di komplek perumahan yang ditongkrongin para ojek pangkalan di depan kompleksnya, juga dengan beberapa tukang ojek yang mangkal, ternyata inilah beberapa alasan kenapa ojek.
1. Kalau saya ikut terdaftar di Gojek, nanti pasti bentrok dengan Ojek Pangkalan
Sekali bergabung dengan Gojek, maka dia nggak bisa ikutan mangkal lagi di pangkalan asalnya.
Deden, bukan nama sebenarya, salah seorang tukang ojek kalibata City, Pancoran, Jakarta Selatan mengakui dirinya ingin bergabung dengan Go-Jek. Tapi dia khawatir jadi nggak bisa narik penumpang di sekitar pangkalan yang anti Go-Jek.
“Sekarang saya di pangkalan sini, kalau masuk Go-Jek diomelin teman. Karena saya sendiri ikutan dan yang lain tidak. Terus kalau saya masuk ke pangkalan ojek lain, saya juga dimarahin sama mereka,” ungkap dia kepada pas coba kita ajak ngobrol, Senin (6/7/2015).
“Beda kalau setiap pangkalan sudah jadi Go-Jek semua. Saya punya rasa aman dan tidak khawatir. Semua satu identitas dengan jaket hijau walaupun tidak saling kenal,” imbuh dia.
3. Persyaratan Gabung dengan Gojek itu Ribet, Kang
Deden mengakui, dirinya sempat ikut mengantre tes sebagai driver Go-Jek. Kata dia, ia sudah mengantre sejak pagi hingga siang. Akan tetapi, saat itu, dirinya mengenakan sandal dan mendapat teguran yang tidak sedap dari manajemen Go-Jek.
“Di sini tempatnya kerja. Bukan jalan-jalan,” ungkap Deden menirukan ucapan manajemen Go-Jek karena tidak mengenakan sepatu.
Deden merasa mangkel, dan ia langsung keluar dari barisan antrean. “Saya anggap, pasti tidak lolos test. Padahal saat itu, saya tidak tahu dan baru ikut proses seleksi. Mungkin dulu pas awal-awal masuk Go-Jek gampang. Sekarang saingannya banyak dan persyaratannya makin ketat,” kata dia. Faktanya memang begitu, yang daftar gojek justru banyaknya adalah tidak berlatar belakang tukang ojek : mahasiswa, ibu rumah tangga, satpam, pegawai swasta, bahkan pegawai negeri! Dengan dukungan teknologi android, profesi tukang ojek jadi dianggap profesi yang lebih bergengsi.
4. Ketidaksiapan ikut aturan baku Go-Jek
Manajemen Go-Jek tidak sembarangan memberikan lisensi kepada seseorang yang ingin menjadi driver Go-Jek. Diantaranya prosedur wajib mengenakan jaket hijau dan helm dua. Selain itu, sepeda motor juga harus benar-benar layak pakai. Sebagai contoh, lampu sen tidak boleh rusak. Namun, dengan aturan serba detail itu, tukang ojek tradisional merasa cukup terbebani. Yang lebih parah, gosipnya, ternyata cukup banyak ojek pangkalan yang surat-suratnya tidak lengkap, ada yang STNK-nya sudah lama mati, ada yang pajaknya sudah 3 tahun tidak dibayar, ada yang nggak punya SIM, bahkan banyak juga khususnya di pedesaan yang pada pake motor bodong yang surat-suranya nggak jelas.
5. Kurangnya sosialisasi dari PT Gojek Indonesia
Sejatinya, tukang ojek tradisional ini ingin bergabung dengan Go-Jek. Akan tetapi, mereka tidak memiliki informasi yang memadai terkait Go-Jek itu sendiri. Mereka hanya tahu, Go-Jek seperti pesaing bisnis yang mengambil lapak mereka selama ini. Kalau soal ini, susah juga saya ngomentarinnya. Jaman sekarang, untuk mengakses segala informasi yang jelas, kita perlu mengakses internet dan sosial media. Jaman Facebook dan BBM semakin murah dan gampang diakses, rasanya alasan ini agak mengada-ada dech. Saya rasa ini bukan masalah sosialisasi, tapi masalah komunikasi yang ternyata sangat rumit ya. Kalau komunikasi itu mudah, buat apa ada Fakultas Ilmu Komunikasi kalee? 😉