AI sudah tidak hanya membantu pekerjaan manusia, tapi mulai menggantikan sepenuhnya. Dari pabrik-pabrik yang berjalan otomatis hingga software yang bisa menulis, melukis, bahkan nge-coding sendiri. Semua ini terlihat seperti lompatan besar bagi peradaban manusia. Tapi di balik semua euforia itu, ada satu hal yang perlahan mulai terasa: manusia kehilangan tempatnya. Sekarang saja, sudah ada jutaan pekerja yang digeser dari posisi mereka karena mesin bisa bekerja lebih cepat, lebih murah, dan tidak pernah protes.Tapi ironisnya, semakin canggih teknologi ini, semakin lemah juga ketahanan ekonomi masyarakat yang biasa. Karena jika semua hal sudah dikerjakan oleh AI, manusia tidak akan mendapatkan penghasilan. Dan tanpa penghasilan, orang tidak akan belanja. Yang artinya, perusahaan-perusahaan tidak akan mendapatkan income dan semuanya akan bangkrut. Ini adalah paradoks yang tidak banyak orang bicarakan, dan kita akan bahas semuanya di artikel ini.
Selamat datang di blog saya, nama saya Ridwan Soleh Suriadi Nata, dan selamat datang di segmen tanya AI, di mana semua yang kalian dengar ke depan ini adalah hasil jawaban dari AI. Saya hanya baca prompter dari naskah yang dibuat 100% oleh AI. Tulisan ini dibuat berdasarkan pertanyaan dari salah satu dari kalian, yang menanyakan tentang paradoks ini.
AI sekarang jadi senjata utama buat perusahaan di berbagai sektor. Di pabrik otomotif, satu robot bisa mengerjakan pekerjaan 10 teknisi nonstop tanpa lembur dan tanpa cuti. Di sektor finansial, algoritma trading bisa menyusun strategi jual beli saham dalam hitungan detik, sesuatu yang tidak mungkin bisa dikejar oleh manusia. Di layanan pelanggan, chatbot sudah bisa menangani ratusan keluhan sekaligus tanpa ngeluh atau bosan.
Perusahaan-perusahaan sekarang merasa seperti mendapat berkah besar karena ada AI. Pengeluaran turun drastis, efisiensi naik, dan kecepatan produksi membuat kompetitor manual jadi ketinggalan jauh. Tapi ada harga mahal yang sedang dibayar masyarakat tanpa disadari, yaitu lapangan pekerjaan manusia yang semakin musnah. Yang tadinya bekerja di bagian logistik, layanan pelanggan, operator mesin, bahkan desainer grafis, satu persatu mulai digantikan oleh AI.
Dan ini bukan hanya soal pekerjaan manual atau low skill. AI juga mulai mengacak-acak posisi white collar. Misalnya, analis data, pengacara junior, jurnalis, bahkan HRD. Semuanya dihantam gelombang efisiensi. Ironisnya, semakin sukses AI mengurangi kebutuhan manusia, semakin banyak pula manusia yang kehilangan sumber nafkah. Akibatnya, angka pengangguran naik terus, bukan karena orang malas kerja, tapi karena memang sudah tidak ada posisi lagi yang butuh manusia.
Efek jangka panjangnya adalah struktur sosial yang akan semakin keropos dari bawah. Di awal revolusi AI, semua kelihatan positif: barang jadi lebih murah, layanan lebih cepat, dan teknologi membuat hidup manusia kelihatan lebih praktis. Tapi seiring semakin banyak posisi yang dihapus, masyarakat mulai kehilangan kemampuan paling dasar mereka, yaitu belanja. Begitu seseorang kehilangan pekerjaan, dia bukan hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan daya beli yang selama ini jadi bahan bakar utama roda ekonomi. Orang yang dulu bisa makan di luar, langganan layanan digital seperti Netflix dan lainnya, sekarang jadi tidak bisa lagi. Atau misalnya beli barang elektronik, orang-orang sekarang harus hidup hemat dan fokus pada kebutuhan paling mendasar, yaitu makan, sewa tempat tinggal, dan kesehatan.
Transaksi non-esensial ini akan anjlok, ekonomi kreatif akan sepi, dan bahkan sektor pariwisata, hiburan, dan lifestyle akan ikut tiarap karena konsumennya sudah tidak punya uang lagi untuk dinikmati. Akar masalah dari semua ini sebenarnya adalah sistem ekonomi dunia yang sekarang ini dibangun dari asumsi dasar bahwa semua orang itu bekerja, dapat uang, lalu belanja. Dan ketika asumsi itu ambruk, semua sektor mulai merasakan dampaknya. Bahkan sektor yang pakai AI pun akhirnya ikut kena. Ya, misalnya seperti restoran otomatis, toko swalayan tanpa kasir, atau bahkan platform digital yang sepenuhnya terintegrasi AI ini mulai mengeluh karena penggunanya makin sedikit yang bisa bayar.
Dan satu hal yang tidak banyak orang sadar adalah AI memang bisa memproduksi barang sebanyak apapun yang mereka mau, tapi mereka tidak bisa membeli barang. Robot itu tidak punya keinginan, algoritma itu tidak punya kebutuhan. Mereka itu bukan konsumen, mereka cuma alat produksi. Jadi, jika manusia disingkirkan dari siklus ekonomi, siapa yang akan menyerap produk dan jasa tersebut? Itulah kenapa daya beli bukan cuma soal uang di kantong, tapi tentang keberadaan manusia sebagai pusat ekonomi.
Setelah semua itu terjadi, uang yang dulu beredar di masyarakat sekarang menumpuk di segelintir perusahaan raksasa yang menguasai AI. Ironisnya, perusahaan-perusahaan ini justru mulai saling makan karena semuanya bersaing di pasar yang sama yang terus menyusut. Ekspansi jadi percuma karena tidak ada wilayah baru yang bisa memberikan konsumen tambahan. Bahkan promosi diskon dan fitur-fitur canggih ini gagal menarik perhatian karena masyarakat sudah sibuk mikirin cara bertahan hidup.
Paradoks ini cukup brutal. Makin efisien perusahaan, makin sedikit kebutuhan mereka untuk tenaga kerja manusia. Tapi justru tenaga kerja manusia itulah yang selama ini jadi konsumen mereka. Tanpa konsumen, profit hanya akan menjadi angka kosong di laporan keuangan mereka. Tanpa uang yang beredar di pasar, semua keunggulan produksi jadi sia-sia. Dan pada akhirnya, bukan cuma pekerja yang rugi, perusahaan yang terlalu tergantung pada AI juga ikut masuk ke dalam spiral ekonomi yang sekarat.
Ketika ekonomi sudah tidak bisa berputar seperti dulu dan pasar kehilangan daya serap mereka, satu-satunya entitas yang masih bisa bergerak adalah negara. Beberapa pemerintah mulai sadar kalau sistem lama sudah tidak relevan lagi buat dunia yang dikendalikan oleh AI di masa depan. Dari situlah muncul ide kontroversial Universal Basic Income alias UBI. UBI bukan konsep baru, tapi sekarang urgensinya naik level. Intinya sederhana, semua warga negara dapat pemasukan tetap tiap bulan tanpa harus kerja. Tidak peduli status pendidikan atau lokasi kalian. Selama kalian hidup, kalian dapat uang.
Tujuannya jelas: menciptakan daya beli baru di tengah masyarakat yang kehilangan penghasilan karena disingkirkan oleh AI. Tapi ide ini langsung mendapat perlawanan besar. Dari mana dananya? Dari pajak kah? Dari cetak uang kah? Atau potongan anggaran militer kah? Semuanya punya pilihan risikonya masing-masing. Ada yang bilang UBI bisa memicu inflasi besar-besaran. Ada yang takut masyarakat jadi malas kerja. Tapi di sisi lain, tanpa UBI, daya beli bisa mati total. Dan jika itu terjadi, negara juga bakal runtuh dari dalam.
Beberapa negara sudah mulai uji coba dalam skala kecil. Finlandia sudah melakukannya, Kanada juga sudah, bahkan Indonesia sempat dibahas di kalangan terbatas. Hasilnya campur aduk. Tapi satu hal yang jelas, masyarakat yang dapat UBI jadi punya ruang buat mikir ulang soal hidup, bukan cuma bertahan hidup doang. Masalahnya adalah UBI bukan cuma soal uang, tapi soal merombak cara kita mikir soal kerja, nilai, dan peran negara di tengah dominasi AI. Dan itu bikin banyak elite panik karena sistem lama yang selama ini menguntungkan mereka mulai kehilangan fondasinya.