Pernahkah Akang-Teteh bertanya-tanya mengapa uang rupiah memiliki banyak nol? Bandingkan saja dengan dolar Amerika Serikat. Saat video ini dibuat, 1 dolar setara dengan Rp16.300. Bagi orang asing, angka ini terlihat sangat besar. Mungkin Akang pernah melihat uang Dolar Zimbabwe yang satu lembarnya bernilai ratusan triliun, dan Akang mungkin menertawakannya, mengira itu hanya lelucon.
Namun, tahukah Akang, orang-orang di luar negeri, para bule itu, juga sering menertawakan uang kita. Misalnya, ketika kita membeli rokok di minimarket dengan selembar uang Rp50.000, mereka melihat nolnya yang terlalu banyak. Ada sejarah di balik semua ini, sebuah fakta bahwa negara kita pernah mengalami tiga kegagalan besar dalam ekonomi, yaitu pada tahun 1950, 1959, dan 1965.
Jika ketiga peristiwa bersejarah itu tidak pernah terjadi, uang kertas Rp100.000 yang Akang pegang sekarang tidak akan bernilai Rp100.000. Bahkan, satu lembar uang itu mungkin hanya bisa membeli dua bungkus rokok. Nanti, di akhir video ini, saya akan berikan perhitungannya dan Akang akan terkejut betapa parahnya inflasi yang pernah dialami Indonesia.
Dalam artiekl ini, saya juga akan mengungkapkan fakta bahwa uang yang Akang simpan mungkin bukan sepenuhnya milik Akang-Teteh, karena bisa diambil kapan saja oleh pemerintah atau bank sentral. Hal ini sudah terbukti dari sejarah, bahkan sampai tiga kali, menyebabkan kerugian finansial yang masif bagi masyarakat. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin di masa depan kita akan melihat pecahan uang Rp500.000 dan Rp1.000.000 per lembar, atau tiga nol di uang kita akan hilang cepat atau lambat. Saya harap ini tidak akan pernah terjadi, tapi sejarah bisa terulang kembali. Setidaknya, setelah menonton video ini, Akang jadi tahu sejarah ini dan bisa bersiap-siap.
Gunting Syafruddin (1950): Uang Dipotong Setengah
Jika Akang membaca sejarah, uang Indonesia dulunya mirip dolar, nolnya tidak banyak, bahkan ada sen-nya. Bayangkan, dulu ada uang Rp1 dan pecahan di bawah Rp1 yang disebut sen, persis seperti 1 dolar yang setara 100 sen.
Pada tahun 1950, Indonesia baru saja keluar dari masa revolusi kemerdekaan, tapi ekonomi negara sudah seperti bom waktu. Uang warisan zaman Jepang dan Belanda masih beredar, ditambah lagi dengan cetakan baru dari pemerintah Indonesia sendiri, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang ejaannya masih Belanda. Uang semakin menumpuk, tapi barang semakin langka. Distribusi hancur, sektor produksi rusak, dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada nilai uang.
Menteri Keuangan saat itu, Syafruddin Prawiranegara, akhirnya mengumumkan kebijakan paling ekstrem dalam sejarah ekonomi Indonesia, yang kita kenal sebagai Gunting Syafruddin. Semua uang kertas di atas Rp5 harus digunting secara fisik menjadi dua bagian. Potongan sebelah kiri masih bisa dipakai belanja, tapi nilainya langsung dipotong jadi setengah. Jadi, jika Akang punya Rp5, potongan kirinya menjadi Rp2,5.
Lalu, bagaimana dengan potongan kanannya? Benar, nilainya juga Rp2,5, tapi tidak bisa dipakai sama sekali. Status potongan kanan ini berubah menjadi pinjaman paksa kepada negara dalam bentuk surat utang negara dengan bunga 3% per tahun, yang baru bisa dicairkan 40 tahun kemudian (tahun 1990).
Bayangkan Akang punya uang Rp1.000 hasil menabung dua tahun, ingin membeli 10 liter beras seharga Rp100 per liter. Gara-gara digunting, Akang kini hanya bisa membeli 5 liter beras dengan Rp500. Sisanya? Akang memegang potongan kertas kanan yang ditukar di kantor pos dan diberi obligasi negara dengan bunga kecil 3% per tahun, yang baru cair tahun 1990. Jadi, jika Akang saat itu berumur 50 tahun, Akang baru bisa mencairkan uangnya saat berumur 90 tahun.
Yang lebih parah, menggunakan potongan kanan untuk transaksi itu ilegal. Akang juga tidak boleh belanja pakai uang yang tidak dipotong. Pedagang punya hak menolak, bahkan bisa dianggap kriminal jika Akang memaksa. Jadi, meskipun fisiknya ada, nilainya basically sudah tidak ada.
Efeknya sangat besar. Rakyat kecil jadi korban utama. Banyak yang tidak mengerti cara menukarkan surat utangnya, banyak yang buta huruf, atau tidak sempat klaim karena suratnya hilang, keburu meninggal, atau tidak dapat informasi. Tabungan untuk sekolah, hajatan, atau menikah tiba-tiba hilang setengahnya dalam semalam.
Gunting Syafruddin adalah langkah kejam yang terpaksa diambil untuk menyelamatkan ekonomi. Namun, trauma yang ditinggalkan membekas hingga puluhan tahun kemudian. Kepercayaan rakyat terhadap rupiah mulai goyah, dan kebijakan pemerintah mulai dipertanyakan, memicu banyak protes.
Sanering (1959): Nilai Uang Lenyap 90%
Setelah Gunting Syafruddin tahun 1950, masyarakat berharap ekonomi akan membaik. Tapi, kenyataannya inflasi terus berjalan. Harga barang terus naik, dan negara makin berat menanggung utang dari masa revolusi.
Sembilan tahun kemudian, Indonesia mengalami kebijakan pemangkasan uang yang jauh lebih masif dan sistematis, dikenal sebagai Sanering 1959. Kali ini, pemerintah tidak lagi menyuruh rakyat memotong uang mereka sendiri, tapi langsung memotong nilai nominal secara resmi dari pusat. Uang pecahan Rp1.000 dipaksa menjadi Rp100, dan Rp500 menjadi Rp50. Semuanya diumumkan mendadak dan berlaku dalam semalam. Rakyat terkejut, dan nilai uang yang mereka pegang tiba-tiba lenyap 90% tanpa bisa dilawan.
Bagi Akang yang mungkin protes, “Oh, ini kan cuma kehilangan nol!” Ya, pada dasarnya ini adalah redenominasi. Namun, karena implementasinya terlalu tiba-tiba, efeknya sangat fatal. Tambahan lagi, serangan utamanya justru dari sistem perbankan.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 26 Tahun 1959 tentang Pinjaman Konsolidasi. Ini yang saya maksud kenapa pemerintah bisa mengambil uang Akang kapan pun mereka mau. Semua simpanan masyarakat di bank, baik giro maupun deposito yang jumlahnya lebih dari Rp25.000, langsung dibekukan. Masyarakat tidak bisa menarik uangnya, tidak bisa memakainya untuk transaksi, dan tidak punya pilihan lain. Uang tersebut otomatis dianggap sebagai pinjaman jangka panjang kepada negara.
Sebagai gantinya, Akang akan diberi surat utang berbentuk pengakuan utang atau obligasi dengan bunga sekitar 3,5% per tahun dan jangka waktu 45 tahun, lebih panjang dari sebelumnya (jatuh tempo 1 September 2004). Namun, ini hanya teori di atas kertas. Praktiknya, ribuan orang tidak pernah menerima uangnya kembali. Banyak yang kehilangan dokumen, tidak mengerti prosedur klaim, atau sudah meninggal sebelum suratnya jatuh tempo. Pada dasarnya, negara “mengambil” uang Akang begitu saja. Negara juga tidak punya mekanisme proaktif untuk mengingatkan rakyat kapan bisa mencairkan.
Contoh cerita yang paling dikenal adalah dari Ibu Rahmi Rachim, istri Bung Hatta. Beliau sudah lama menabung untuk membeli mesin jahit, tapi simpanannya di atas Rp25.000 dibekukan. Jadi, ia tidak bisa membeli mesin jahit impiannya. Saya menyebutnya sebagai propaganda, seolah-olah mengatakan, “Bukan cuma rakyat biasa yang menderita, istri Bung Hatta juga mengalaminya.” Tapi, itu hanya mesin jahit, dan beliau tidak menjahit juga. Beliau tetap kaya sebagai istri Bung Hatta, tidak seperti rakyat biasa.
Yang lebih menyakitkan dan berefek domino adalah: nilai uang masyarakat sudah dipotong, simpanan dibekukan, tapi harga barang tidak turun sama sekali. Kalaupun turun, tidak sesuai dengan redenominasinya. Harga sabun, harga beras, tetap tinggi, tapi uang di kantong rakyat sudah tinggal 10%. Kalaupun ada harga barang yang turun 10%, itu tidak benar-benar turun 10%, mungkin hanya turun 80% atau 50%, karena kepercayaan terhadap uang itu sendiri sudah menghilang. Gaji juga disesuaikan ke nominal baru, tapi tidak cukup untuk biaya hidup yang harganya tetap pakai harga lama.
Akibatnya, daya beli masyarakat langsung hancur, ekonomi mandek, dan sistem perbankan lumpuh. Yang paling berat adalah kepercayaan rakyat ke rupiah hancur total. Banyak yang mulai menyimpan emas, menimbun barang lain, atau bahkan memindahkan uang mereka ke luar negeri. Pemerintah berharap obligasi ini bisa meningkatkan partisipasi masyarakat di pasar modal, tapi kenyataannya bursa sepi dan janji pemerintah untuk membayar surat utang tidak sepenuhnya ditepati sampai sekarang.
Redenominasi (1965): Angka Nol Hilang Tiga
Kita sudah membahas tahun 1950, 1959, dan sekarang kita masuk ke tahun 1965. Ekonomi Indonesia sudah masuk mode darurat total saat itu. Inflasi brutal gila-gilaan. Rakyat sudah tidak bisa membedakan mana uang kertas dan mana kertas biasa, karena pada dasarnya sama saja. Harga barang bukan naik per bulan, tapi bisa berubah dalam hitungan hari. Nilai rupiah sudah nyaris tidak ada artinya. Bayangkan saja, waktu itu uang Rp1.000 bahkan tidak cukup untuk membeli kebutuhan harian. Seharusnya Rp1.000 adalah uang yang cukup besar untuk belanja sehari-hari.
Saat itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan untuk memangkas angka nol ini lagi, melakukan yang namanya redenominasi (atau masih disebut Sanering oleh beberapa sejarah) pada tahun 1965. Jika pada 1959 angka Rp500 jadi Rp50, kali ini Rp1.000 jadi Rp1, alias langsung potong tiga nol. Alasannya untuk menyederhanakan sistem moneter karena nolnya kebanyakan, dan untuk menjalankan kebijakan stabilisasi ekonomi.
Namun, faktanya ini bukan sekadar redenominasi. Efeknya seperti sanering ketiga dengan skala masif. Rakyat bukan cuma disuruh ganti uangnya, tapi mereka kehilangan nilai kekayaan mereka lagi. Gaji dipotong, tabungan dipotong, simpanan di bawah bantal juga dipotong sesuai redenominasi. Misalnya Akang punya uang Rp10 juta, sekarang jadi Rp10.000. Tapi masalahnya, harga barang tidak ikut turun sesuai redenominasi.
Contoh paling nyata: harga semangkuk bakso sebelum sanering sekitar Rp1.000. Seharusnya, jika terjadi redenominasi, harga bakso menjadi Rp1. Tapi faktanya di lapangan tidak begitu. Harga bakso yang seharusnya Rp1 ini bisa jadi Rp1,5 atau Rp2. Kenapa? Karena orang-orang yang menjual barang masih takut inflasi belum berhenti. Jadi, karena ada redenominasi itu (yang terjadi karena inflasi besar-besaran), para pedagang tidak yakin inflasinya sudah selesai. Harganya mereka naikkan sedikit, yang justru menyebabkan inflasi lagi.
Akhirnya, daya beli masyarakat kembali turun mencapai titik sangat rendah. Harga kebutuhan sehari-hari memang turun sesuai redenominasi, tapi ditambah sedikit. Jadi, walaupun pemerintah menyebutnya redenominasi atau penyesuaian, fakta di lapangan menunjukkan barang-barang tidak sesuai. Masyarakat jadi merasa miskin mendadak karena nilai uang tiba-tiba lenyap. Daya beli masyarakat tidak ada, dan trauma itu masih menempel pada orang-orang Indonesia, terutama orang tua yang mengalaminya. Mungkin kakek-nenek Akang yang berumur 80-an tahun pernah mengalaminya.
Fakta bahwa tiga kejadian tersebut (1950, 1959, 1965) sudah pernah terjadi, dan nol di rupiah kita masih banyak, menceritakan sesuatu: inflasi yang gila-gilaan.
Krisis Asia (1997-1998) dan Munculnya Pecahan Rp100.000
Setelah tiga kali sanering besar-besaran, Indonesia mulai terlihat stabil di bawah Orde Baru. Ekonomi tumbuh, pembangunan berjalan, dan nilai tukar rupiah relatif tenang. Tapi semua itu hanya kelihatan saja. Di balik layar, utang luar negeri terus bertambah, korupsi merajalela (sudah jadi budaya).
Sampai akhirnya datang badai dari luar, yaitu Krisis Moneter Asia tahun 1997-1998. Inflasi besar-besaran tidak hanya menimpa Indonesia, tapi juga Malaysia, Asia Tenggara, bahkan Jepang. Di negara kita, demo besar-besaran banyak ditunggangi, menyebabkan banyak kriminalitas. (Fun fact, saya bisa berada di Belgia sekarang di rumah saudara yang menikah dengan wanita Polandia adalah bukti betapa membekasnya 98, sampai saya punya saudara yang kabur ke Belanda.)
Negara-negara Asia Tenggara jatuh satu per satu, dan Indonesia jadi salah satu yang paling parah. Nilai tukar rupiah anjlok yang tadinya 1 dolar hanya Rp2.400, dalam beberapa bulan saja menjadi Rp16.000 per 1 dolar. Bank-bank kolaps, perusahaan bangkrut, PHK di mana-mana, harga sembako meledak, dan rakyat panik. Pemerintah hanya bisa menahan dengan cara lama: menyuntik dana ke perbankan (pada dasarnya mencetak uang), menaikkan suku bunga, dan mencetak uang untuk menyelamatkan sistem.
Di tengah krisis itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan pecahan baru yang pertama kali muncul, yaitu Rp100.000 pada tahun 1999. Tujuannya agar transaksi dalam jumlah besar bisa tetap berjalan dan tidak perlu membawa setumpuk uang. Tapi sebenarnya, ini adalah tanda bahwa nilai uang sudah makin tidak berharga lagi. Semakin besar angka di uang kertas kita, itu artinya inflasi kita mulai tidak terkontrol. Pecahan besar itu muncul bukan karena kita makin kaya, tapi karena nilai uang kita sudah terlalu kecil, jadi tidak cukup lagi untuk hidup.
Trauma Redenominasi dan Masa Depan Rupiah
Sejak saat itu, nol di rupiah sudah dikunci permanen. Pemerintah tidak berani lagi memotong nol. Walaupun rencana redenominasi sempat dibahas di tahun 2000, lalu muncul lagi di 2017, 2020, bahkan belakangan 2024, selalu ditolak karena masyarakat masih trauma dengan kata “redenominasi”. Ini langsung diartikan sebagai sanering diam-diam. Rakyat sudah cukup kenyang ditipu lewat pemotongan nilai uang.
Tapi siapa tahu, jika generasi tua sudah tidak ada dan digantikan generasi muda yang mungkin tidak tahu sejarah ini, mungkin tidak akan ada protes. Makanya saya membuat video ini. Tidak ada orang yang mau uangnya tiba-tiba hilang dipotong seperti dulu lagi. Memang hanya nolnya yang dipotong, seharusnya harga pasar juga dipotong tiga nolnya. Tapi ternyata tidak berjalan sesuai rencana, harga barang malah makin naik. Tidak banyak orang percaya bahwa harga barang akan ikut turun sesuai redenominasi. Yang paling menyakitkan adalah, dari tahun ke tahun, jumlah nol di rupiah makin lama makin banyak, tapi tidak ada satu pun nol yang dihapus lagi sejak tahun 1965. Kita hidup dalam ekonomi yang dibangun atas trauma, ketakutan, dan angka nol yang dibiarkan menumpuk.
Ancaman di Balik Pertumbuhan Ekonomi
Hari ini, tahun 2025, secara kasat mata ekonomi Indonesia kelihatan tumbuh. Tapi di bawah permukaan, ada tanda-tanda rapuh mulai muncul lagi. Belanja negara terus naik, proyek infrastruktur makin banyak, utang publik makin menumpuk. Untuk menutup defisit yang makin lebar, pemerintah mulai mengandalkan pola lama: menjual surat utang ke mana-mana.
Tidak hanya itu, inflasi mulai pelan-pelan naik, sembako mulai merangkak, biaya hidup meningkat, sementara pendapatan rakyat tidak bertambah sebanding dengan inflasi. Akibatnya, masyarakat lagi-lagi harus mengeluarkan uang makin banyak, hanya untuk bisa hidup. Ini ceritanya terdengar sangat familiar, seperti tahun 1950, 1959, dan 1965.
Saya rasa, jika sanering terjadi lagi, akan ada demo besar-besaran, dan negara bisa hancur karena pada dasarnya itu adalah pencurian uang rakyat. Siapa tahu seberapa gila pemerintah bisa bertindak? Saat video ini dibuat (6 Juni), Donald Trump bahkan berbicara seperti itu kepada Elon Musk di Twitter. Mungkin Indonesia juga bisa segila itu.
Pilihan Sulit: Redenominasi atau Pecahan Uang Lebih Besar?
Redenominasi, yaitu penghapusan tiga nol di rupiah, bisa saja terjadi karena sudah pernah dibahas beberapa kali. Uang Rp100.000 bisa jadi Rp100, Rp50.000 jadi Rp50, Rp1.000 jadi Rp1, dan Rp500 jadi 50 sen. Tapi ini adalah cara untuk menutupi kesalahan dan sejarah pahit Indonesia. Ya, itu memang akan menaikkan rasa kepercayaan rupiah bagi negara lain.
Namun, apakah kita bisa yakin bahwa barang-barang di pasar juga akan menurunkan harga sesuai dengan redenominasi tersebut? Apakah implementasinya akan sesuai? Apakah benar nantinya bakso yang harganya Rp20.000 akan jadi Rp20, bukan Rp25? Apakah benar nanti ikan di pasar yang sekilonya Rp30.000 akan turun menjadi Rp30, bukan Rp40? Atau malah akan terjadi lagi seperti tahun 1965, di mana harga barang cenderung tidak mau turun sesuai redenominasinya, tapi malah naik sedikit? Ada risiko bahwa implementasi redenominasi ini akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pecahan uang Rp500.000 per lembar dan Rp1.000.000 per lembar jadi opsi yang masuk akal. Tapi itu juga akan menurunkan kepercayaan mata uang rupiah di internasional karena nolnya terlalu banyak.
Bagaimana Jika Sejarah Tidak Pernah Terjadi?
Sekarang, pertanyaan lucu: bagaimana jika tahun 1950, 1959, dan 1965 ini tidak pernah terjadi sama sekali? Bagaimana jika pengurangan angka rupiah tidak pernah terjadi sama sekali? Jawabannya, uang kita tidak jauh beda dengan Zimbabwe, Guys!
Satu lembar uang Rp100.000 yang saya pegang ini, nilainya bisa menjadi 2 miliar rupiah. Tidak ada nilainya lagi. Saya pakai perhitungan sederhana: dari Gunting Syafruddin 1950 (kali 2), Sanering 1959 (kali 10), dan 1965 (kali 1.000). Totalnya, Rp100.000 dikalikan 20.000 menjadi Rp2 miliar. Jadi, uang Rp100.000 yang saya pegang seharusnya bertuliskan Rp2 miliar.
Dan jangan kira Rp2 miliar itu besar, Guys! Karena, jika benar itu Rp2 miliar, Akang beli satu bungkus rokok harganya bisa ratusan juta per bungkusnya (jika satu rokok sekitar Rp40-an juta).
Itulah sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Pernah diceritakan di sekolah, tapi entah mengapa tidak banyak yang ingat, seolah-olah disensor. Akang-Tetah nggak percaya? Silakan Google sendiri, atau boleh juga tanya-tanya sama Perplexity, Google Gemini, atau Mie Kocok Copilot.


