Bumi Datar atau Bulat? Mengungkap Kebenaran di Balik Teori Konspirasi

Bumi Datar atau Bulat? Mengungkap Kebenaran di Balik Teori Konspirasi

Benarkah bumi itu datar? Beberapa tahun lalu, banyak beredar konten yang menyatakan bahwa sebenarnya bumi itu datar, dan ini sering dikaitkan dengan beragam teori konspirasi. Lalu, yang benar itu yang mana: bumi datar atau bulat? Jika kalian penasaran, kalian bisa mencoba membaca penjelasannya di buku “Teori Segala Sesuatu” yang ditulis oleh Stephen Hawking. Buku ini tidak hanya menjelaskan tentang konsep bumi datar versus bumi bulat, tetapi juga menjelaskan asal usul terjadinya alam semesta dan bagaimana bumi akan dilebur atau kiamat. Apakah mirip dengan cerita-cerita peleburan atau kiamat yang ada di kitab-kitab suci agama?

Ternyata, konsep bumi datar berawal dari pemahaman kuno ribuan tahun yang lalu ketika agama baru ditemukan. Konsep bumi datar muncul di kalangan orang-orang zaman kuno yang peradabannya belum sepenuhnya modern. Dulu, literasi masih minim dan ilmu pengetahuan belum sebanyak sekarang. Zaman itu juga belum ditemukan teleskop, sehingga asumsi bumi datar dibuat berdasarkan pengamatan mata telanjang. Konsep bumi datar juga muncul dari pengamatan pemuka agama zaman kuno dalam kondisi transendensi tanpa bantuan alat apapun. Hasil pengamatan inilah yang kemudian menjadi ayat-ayat dalam kitab suci agama-agama kuno yang dianggap sebagai wahyu dari Tuhan, malaikat, atau dewa yang lantas diturunkan secara filosofis hingga keagamaan yang ada sekarang.

Jika kita membaca kitab suci agama secara literal, ayat-ayat tersebut nampaknya menunjukkan bahwa bumi itu datar. Itulah kenapa kaum bumi datar banyak yang ngotot bahwa bentuk bumi datar itu sudah tertera di kitab suci mereka dan menganggap ini sebagai kebenaran mutlak tanpa tafsiran lebih lanjut. Konsep bumi datar juga banyak muncul di kepercayaan-kepercayaan kuno Nusantara, seperti dalam konsep kapitayan yang kuno. Banyak sesepuh yang masih percaya bahwa bumi ini datar karena leluhurnya mengajarkan demikian sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam agama kuno Jawa, bumi dikatakan sebagai pusat alam semesta.

Teori bumi datar ini mulai dibantah ketika filsuf-filsuf mulai bermunculan di era Yunani kuno. Teori ini semakin dibantah ketika teleskop berhasil diciptakan di abad ke-17 Masehi. Pergantian teori bumi datar ke bumi bulat terjadi sejak era Yunani kuno, di mana banyak filsuf lahir. Sekitar tahun 340 SM, Aristoteles dalam bukunya “On the Heaven” menyatakan bahwa bumi itu bulat, bukan datar. Teori ini ditemukan Aristoteles berdasarkan tiga bukti yang ia temukan. Pertama, ia menyadari bahwa gerhana bulan bisa terjadi karena bumi berada di antara matahari dan bulan. Bayangan bumi yang ada pada bulan selalu terlihat berbentuk bulat seperti bola. Jika bumi itu berbentuk datar, bayangan akan memanjang dan cenderung berbentuk elips. Kedua, orang-orang Yunani tahu lewat perjalanan mereka bahwa Bintang Kutub terlihat lebih rendah jika dilihat dari utara. Ketiga, ketika sebuah kapal datang mendekat dari arah cakrawala, orang Yunani selalu melihat layarnya terlebih dahulu, baru kemudian melihat badannya. Ini bisa terjadi jika permukaan bumi itu melengkung atau bulat.

Baca Juga  Bumi itu Bulat atau Datar?

Namun, Aristoteles masih berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Bumi itu bulat diam dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan planet-planet lainnya. Seorang astronom dari zaman Hellenistik Romawi juga berasumsi bahwa bumi adalah pusat alam semesta atau geosentris, dikelilingi oleh benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan planet. Model Ptolemaios inilah yang diadopsi oleh Gereja Kristen karena dianggap sesuai dengan kitab suci atau Injil. Barulah pada abad ke-16 Masehi, penegasan geosentris ini dirubah oleh Nicholas Copernicus, seorang astronom yang juga pendeta. Ia menemukan fakta bahwa matahari adalah pusat tata surya, sedangkan bumi, bulan, dan planet-planet lainnya bergerak mengelilingi matahari. Teori ini lantas dinamakan sebagai teori heliosentris.

Teori geosentris semakin punah ketika pada abad ke-17, Galileo Galilei mengamati langit dengan teleskop. Teleskop baru ditemukan di awal abad ke-17. Dari sinilah Galileo menemukan fakta-fakta menakjubkan bahwa bumi ternyata bukanlah pusat semesta; justru kita ini ikut bergerak mengelilingi matahari yang jadi pusat tata surya. Tahun 1609, tahun yang sama dengan Galileo mengamati bumi menggunakan teleskop, Johannes Kepler, seorang astronom Jerman, memodifikasi teori heliosentris Copernicus. Ia menemukan fakta bahwa planet-planet ternyata tidak bergerak mengitari matahari dalam bentuk lingkaran, melainkan elips. Kemudian, pada tahun 1687, Isaac Newton, seorang fisikawan Inggris, semakin memperkuat penemuan heliosentris tersebut dalam bukunya yang berjudul “Principia Mathematica”. Newton mulai menyadari bahwa semua benda yang ada di semesta ini, termasuk manusia, bergerak dalam ruang dan waktu. Setiap benda juga bisa berinteraksi dengan benda lain karena ada gaya gravitasi yang sebanding dengan ukuran benda. Contohnya, kenapa planet-planet itu bisa mengitari matahari tanpa jatuh ke bagian semesta yang lain? Jawabannya karena ada gaya gravitasi matahari yang menjaga planet agar tetap berada di jalur orbitnya. Bulan juga bisa mengitari bumi karena ada gaya gravitasi atau gaya tarik menarik dari bumi.

Baca Juga  Klad

Tahun 1691, Newton mengirimkan surat kepada Richard Bentley, seorang filsuf dan fisikawan Inggris, dan menyatakan bahwa alam semesta itu tidak terhingga, sehingga setiap titik bisa dikatakan menjadi pusat alam semesta. Bintang-bintang terus menyebar tak terhingga, inilah yang membuat alam semesta dikatakan terus mengembang. Ruang di alam semesta terus mengembang dan terus melahirkan bintang-bintang baru. Sampai suatu ketika, para ilmuwan menemukan singularitas aneh yang menyedot apapun yang ada di sekitarnya. Singularitas ini tak bisa dilihat oleh pengamat karena sangat gelap. Apapun yang tersedot ke dalamnya akan memanjang seperti spaghetti dan kemudian hancur menjadi atom-atom. Atom-atom ini lantas dikompres menjadi satu dengan kerapatan tak terhingga, atau dianggap tiada, atau lebur dalam kekosongan absolut.

Singularitas aneh ini juga memiliki gaya gravitasi yang begitu kuat sehingga siapapun tak akan bisa melarikan diri darinya, termasuk cahaya sekalipun. Cahaya, jika sampai ke singularitas ini, akan langsung disedot dan diurai, lalu dikompres juga menuju kerapatan tak terhingga. Singularitas inilah yang disebut sebagai lubang hitam. Kemisteriosannya membuat banyak ilmuwan tertarik untuk mempelajari lubang hitam ini. Ternyata, lubang hitam ini menjadi pusat dari banyak galaksi yang ada di semesta dan terus aktif menelan benda-benda ruang angkasa yang mengorbit mengitarinya. Tata surya kita pun terus mengorbit lubang hitam ini tanpa kita sadari, bersama dengan seluruh galaksi tempat kita tinggal.

Baru-baru ini, ada asumsi yang sangat menarik dari para ilmuwan. Pertama, lubang hitam bisa jadi adalah singularitas yang terhubung ke alam semesta di dimensi yang lain, sehingga lubang hitam kerap dikaitkan dengan lubang cacing. Ada asumsi jika kita berhasil melakukan perjalanan melalui lubang cacing, kita bisa berjalan sampai ke bagian semesta yang lain, bahkan bisa ke masa depan dan masa lalu, karena ruang dan waktu itu melengkung. Waktu hanyalah salah satu variabel dalam alam semesta empat dimensi kita. Kedua, karena lubang hitam terus aktif menelan apapun yang ada di sekitarnya, maka tak menutup kemungkinan bintang-bintang dan planet yang mengorbitnya ini akan terus semakin dekat, dan suatu saat akan ditelan oleh lubang hitam tersebut. Jika planet dan bintang ditelan, maka semuanya akan lebur dalam suatu singularitas atau kehampaan absolut dan kerapatan tak terhingga. Tentu sebelum itu terjadi, akan ada serangkaian bencana besar di planet dan bintang akibat tarikan gravitasi lubang hitam yang super kuat. Kok jadi mirip suasana kiamat, ya?

Baca Juga  Konsep Adam & Hawa dalam Berbagai Budaya

Ketiga, lubang hitam akan menelan semua materi yang ada di alam semesta. Namun, informasi yang dibawa setiap materi tetap tersimpan di sana sebagai hologram. Informasi ini mirip dengan hologram lubang hitam dalam film “Interstellar”, di mana astronom yang masuk ke dalam lubang hitam setelah mengalami spaghetifikasi malah melihat timbunan hologram informasi dari kehidupan sendiri. Ini bisa berupa memori masa lalu ataupun masa depan, dan uniknya, si astronom bisa berinteraksi dengan masa lalu atau masa depannya langsung, di mana astronom bisa berinteraksi dengan anaknya untuk memberikan petunjuk kehidupan.

Dalam agama-agama kuno, ini sangat mirip dengan konsep leluhur yang sudah meninggal namun belum moksa sepenuhnya. Dikatakan bahwa leluhur yang telah meninggal masih bisa memberikan bimbingan atau petunjuk kepada anak cucunya, asalkan anak cucunya memiliki koneksi yang kuat terhadap leluhurnya. Untuk menguatkan koneksi ini, orang-orang agama kuno sering melakukan ritual berupa sesaji leluhur, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kejawen dan Hindu Bali. Apakah ini hanya cocok logika belaka, ataukah memang demikian adanya? Apakah ketika manusia meninggal, ruhnya yang terbuat dari cahaya akan terdaur ulang dalam lubang hitam? Mengingat cahaya bergerak dengan sangat cepat di alam semesta, namun tak bisa lari dari tarikan lubang hitam. Selengkapnya bisa dibaca di buku “Teori Segala Sesuatu”.