Dulu waktu kecil setiap malam tanggal 30 September, saya termasuk yang menghindari nonton film G30S PKI. Saya hanya sempat menonton film ini satu kali, saat tayang awal di bioskop, karena ikut acara keluarga nonton bareng film ini. Setelah itu memilih untuk nggak nonton lagi. Adegan penculikan hingga penyiksaan 7 Jenderal di Lubang Buaya itu benar-benar mengerikan bagi saya. Nggak lagi dech. Dari hasil ngobrol sana sini, ternyata banyak juga ya teman-teman saya selalu sengaja tidur lebih cepat. Alasannya, saya enggak ingin dengar dan nonton film G30 S PKI yang selalu diputar ulang setiap tanggal 30 September di televisi.
Saat kelas 5 SD, sekolah kami pernah mengadakan acara nonton bareng film ini. Tapi waktu itu saya malah jalan-jalan ngobrol sana-sini di dalam gedung bioskopnya. Biar gak focus pada tayangan filmnya. Terlepas benar tidaknya fakta sejarah yang terjadi saya bener-bener trauma lihat tayangan kekejaman PKI di film tersebut, hingga tertanam di bawah alam sadar saya betapa kejamnya PKI. Dan tak ingin ada PKI lagi di Indonesia.
Seingat saya, saya pertama kali nonton film ini pas SD sekitar tahun 80an, karena waktu itu nonton film ini adalah wajib. Jadi, setelah nonton film itu di bioskop, kalau mau tidur, saya suka kebayang-bayang, bagaimana kalau PKI tiba-tiba datang ke rumah saya, menculik bapak saya, dan lain-lain. Pokoknya saya itu memang orang yang suka mendramatisir suasana.
Setelah Rezim Orde Baru jatuh tahun 1998, tayangan film G30S PKI di televise mulai dikurangi hingga sedikit demi sedikit dihilangkan. Alasannya karena banyak kalangan yang berpendapat bahwa film tersebut banyak muatan politis di dalamnya. Film tersebut dianggap menjadi sarana untuk menanamkan isme ke dalam alam bawah sadar masyarakat bahwa, pertama, PKI adalah musuh masyarakat yang sangat kejam dan berbahaya, kedua, Jenderal Soeharto adalah pahlawan pemberantas PKI. Paham ini terus menerus dihembuskan tanpa ada yang berani mengkritisi dan mempertanyakan. Setelah era reformasi dimulai dan kebebasan pers berlaku, apalagi sejak medsos menjadi bagian hidup masyarakat, segala informasi baru yang lengkap dengan argumentasi dan bukti-bukti baru yang bertentangan dengan isme PKI Orde Baru pun bermunculan. Tak heran jiga masyarakat berpendidikan banyak yang menolak ide pemutaran ulang film ini, karena dianggap sebagai cara-cara lama untuk membangkitkan kembali Orde Baru dengan mendompleng kedok khilafah.
Begitulah sejarah. Kita yang tidak pernah menyaksikan secara langsung mempelajari sejarah di sekolah berdasarkan catatan-catatan yang sudah disepakati tanpa bisa menilai kebenarannya secara obyektif. Sejarah dibuat oleh pemenang perang, diajarkan di sekolah-sekolah seauai dengan tujuan politik dari si pemenang perang tersebut. Banyak analis sejarah di dalam dan luar negeri yang mengatakan bahwa data-data sejarah yang ada di film G30S PKI tersebut perlu direvisi dan diluruskan.
Saat ini, tepatnya sejak kampanye Pilpres 2014 yang lalu, issue-issue kebangkitan PKI kembali banyak digembar-gemborkan orang. Banyak anggota masyarakat yang berpikir bahwa gembar-gembor kebangkitan PKI ini hanyalah rekayasa politik untuk memuluskan tujuan sekelompok golongan masyarakat saja.
Dari segi artistik, saya setuju sih klo dilakukan pembuatan film ulang dengan kualitas gambar yg lebih baik dan cerita yang, kalau bisa sih diluruskan dari unsur rekayasa dan kepentingan politik. Biar menarik gitu lho. Lha sekarang film bajakan yg kualitas HD Cam aja males nonton, apalagi film jadul yg gambarnya udah gak kelihatan. Andai ada film atau dokumenter lain yang lebih akurat dan dilandasi penelitian yg mendalam, mungkin saya akan nonton sampai selesai.
Nah, meskipun tentu saja pasti mengundang kontroversi, karena tidak setiap orang mempunyai sudut pandang yang sama, tapi namanya orang Indonesia, selalu saja ada yang kreatif bikin parodi agar film G30S PKI tidak terasa menyeramkan. Ini dia… 🙂