Pembantaian Aborigin: Sejarah Gelap Australia yang Terlupakan

Pembantaian Aborigin: Sejarah Gelap Australia yang Terlupakan


Sejarah Penduduk Asli Australia

Australia adalah negara yang unik karena merupakan satu-satunya benua sekaligus negara. Meski kini mayoritas penduduknya adalah orang kulit putih keturunan Eropa, ada sejarah panjang di balik perubahan demografi ini. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, benua ini dihuni oleh penduduk asli yang disebut Aborigin. Namun, bagaimana bisa populasi Aborigin menurun drastis hingga hampir lenyap? Mari kita bahas.

Awal Kedatangan Bangsa Eropa

Kontak pertama antara bangsa Eropa dan penduduk asli Australia dimulai pada abad ke-16. Orang-orang Portugis diyakini sebagai salah satu kelompok pertama yang berinteraksi dengan penduduk Pulau Melville, salah satu pulau di utara Australia. Bahkan, Portugis juga menjadikan beberapa penduduk lokal sebagai budak. Tidak hanya Portugis, Spanyol yang saat itu aktif menjelajahi Amerika Latin juga mulai mengirim ekspedisi ke wilayah Pasifik, termasuk kepulauan Solomon dan beberapa pulau di Oseania dekat Australia. Namun, mereka belum pernah benar-benar mendarat di daratan utama Australia.

Pada awal abad ke-17, Belanda menjadi negara Eropa pertama yang berhasil mencapai Australia. Para pelaut Belanda, yang sebelumnya sudah ada di Indonesia (Hindia Belanda), melakukan eksplorasi ke Australia tanpa tujuan spesifik selain rasa ingin tahu. Setelah mencapai Australia, mereka melanjutkan perjalanan ke Tasmania dan Selandia Baru. Karena merasa sebagai penemu wilayah ini, Belanda menyebutnya “New Holland.”

Pada akhir abad ke-17, Inggris mulai tertarik pada Australia. Pada pertengahan abad ke-18, cerita-cerita tentang eksplorasi ke belahan selatan Bumi mulai viral. Pemerintah Inggris melihat potensi Australia untuk mengembangkan perdagangan di wilayah timur. Akhirnya, pada tahun 1788, pemukiman Eropa pertama di Australia didirikan. Pada tahun 1850-an, penemuan tambang emas di Australia menarik banyak imigran dari Inggris. Diperkirakan dua persen total penduduk Inggris waktu itu memutuskan untuk berlayar ke Australia demi mencari peruntungan. Fenomena ini dikenal sebagai “demam emas.”

Baca Juga  Anubis, Mesir Kuno, dan Teknologi Alien Bangsa Mosram

Selain imigran sukarela, selama abad ke-18 hingga abad ke-19, Inggris juga mengirimkan napi ke Australia. Menurut catatan sejarah, sekitar 165.000 napi dikirim ke Australia selama 80 tahun, hingga praktik ini dihentikan pada tahun 1868.

Kondisi Alam Australia dan Konflik dengan Penduduk Asli

Meskipun Australia memiliki luas yang sangat besar, kondisi alamnya tidak sepenuhnya mendukung kehidupan manusia. Sebagian besar wilayah Australia tandus, kering, dan didominasi gurun. Hanya sedikit daerah yang subur dan cocok untuk dihuni, terutama di wilayah tenggara, barat daya, dan sebagian kecil di utara. Hal ini membuat persebaran penduduk di Australia cenderung terkonsentrasi di pinggir pantai.

Keterbatasan sumber daya ini memicu koloni Eropa untuk menghalalkan segala cara demi menguasai lahan-lahan produktif. Mereka mengklaim diri sebagai “penemu” Australia dan ingin menguasai wilayah-wilayah yang menurut mereka bernilai ekonomi, terutama setelah penemuan tambang emas. Tidak hanya orang Eropa, imigran Cina juga datang untuk mencari peruntungan sebagai penambang emas. Namun, lama-kelamaan, orang Cina mulai dilarang menambang emas dan hanya boleh bekerja di perkebunan. Mereka secara sistematis disingkirkan.

Pembantaian Penduduk Aborigin

Yang lebih tragis adalah nasib penduduk asli Australia, Aborigin. Pembantaian terhadap mereka berlangsung selama hampir satu setengah abad, dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Menurut Profesor Lyndall Ryan dari University of Newcastle, ada lebih dari 400 kasus pembantaian yang dilakukan oleh koloni Eropa terhadap Aborigin. Berbeda dengan pembantaian massal dalam sejarah lainnya, pembantaian Aborigin terjadi secara bertahap dan sistematis.

Motif utama pembantaian ini adalah konflik kepentingan. Penduduk Aborigin sering memburu ternak milik koloni Eropa karena mereka tidak memahami konsep kepemilikan hewan ternak. Dari sudut pandang Aborigin, hewan-hewan tersebut adalah bagian dari alam liar yang dapat diburu. Namun, bagi koloni Eropa, ini dianggap pencurian. Akibatnya, konflik terus berkembang, dan Aborigin sering kali menjadi korban.

Baca Juga  KHRAKATVA

Salah satu kasus pembantaian paling kejam terjadi pada sekitar tahun 1900, ketika sekelompok Aborigin yang sedang melakukan ritual keagamaan disergap oleh orang-orang Eropa. Mereka ditembak tanpa ampun. Kasus lain yang lebih mengerikan terjadi di daerah Kimberly, di mana beberapa Aborigin ditangkap, dirantai leher mereka, dan dibawa ke luar kota. Mereka disuruh mengumpulkan kayu bakar tanpa mengetahui bahwa kayu tersebut akan digunakan untuk membakar mereka hidup-hidup.

Menurut Profesor Ryan, lebih dari setengah kasus pembantaian ini dilakukan oleh aparat seperti polisi dan tentara. Bahkan, beberapa Aborigin sendiri dipaksa untuk bekerja sama dengan ancaman dibasmi jika menolak.

Dampak dan Kebijakan Diskriminatif

Akibat pembantaian ini, populasi Aborigin menurun drastis. Sebelum kedatangan Eropa, diperkirakan ada sekitar satu hingga satu setengah juta Aborigin di Australia. Pada awal abad ke-20, jumlah mereka turun menjadi hanya sekitar 100.000 orang. Penurunan ini terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-20.

Pada tahun 1901, pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan White Australia Policy, yang membatasi masuknya orang non-Eropa ke Australia. Kebijakan ini membuat orang kulit putih semakin merasa berkuasa, sementara diskriminasi terhadap Aborigin dan imigran non-Eropa terus berlanjut hingga tahun 1930-an.

Setelah Perang Dunia II, kebijakan diskriminatif ini mulai dihapuskan, dan pada tahun 1970-an, populasi Aborigin mulai meningkat kembali. Namun, angka tersebut masih jauh dari jumlah sebelum kedatangan Eropa.

Penutup

Sejarah pembantaian Aborigin di Australia adalah salah satu babak kelam dalam sejarah dunia. Sayangnya, banyak masyarakat Australia modern yang tidak mengetahui atau enggan mendengar cerita ini. Namun, Australia kini mulai berbenah dan mengakui kesalahannya. Negara ini kini mengklaim dirinya sebagai tempat yang terbuka bagi siapa saja, termasuk keturunan Aborigin.

Baca Juga  Wilayah Nusantara dan Tempat-tempat di Dunia dalam Istilah Lemurian