Bagaimana karma leluhur bisa menyebabkan perceraian, perselingkuhan, KDRT, dan sifat buruk berulang pada keturunan? Trauma yang dialami leluhur di masa lalu ternyata memiliki pengaruh dalam pola asuh anak. Ini biasanya berawal dari kegagalan pola asuh anak yang mayoritas diwarnai dengan kekerasan dan pengabaian. Kegagalan pola asuh inilah yang berperan paling banyak dalam menurunkan karma leluhur.
Dalam psikologi, karma leluhur ini sangat mirip dengan fenomena trauma antar generasi. Orang tua yang mengalami peristiwa traumatik saat masih kecil akan cenderung memproyeksikan kemarahan dan kekerasan dalam mendidik anak. Kekerasan dan kemarahan ini sebenarnya adalah respons trauma dari orang tua itu sendiri. Ketika masa kecil orang tua banyak dihabiskan dalam lingkungan yang keras, toksik, dan traumatik, maka lingkungan ini akan membentuk karakter orang tua menjadi orang yang keras dan kejam. Hal ini kemudian diproyeksikan kepada anak.
Ketika anak diasuh oleh orang tua yang traumatik, anak akan ikut mengalami trauma, bahkan traumanya bisa bertambah. Sudah dia menanggung trauma warisan dari masa lalu orang tuanya, dia masih harus menanggung trauma tambahan akibat kerasnya pola asuh orang tuanya. Anak juga akhirnya bisa mengalami perasaan kurang, bahkan tidak disayangi oleh orang tuanya. Dalam kasus lain, anak juga bisa meniru pola kekerasan yang dilakukan orang tua terhadapnya. Ketika ia tumbuh dewasa, ia menjadi orang tua yang kejam dan toksik juga, sehingga ia akan memberlakukan anaknya sama seperti ia diberlakukan oleh orang tuanya dulu. Inilah yang disebut dengan siklus karma leluhur atau trauma antar generasi, dan ini bisa terus menurun hingga beberapa generasi di bawahnya.
Kegagalan pola asuh ini akhirnya membentuk anak menjadi pribadi yang bermasalah dengan dirinya sendiri, baik disadari atau tidak. Anak jadi punya masalah dengan kepercayaan diri, tidak bisa mencintai dirinya sendiri, dan bahkan ada yang memproyeksikan keberhasilan hidupnya bila si anak berhasil menyenangkan hati orang lain. Misalnya, karena semasa kecil anak selalu dibentak dan dimarahi orang tuanya, maka si anak bisa saja memiliki mindset bahwa ia baru merasa berharga bila sudah berhasil menyenangkan hati orang tuanya dan hati orang lain.
Tak hanya itu, anak juga biasanya akan mengalami masalah soal harga diri dan tidak mampu menetapkan batasan bagi diri sendiri. Itulah kenapa anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang traumatik tak jarang memiliki kondisi hipo (kekurangan) atau hiper (kelebihan) dalam harga diri, kepercayaan diri, dan kecintaan diri. Anak yang mengalami hipo biasanya tumbuh menjadi anak yang minder, tidak bisa menetapkan batasan, dan menjadi seorang people pleaser alias selalu berusaha menyenangkan orang lain. Biasanya, ia akan bilang maaf walaupun tidak bersalah dan mudah sekali merasa sial atau bersalah.
Nah, anak seperti ini di usia remaja dan dewasanya biasanya rawan sekali menjadi korban dari hubungan beracun atau toxic relationship, baik semasa pacaran atau saat sudah menikah. Di sisi lain, anak juga akan memiliki empati yang berlebih, sehingga ia sangat sulit menolak dan berkata tidak kepada orang lain. Kita bisa juga menyebut anak ini sebagai MPS (super empati). Empati yang dimiliki itu terlalu besar, sedangkan anak yang mengalami hiper justru menjadi anak yang berlebihan dalam menghargai diri, kepercayaan diri, dan mencintai diri sendiri. Tak sedikit juga dari mereka yang akhirnya mengidap gangguan kepribadian yang tergolong dalam Dark Triad, yang terdiri dari narsistik, Machiavellian, dan psikopat.
Anak-anak yang tumbuh dengan kepribadian Dark Triad ini, ketika ia dewasa, akan berhubungan dengan anak-anak yang juga tumbuh dari keluarga toksik, tetapi ia bertumbuh menjadi seorang empati. Anak yang tumbuh menjadi empati karena kekerasan masa kecil biasanya akan menjadi korban dari hubungan beracun dengan para Dark Triad. Dark Triad gemar memanipulasi anak-anak empati, dan anak-anak empati kerap menjadi korban empuk. Hubungan yang dibangun antara Dark Triad dengan anak-anak empati ini juga bukanlah hubungan yang lembut, tetapi hubungan yang sarat dengan kekerasan dan manipulasi.
Hubungan antara Dark Triad dengan anak-anak empati itu tak lebih dari hubungan antara supplier energi dengan penghisap atau vampir energi. Para Dark Triad adalah penghisap atau vampir energi, dan para empati adalah suplai energinya. Ketika hubungan ini terjadi, trauma mereka semakin bertambah dan semakin diturunkan kepada anak cucu mereka. Jadilah karma leluhur menurun yang terus terduplikasi ke generasi selanjutnya. Ketika ini tidak diputus, maka generasi selanjutnya juga akan berpotensi terlahir sebagai seorang empati atau Dark Triad yang akan saling terjebak dalam hubungan toksik yang sangat tidak sehat dan traumatis. Mereka akan mengulang siklus yang sama dengan yang dialami leluhurnya.
Dalam kelanjutannya, hubungan ini juga akan sarat diwarnai dengan KDRT, perceraian, dan perselingkuhan atau poligami berulang-ulang. Biasanya, anak-anak empati ini adalah orang-orang yang baik, setia, tidak tegaan, dan menjunjung tinggi moral serta janji pernikahan. Sedangkan orang-orang Dark Triad ini cenderung manipulatif, mementingkan diri sendiri, melanggar moral, minim empati, bahkan tidak punya empati, dan bebas berbuat apa saja demi mendapatkan apa yang ia mau. Ketika para anak-anak toksik dari Dark Triad ini menikah, mereka biasanya akan menjadi pelaku KDRT dan mereka juga yang melakukan perselingkuhan berulang-ulang, sedangkan para empati ini menjadi korbannya.
Mengapa hubungan tidak sehat ini bisa terjadi? Penyebabnya adalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang traumatik kerap menerima kekejaman dan pengabaian dari orang tua mereka. Kekejaman domestik yang dilakukan orang tua terhadap anak sebenarnya juga adalah respons trauma orang tua akibat kejadian traumatis yang mereka alami saat masih kecil, entah karena mereka mengalami kejadian traumatik sendiri, seperti perang, atau karena mereka menerima kekerasan domestik juga dari pendahulunya atau leluhurnya.
Ketika anak dibesarkan oleh orang tua yang toksik seperti ini, anak tentu saja akan mengalami masalah dengan dirinya sendiri, masalah dengan kepercayaan diri, harga diri, menyayangi diri sendiri, dan ketidakmampuan menetapkan batasan. Ini bisa membuat anak cenderung mencari perhatian di luar rumah, sehingga tak jarang anak-anak akan terperosok dalam pergaulan bebas, alkohol, atau narkoba. Anak yang keluar rumah dalam kondisi mewarisi trauma antar generasi atau karma leluhur biasanya akan memiliki vibrasi yang cenderung buruk, karena perasaan dan pikirannya senantiasa diliputi perasaan kurang dihargai, haus kasih sayang, dan haus perhatian. Anak biasanya akan berusaha memenuhinya di luar rumah.
Nah, celakanya, vibrasi yang negatif akan menarik orang-orang dengan vibrasi yang negatif juga. Itulah kenapa anak yang mewarisi karma leluhur seringkali terjebak dalam lingkaran pergaulan bebas, narkoba, alkohol, bahkan judi. Seorang empati yang masih mewarisi trauma antar generasi yang belum sembuh juga cenderung menarik orang-orang Dark Triad masuk ke dalam kehidupannya. Orang-orang Dark Triad ini sebenarnya adalah orang-orang negatif yang berasal dari anak yang membutuhkan suplai pengakuan terhadap kebesaran dan ego dirinya. Mereka sama-sama diabaikan dan dikerasi oleh orang tua sejak kecil.
Sedangkan anak-anak empati adalah orang yang sebenarnya baik. Namun, karena kekerasan domestik yang dialami sejak kecil dan sekaligus merupakan warisan dari leluhurnya, ini membuat mereka tidak mampu mencintai diri sendiri, menghargai diri sendiri, dan menetapkan batasan. Sehingga anak-anak empati akan menjadi suplai yang sangat potensial bagi Dark Triad. Dark Triad seringkali melakukan manipulasi terhadap para empati dengan bertingkah seolah-olah peduli dan mengasihi di awal, sehingga seorang empati akan merasa ia akhirnya mendapatkan orang yang bisa memenuhi kekosongannya yang sejak kecil tidak pernah diisi oleh kasih sayang orang tua. Padahal, ini hanyalah taktik manipulasi.
Ketika dua tipe manusia ini menjalin hubungan, tak berselang lama, hubungan yang toksik pun akan terjadi. Perselingkuhan, kekerasan domestik, dan perceraian akan terjadi berulang-ulang dan meninggalkan trauma yang semakin mendalam. Mereka akan terus menduplikasikan karma leluhur bila tidak memutus karma atau trauma antar generasi ini.
Lalu, bagaimana cara memutus trauma antar generasi atau karma leluhur ini? Yang pasti, trauma antar generasi ini harus diterima dan diurai, lalu healing, dan membuat DNA baru yang lebih baik dan sudah terbebas dari genetik-genetik trauma antar generasi. Nah, bagaimana selengkapnya? Nanti akan saya bahas lebih lengkap.