Sampai Kapan Angkot dan Taksi Petahana Mampu Bertahan?

Sampai Kapan Angkot dan Taksi Petahana Mampu Bertahan?

Kenapa Taksi Online Lebih Disukai Konsumen?

Biaya Terjangkau

Pantesan transportasi online banyak disukai teman-teman, karena memang terasa nyaman, terutama bagi orang-orang seperti saya, seorang ayah dengan tiga putri kecil usia SD.

Hari selasa tanggal 17 April kemarin, saya menjemput istri, anak anak, dan bapak-ibu mertua saya di stasiun Bandung. Taksi di stasiun jahatnya minta ampun. Mereka gak mau pake argo. Maunya borongan. Berapa ongkos yang dia minta dari stasiun ke Turangga? Awalnya dia minta 70rb. Wow! Begitu lihat yang baik banyak sampai penuh, mendadak dia menaikan tarif jadi 100rb! Double Wow! Berapa biaya go-car dari rumah saya ke stasiun Bandung? Ternyata Cuma Rp. 22.000! Taksi non argo menuntut tarif hampir 5 kali lipat lebih mahal! Jangan heran semakin paham masyarakat, taksi non argo akan semakin dijauhi konsumen.

Biaya Transparan

Saat order belum dieksekusi, tarif sudah bisa dihitung di depan. Kita sebagai konsumen bisa menilai tarif tersebut cocok atau tidak sebelum dia memutuskan jadi tidaknya ambil layanan. Saat tombol jadi dieksekusi, identitas driver pun muncul dan kota bisa berkomunikasi dengan driver tersebut.

Nyaman,

senyaman mobil pribadi ber-AC. Rata-rata mobil yang beroperasi memang termasuk mobil baru dengan kondisi prima. Dari hasil obrolan, ternyata memang cukup banyak yang membeli mobil baru lalu mendaftar di layanan transportasi online untuk membayar cicilan sekaligus cari yang.

Gak perlu mikirin kerumitan masalah parkir.

Salah satu masalah berpergian dengan mob9il pribadi adalah masalah parkir. Sering khan kita harus muter-muter di parking lot yang sudah penuh sesak sebelum kita bisa memarkir mobil kita dengan nyaman?  Di tempat-tempat tertentu seperti mall atau toko buku Gramedia biaya parkir durasi lebih dari 2 jam lumayan banyak lho.

Kenapa Peminat Angkot Akan Semakin Berkurang?

Pertama, ongkos angkot sekitar 4rb/org terasa lebih mahal. Untuk berangkat sendirian dengan jarak tempuh yang sesuai, ini masih fair. Tapi saat berpergian beramai-ramai dengan keluarga lengkap, seperti saya misalnya, yang bawa istri dan 3 orang anak kecil, jelas terasa perbedaan anggaran transportasi yang harus dikeluarkan.

Kedua,  Juga kalah praktis. Banyak tujuan perjalanan yang tidak terjangkau satu kali angkot. Biaya transportasi pun masih sering bertambah saat di jalan banyak ketemu dengan para pengamen.

Ketiga, faktor kenyamanan konsumen. Saat angkot sepi penumpang, mereka sering ngetem, ini tidak nyaman bagi penumpang yang sedang ngejar waktu untuk sampai tujuan tepat waktu. Belum lagi gangguan dari para pengamen di perempatan, memang sih bukan kewajiban penumpang buat bayar pengamen, tapi jelas menambah komponen biaya transportasi yang harus dia keluarkan.

Apakah transportase online akan menjadi penyebab matinya angkot di kemudian hari? Belum tentu lah. Di Kertosono Kabupaten Nganjuk, tempat tinggal mertua saya, yang belum mengenal ojek dan taksi online, keberadaan angkot atau angdes tergeser oleh peningkatan kepemilikan sepeda motor dan beroperasinya becak bermotor yang lebih dipilih masyarakat. Saat harga bensin semakin naik, masyarakat semakin berat membayar angkot sebagai transportasi harian. Daripada buat angkot sebulan, kalau dihitung-hitung ya mending buat bayar cicilan kredit motor, khan?

Bagaimana solusinya?

Alternatif pertama adalah batasi jumlah angkot. Angkat sopir angkot jadi PNS Pemkot. Dengan demikian mereka dapat gaji tetap. Dengan cara seperti ini, siapa tahu angkot bisa dibuat gratis, kalaupun tidak gratis, bisa diakali dengan sistem tarif lain yang tidak memberatkan masyarakat, seperti beli paket berlangganan internet misalnya.

Alternatif lain yang kebih keren, Ganti dengan transportasi massal yang lebih baik, misalnya Busway dan Monorail yang menjangkau seluruh kota. Memang butuh keberanian besar untuk merubah sistem lama yang sudah dirasa tidak efektif. Perubahan itu wajar. Dulu delmam diganti dengan bemo dan oplet. Setelah masa kejayaannya habis, diganti dengan angkot. Jika di Jakarta dibuat busway, barangkali kemacetan kota Bandung akan banyak berkurang jika angkot dihilangkan dan diganti dengan sistem transportasi online. Juga akan lebih kondusif untuk menjadikan Bandung sebagai kota sepeda. Adanya transportasi online juga membuat banyak pemilik mobil pribadi akan mengurangi pemakaian mobil pribadinya.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *