Awal tahun 2020 kali ini, kita semua dikejutkan dengan peristiwa banjir besar yang melanda Jakarta. Menurut saya sih, Ini merupakan kejadian banjir terparah di Jakarta. Banyak teman-teman dan family di sana yang rumahnya kebanjiran, padahal di tahun-tahun sebelumnya, daerah mereka belum pernah terjangkiti banjir. Faktor penyebabnya memang kompleks. Pertama, curah hujan di wilayah Jabodetabek saat itu memang sangat ekstrim. Kedua, nyata benar infrastruktur pengendali di sana tidak siap meneria limpahan air sebanyak itu. Selain tidak siapnya infratruktur pengendali banjir di sana, ada satu penyakit masyarakat yang sampai saat ini kok belum sembuh juga. Ini catatan pribadi saya saja ya, sejak SD, yang saya alami tahun1981-1986 lalu, kita diajarkan di sekolah bahwa membuang sampah ke sungai bisa menyebabkan terjadinya banjir. Beberapa tahun yang lalu, anak saya di sekolah juga di sekolahnya diajarkan bahwa buang sampah ke sungai bisa menyebabkan banjir. Pelajaran ini juga tentu diajarkan pada generasi yang lebih tua dari saya, hingga yang lebih muda dari anak-anak saya, tapi perilaku masyarakat tetap tidak berubah, sampah banyak yang dibuang ke sungai juga ya… Masyarakat Indonesia memang keren, saudara-saudara.
Terlepas dari kurang amanahnya para wakil rakyat dan petugas pengelola negara dalam mensejahterakan masyarakat, kita sebagai anggota masyarakat itu sendiri memang memberikan andil besar terhadap sampah-sampah yang menyumbat aliran sungai. Banjir, sampah, polusi, kekeringan, hama. Lingkaran setan yang disebabkan oleh ulah manusia.
Masalah pembuangan sampah merupakan masalah sangat serius yang sudah puluhan tahun terjadi. Setiap hari kita membuang sampah, dari rumah ke tempat sampah. Dari sana lalu dibawa oleh petugas kebersihan ke tempat pembuangan sementara yang lebih besar, setelah itu barulah semuanya diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir. Sampai kapan sampah-sampah itu ditumpuk terus di TPS? Setelah numpuk di sana, terus diapakan? Banyak sekali wacana indah pemerintah yang hingga kini belum terealisasi. Katanya tumpukan sampah itu akan diolah menjadi pembangkit listrik. Rencana keren memang, tapi sudah siapkah kita mengelola teknologi tersebut? Jika belum siap sampai ke sana sih, kenapa tidak kita kelola dengan cara yang lebih sederhana saja? Musnahkan saja lah, setelah dimusnahkan, residunya bisa dimanfaatkan buat hal lain toch? Misalny, jadikan saja sebagai material perkerasan jalan raya. Kenapa tidak? Konon, nenek moyang kita di zaman Lemurian sudah lama sekali menggunakan teknologi ini.
Cara memusnakan sampah itu gampang kalau dibakar. Tapi ternyata kita gak boleh bakar sampah sembaragan. Alasan utama kenapa kita tidak boleh membakar sampah adalah, karena bisa menyebabkan timbulnya karsinogen di udara. Tapi jika dibiarkan terus hingga menggunung, kita tentu ingat, betapa mengerikannya tragedi longsor gunung sampah TPA Leuwigajah Cimahi yang terjadi tahun 2004 silam.
Apa solusinya? Tentu ada. Baru-baru ini, saya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh komunitas Granuma Organik. Mereka menawarkan cara memusnahkan sampah dengan teknologi pembakaran tanpa polusi dengan menggunakan alat berbahan bakar oli bekas. Pengolahan Sampah Komunal sistem Zero Waste Paguyuban Granuma Phatèra adalah salah satu solusi badan karya nyata yang bisa dimanfaatkan tanpa menambah permasalahan baru.
Di bawah ini adalah Video Tutorial cara mengoperasikan Mesin Pembakar Sampah Plasma berbahan bakar olie bekas dan air. Suhu yang dihasilkan dalam ruang pembakaran berkisar antara 500 hingga 1000 derajat Celcius.
Jika Alat semacam ini tersedia di tiap Kelurahan, saya rasa ini sudah cukup untuk mengolah sampah hingga tidak perlu ditumpuk di tempat-tempat pembuangan akhir, yang sebetulnya lahan di sana bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar menyimpan sampah yang entah sampai kapan disimpan terus. Alat ini tidak mahal, tapi mungkin itu juga yang menjadi kendala realisasi buat para pejabat pemerintahan. Karena kurang mahal, biayanya tidak cukup mahal untuk dijadikan proyek bagi-bagi duit buat mereka 😀