Inilah penjelasan ilmiah tentang bagaimana karma leluhur bisa menurun hingga beberapa generasi. Konsep karma sebenarnya datang dari agama-agama kuno yang ada di dunia, seperti Hindu, Buddha, dan juga kepercayaan kuno Jawa. Karma sendiri banyak diartikan sebagai buah dari perbuatan manusia, dan karma yang terjadi tergantung pada mindset atau pikiran manusia. Jika manusia berpikiran positif, ia cenderung melakukan hal-hal positif, dan ini akan menarik karma baik ke dalam kehidupannya. Demikian juga sebaliknya, jika seseorang berpikiran negatif, maka ia juga cenderung berbuat negatif dan menarik karma buruk ke dalam kehidupannya.
Demikian pula, jika mindset seseorang dipenuhi oleh pikiran-pikiran traumatik, ini akan menarik lebih banyak kejadian traumatik ke dalam hidup. Celakanya, karena ini bisa diwariskan ke generasi-generasi selanjutnya. Ketika kita membicarakan karma leluhur, maka konsepnya kebanyakan merujuk kepada karma buruk yang menurun hingga beberapa generasi berikutnya. Terkadang, leluhur juga disebut sebagai kutuk leluhur karena ia berlangsung selama beberapa generasi, bahkan ketika keturunannya tidak ikut terlibat dalam peristiwa buruk tersebut. Mereka tetap bisa membawa dan mengekspresikan karma tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana karma leluhur itu bisa menurun? Beginilah penjelasan ilmiahnya. Sebenarnya, karma itu ada dua macam: karma baik dan karma buruk. Keduanya ini sama-sama menurun. Karma baik bisa berupa kebijaksanaan, reputasi leluhur yang baik, bakat, dan ilmu leluhur yang diwariskan melalui DNA. Sementara itu, karma buruk bisa berupa pola-pola destruktif yang terus terulang dalam keluarga, seperti perceraian berulang, KDRT berulang, perselingkuhan, dan terus lahirnya anak-anak dengan kepribadian buruk.
Bagaimana sebuah karma buruk bisa menurun kepada anak? Dalam psikologi, ada sebuah penelitian yang erat kaitannya dengan fenomena karma leluhur ini, yakni fenomena intergenerational trauma atau trauma antar generasi. Trauma antar generasi ini sifatnya menurun dan dimulai ketika leluhur kita mengalami kejadian traumatis yang terekam oleh DNA-nya dan diturunkan hingga generasi-generasi selanjutnya. Dalam DNA kita, diperkirakan ada lebih dari 25.000 gen yang terus aktif menentukan bagaimana bentuk tubuh kita, warna rambut kita, tinggi badan kita, hingga jenis penyakit apa yang bisa muncul semasa hidup, termasuk juga menginstruksikan tubuh untuk memproduksi antibodi guna melawan penyakit-penyakit yang kita derita.
Ternyata, mayoritas gen kita itu ada dalam kondisi dorman atau tertidur, dan ini jumlahnya lebih dari 90% dari DNA kita. Gen yang tertidur ini bisa saja bangun atau aktif ketika ia mendapatkan situasi lingkungan yang mendukung. Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatik yang sangat menyakitkan, DNA akan segera merespons dengan mengaktifkan gen untuk menolong manusia bertahan hidup selama masa-masa stres tersebut. Gen biasanya akan membuat manusia bisa merespons stres dengan tiga opsi: fight, flight, atau freeze. Fight artinya lawan, flight artinya kabur, dan freeze artinya diam. Ini adalah mekanisme respons otomatis yang terjadi dari tubuh manusia yang sebenarnya berfungsi untuk membuat kita siap menghadapi situasi berbahaya di masa depan.
Respons fight, flight, dan freeze ini ternyata bisa diturunkan ke anak cucu kita untuk membuat mereka bersiap-siap menghadapi peristiwa traumatik yang mungkin saja terjadi. Inilah yang disebut dengan respons trauma, alias respons otomatis yang dikeluarkan manusia ketika ia mengalami kejadian traumatik yang menyakitkan. Dalam jangka pendek, ini memang bagus untuk mekanisme pertahanan diri, namun jika respons ini dibiarkan bersarang dalam jangka panjang, tentu saja akan merusak diri sendiri dan membuat kita menderita trauma berkepanjangan.
Ketika gen-gen kita ini sangat unggul dalam menghadapi stres dan peristiwa-peristiwa traumatik lainnya, gen-gen ini ternyata akan meresponsnya dengan ketangguhan yang lebih besar lagi terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, dalam jangka waktu yang konstan dan lama, ini hanya akan membuat manusia stres. Ketika leluhur kita mengalami peristiwa traumatik, maka DNA mereka akan menyandikan dirinya sendiri agar memiliki respons pertahanan hidup yang bisa membantu mereka bertahan dari peristiwa-peristiwa traumatik tersebut. Namun, tanpa sadar, DNA ini lantas diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.
DNA dengan mode bertahan hidup atau fight, flight, atau freeze ini akan terus disandingkan dan diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya dengan penambahan trauma. Inilah yang menjadi karma leluhur yang menurun. Yang mengalami peristiwa traumatik itu adalah leluhur, tetapi yang menanggung traumanya adalah anak cucu, bahkan hingga belasan generasi di bawahnya.
Penelitian tentang trauma antar generasi ini pertama kali dilakukan oleh para peneliti dan psikolog. Penelitian pertama dilakukan pada tahun 1966, di mana Vivian M. Rakov, seorang psikiater dari Kanada, mencatat adanya tingkat tekanan psikologis yang tinggi yang terjadi di antara anak-anak dan cucu korban holokaus di Eropa. Padahal, holokaus sendiri sudah terjadi sejak tahun 1940-an, alias puluhan tahun silam. Penelitian tahun 1988 juga dilakukan kembali kepada keturunan dari korban holokaus yang selamat. Ternyata, keturunan mereka ini, walaupun sudah berbeda generasi, tetap hidup di bawah tekanan akibat trauma yang dialami oleh orang tua atau kakek nenek mereka saat holokaus, dan ini diturunkan kepada anak cucunya.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata kelompok-kelompok terpinggirkan, seperti kelompok ras minoritas, daerah yang sering dilanda kelaparan, mantan daerah penjajahan, dan mantan korban perang, ternyata paling rawan mengalami karma leluhur atau trauma antar generasi. Keturunan dari korban holokaus, keturunan dari korban Perang Dunia II, keturunan Amerika Jepang yang terhubung dengan interniran Jepang saat Perang Dunia II di Amerika, keturunan orang-orang Afrika dan orang kulit hitam di Amerika, keturunan orang-orang Vietnam dan Kamboja yang hidup selama masa Perang Vietnam, keturunan suku Aborigin di Australia, keturunan suku India di Amerika, bahkan keturunan bangsa-bangsa terjajah lainnya di Asia, termasuk Indonesia, juga ternyata menjadi kelompok yang paling sering mewariskan karma leluhur atau trauma antar generasi.
Selain kelompok terpinggirkan dan korban perang, trauma antar generasi atau karma leluhur ternyata juga bisa diturunkan dari leluhur-leluhur yang dulunya pernah melakukan praktik ilmu hitam atau pernah mempraktekkan tantra kiri namun gagal. Bagaimana bisa? Praktik ilmu hitam dan tantra kiri biasanya menggunakan energi negatif untuk dinaikkan, seperti energi dendam, kemarahan, kemelekatan, dan sakit hati. Pada praktik tantra kiri yang berhasil, seharusnya energi-energi negatif tersebut bisa dinetralkan dan diubah menjadi energi positif, sehingga kesadaran manusia mengalami peningkatan dan manusia terbebas dari kuasa nafsu dan ego. Namun, jika praktik tantra kiri ini gagal, manusia bisa terjebak lebih dalam di nafsu dan egonya, sehingga ia tidak mampu menetralkan energi negatif tersebut. Ini akan terekam kuat dalam memori dan DNA.
Ketika ini diturunkan, DNA ini akan menuliskan genetik sifat-sifat buruk dalam diri keturunan, dan jadilah karma leluhur menurun. Ketika karma leluhur sudah menurun ke generasi-generasi selanjutnya, maka lingkaran perceraian, perselingkuhan, KDRT, dan sifat-sifat buruk dalam diri keturunan akan terus muncul dalam keluarga. Jika ini tidak diputuskan, maka generasi-generasi selanjutnya akan membawa DNA traumatis ini dan akan berpotensi terus mengekspresikan respons dan dampak-dampak dari trauma leluhur tersebut.
Bagaimana kita mengetahui apakah anak-anak yang kita lahirkan itu membawa dan mengekspresikan trauma antar generasi atau karma leluhur ini? Biasanya, ini bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala berikut ini di dalam diri anak:
- Waspada berlebihan
- Merasa masa depan pendek dan tidak cerah
- Sulit percaya pada orang lain walaupun baik
- Punya watak acuh tak acuh
- Memiliki tingkat kecemasan yang tinggi
- Depresi
- Serangan panik atau panic attack
- Mengalami mimpi buruk berulang-ulang
- Mengalami insomnia
- Memiliki respons melawan yang sensitif
- Bermasalah dengan harga diri, biasanya memiliki harga diri yang kurang atau justru berlebihan
- Bermasalah dengan kepercayaan diri, biasanya kurang percaya diri atau malah terlalu percaya diri
Nah, karena trauma antar generasi ini menyerang mental, tentu saja ini juga rawan menurunkan penyakit degeneratif seperti diabetes, stroke, penyakit jantung, dan autoimun. Selain faktor genetik atau DNA, trauma antar generasi ini juga bisa diturunkan melalui percakapan yang kerap terjadi dalam keluarga, kelompok suku, bahkan ras. Trauma antar generasi juga bisa menurun ketika anak hidup bersama dengan anggota keluarga traumatik yang masih menghidupkan ulang peristiwa-peristiwa mengerikan tersebut. Misalnya, ada orang tua yang masa kecilnya tinggal dalam situasi perang, di mana ini adalah situasi mencekam dan penuh dengan tekanan. Ketika orang tua ini punya anak, dia terus memutar kembali memori-memori mencekam semasa perang ini, lengkap dengan bentakan dan teriakan yang ditujukan kepada anak. Maka, ini sama saja dengan mewariskan trauma antar generasi kepada anak.
Lalu, bagaimana cara menghentikan karma leluhur atau trauma antar generasi ini? Nanti akan saya bahas.