Entah sejak kapan ya bisnis Bimbingan Belajar mulai menjamur di negara kita. Yang jelas, sejak saya masih SD pun sudah mulai ada. Isitilah bimbingan Belajar atau Bimbingan Test tersebut saya kenal dari Pembahasan Soal-Soal Ujian Sipenmaru di Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung. Waktu SD saya belum mengenal Bimbel, teman-teman sekelas pun rasanya tidak ada yang ketahuan ikutan bimbel. Kalau sekedar les privat ke gurunya sih tentu banyak.
Bimbingan Belajar lahir dari kelemahan-kelemahan sistem sekolah. Saya pribadi merasakan kok bagaimana kurang nyambungnya pelajaran sekolah dengan soal-soal Ebtanas dan UMPTN (sekarang SBMPTN). Akibatnya, saat itu, bahkan sampai sekarang, dan mungkin sampai entah kapan di masa depan, siswa selalu membutuhkan informasi yang kurang ada di sekolah.
Fakta juga menunjukkan bahwa tidak setiap guru menguasai materi ujian akhir, seolah-olah tugas guru sekolah memang tidak berhubungan dengan soal ujian. Jarang sekali lho guru SMA yang menguasai seluk beluk soal Ujian Nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Akibatnya, seolah-olah siswa punya beban ganda, menguasai materi yang dibebankan kurikulum lewat gurunya, dan menguasai materi tambahan yang kurang diajarkan di sekolah. Gawat khan? 🙂
Tidak jarang guru-guru eksakta di sekolah, terutama guru favorit yang cara mengajarnya dianggap bagus, enakeun, apalagi yang kreatif dan pintar bikin soal-soal bayangan ujian sekolah, direkrut oleh Lembaga Bimbingan Test terkenal. Bahkan dipromosikan oleh Bimbel tersebut. Saat saya di bangku SMA pun demikian. Saya masih inget masa-masa ketika guru-guru eksakta terbaik SMAN 3 Bandung saat itu seperti Bpk Tata Santana dan Bpk Muhamad Rukman yang direkrut oleh Sony Sugema College (SSC). Bapak Abdur Rahman, guru Bahasa Indonesia SMA 3 Bandung, juga direkrut oleh Ganesha Operation. Fenomena itu pun kadang menimbulkan kecemburuan sosial di sekolah pada guru-guru bidang studi lain yang mata pelajarannya berada di luar lingkup soal-soal ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Saya juga mengalami kok ketika salah seorang guru kimia saya berkomentar nyinyir pada sebuah kesalahan kecil seorang siswanya di kelas dengan pertanyaan, “Terlihat sekali penguasaan materi kamu mentah. Mau berharap dikatrol sama Bimbel?”
Pertanyaan itu bisa dijawab dengan jawaban jujur yang hanya diucapkan dalam hati, “Iya, bu. Untuk apa saya menjejali memory otak saya dengan pelajaran-pelajaran yang nantinya tidak terpakai dalam hidup saya?” 🙂
Setiap guru bidang studi apapun di sekolah, memang selalu menuntut tiap muridnya agar melakukan yang terbaik. Parameter bagus tidaknya penguasaan materi pelajaran biasanya hanya diukur dengan nilai ulangan yang bagus. Tapi cobalah untuk direnungkan lebih lanjut. Seandainya guru Fisika ikut ulangan Biologi, apakah nilai guru tersebut akan lebih baik dari siswa yang dia tuntut nilai Fisikanya bagus? Juga, seandainya guru biologi tersebut ikut ulangan Fisika, apakah hasil nilainya bisa lebih baik dari murid-murid yang dia tuntut nilai Biologinya bagus? Tidak! Apakah kondisi ini adil? he he..
Sang guru bisa dengan mudah berikilah, dulu waktu ibu/bapak seumur kamu, semua nilai ulangan Ibu bagus kok. Lalu sang murid menjawab, “Mana buktinya, bu?” 🙂
Maksud saya begini, seringkali siswa di sekolah memang terlalu banyak dijejali dengan materi pelajaran yang hanya bermanfaat untuk dapat nilai bagus di ulangan harian dan ujian akhir sekolah, setelah itu dilupakan. Jadi nggak heran kalau fenomena mencontek an mencari bocoran soal sering terjadi di sekolah. Pada saat itu terjadi, munculah berbagai khutbah tentang haramnya mencontek, dan mencontek adalah perbuatan tercela. Itu bisa dikembalikan ke para guru juga, apakah para guru juga bebas dari perbuatan mencontek dan plagiarisme saat memperjuangkan sertifikasi profesi gurunya? Nah lho….
Kadang saya berpikir, jika parameter penentu kelulusan siswa hanya berdasarkan hasil Ujian Akhir seperti UAN atau Ebtanas saja, lebih baik sekoleh dibubarkan saja. Sistem sekolah ganti saja dengan sistem bimbingan Test yang fokusnya membahas soal-soal ujian sekolah. Waktu sekolah optimalkan untuk mengasah bakat dan minat anak. Sekolah berbasis bakat dan minat adalah sistem sekolah yang paling ideal yang saat ini jarang sekali terjadi.
Beberapa alasan kenapa siswa butuh bimbingan Belajar :
- Butuh suasana belajar baru setelah jenuh belajar di sekolah dan belajar sendiri di rumah. Saya pribadi dulu pernah mengalami masalah ini.
- Mendapat “jurus-jurus” baru pemecahan soal yang tidak didapatkan di sekolah. Harus diakui bahwa tidak setiap guru bidang study di sekolah menguasai masalah ini. Hanya guru-guru yang kreatif dan berwawasan lebih saja yang menganggap masalah ini penting.
- Mendapatkan teman-teman baru yang berasal dari sekolah yang berbeda, apalagi mungkin, teman lawan jenis 😀