4 JENIS HIJAB PENGHALANG QALBU UNTUK MENCAPAI HAKIKAT / MARIFAT

4 JENIS HIJAB PENGHALANG QALBU UNTUK MENCAPAI HAKIKAT / MARIFAT

Hakikat/makrifat adalah istilah yang digunakan dalam tasawuf atau sufisme, yaitu cabang ilmu dalam Islam yang membahas tentang aspek batin atau rohani manusia. Hakikat/makrifat adalah tingkat tertinggi dari kesadaran spiritual, di mana seseorang dapat memahami dan menyaksikan hakikat Allah, diri sendiri, dan alam semesta. Hakikat/makrifat juga berarti ilmu dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman batin yang mendalam, bukan melalui akal atau nalar semata. Hakikat/makrifat adalah tujuan akhir dari perjalanan tasawuf, yang melalui tahapan syariat, tarekat, dan hakikat

Bagaimana sih cara agar bisa mencapai makrifat dan hakikat dalam tasawuf? Makrifat adalah level spiritual tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia. Ketika manusia sudah makrifat, maka segala hakikat kehidupan dan alam semesta, termasuk hakikat dari hal-hal yang dianggap gaib sekalipun, akan bisa dipahami oleh akal pikiran manusia. Makrifat sendiri adalah proses penyatuan mistik antara roh manusia dengan zat Allah. Di sini, manusia bisa melihat Allah dalam hakikat yang sebenarnya, tanpa ada sekat penghalang antara sejati atau rohani manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, tak lagi tertutupi oleh hijab.

Hijab penghalang qalbu adalah istilah yang digunakan dalam tasawuf untuk menggambarkan hal-hal yang menghalangi seseorang dari mengenal dan menyaksikan Allah dalam hakikat-Nya. Hijab penghalang qalbu bisa berupa hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah, yang membuat seseorang terpaku pada dunia dan lupa akan Allah. Hijab penghalang qalbu harus disingkirkan agar seseorang bisa mencapai hakikat/makrifat, yaitu tingkat kesadaran spiritual tertinggi, di mana seseorang bisa memahami dan menyaksikan hakikat Allah, diri sendiri, dan alam semesta.

Menurut Imam Al-Ghazali, ada empat jenis hijab penghalang qalbu, yaitu:

  • Harta, yaitu kecintaan berlebihan pada harta benda, yang membuat seseorang terikat dan terpenjara oleh dunia. Harta bisa menimbulkan keserakahan, kikir, sombong, iri, dan berbagai penyakit hati lainnya. Harta juga bisa mengalihkan perhatian seseorang dari mengingat dan bersyukur kepada Allah, yang merupakan pemberi rezeki. Harta harus digunakan sebagai sarana untuk beribadah dan bersedekah, bukan sebagai tujuan hidup.
  • Jah, yaitu keinginan untuk mendapatkan popularitas, pengakuan, dan pujian dari manusia, yang membuat seseorang terobsesi dan tersandera oleh pandangan orang lain. Jah bisa menimbulkan riya, ujub, takabur, dan berbagai penyakit hati lainnya. Jah juga bisa mengurangi keikhlasan seseorang dalam beribadah, karena ia lebih mengharapkan balasan dari manusia daripada dari Allah. Jah harus dihindari dengan merendahkan diri, menyembunyikan amal baik, dan mengingat bahwa segala kelebihan berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri.
  • Taklid, yaitu kepatuhan buta pada ajaran atau pendapat orang lain, tanpa menggunakan akal dan hati nurani, yang membuat seseorang terjebak dalam kebodohan dan kesesatan. Taklid bisa menimbulkan fanatisme, intoleransi, dan berbagai penyakit hati lainnya. Taklid juga bisa menghalangi seseorang dari mencari ilmu dan kebenaran, karena ia merasa sudah cukup dengan apa yang ia ikuti. Taklid harus diatasi dengan menggunakan akal dan hati nurani, serta mempelajari sumber-sumber agama secara langsung, seperti Al-Quran dan Hadis.
  • Maksiat, yaitu perbuatan yang melanggar syariat Allah, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, yang membuat seseorang terjerumus dalam dosa dan kemurkaan Allah. Maksiat bisa menimbulkan nifak, zulm, dan berbagai penyakit hati lainnya. Maksiat juga bisa menggelapkan hati seseorang, sehingga ia tidak bisa melihat cahaya Allah. Maksiat harus ditanggalkan dengan bertaubat dan berinabah, yaitu meninggalkan dosa dan kembali kepada ketaatan Allah.

Demikian penjelasan singkat tentang 4 jenis hijab penghalang qalbu untuk mencapai hakikat/makrifat. Semoga bermanfaat.

Hijab di sini bukan berarti hijab sebagai penutup kepala dan tubuh wanita seperti yang sehari-hari kita ketahui, tapi hijab di sini adalah hijab kalbu atau batin. Karena, untuk bisa melihat wujud Allah dalam hakikat yang sebenar-benarnya, manusia harus bisa membebaskan kalbu atau batinnya dari segala hijab-hijab penutup. Bagaimana cara melepaskan hijab ini?

Sebelum kita lanjut artikelnya, ada informasi menarik yang perlu kalian simak dulu. Kenapa sih orang spiritual itu banyak yang jatuh ke supranatural, seperti sihir, mencari kesaktian, dan lain-lain? Sebenarnya, spiritual itu tidak sama loh dengan supranatural. Spiritual adalah proses penyelaman diri untuk kembali ke jati diri, sehingga semakin mengenali diri sendiri dan punya kesadaran diri yang baik. Sehingga, manusia jadi punya kontrol diri yang baik dan terbuka segala pengetahuannya terhadap hakikat alam semesta. Harusnya, orangnya jadi makin cerdas dan bijaksana.

Tapi, jika ada yang justru jadi halusinasi, makin mistis, makin klenik, hidupnya makin hancur, atau makin jahat dan manipulatif, bisa jadi itu adalah tanda dari sindrom kundalini yang banyak menyerang orang-orang yang mendalami spiritual.

Selengkapnya, dalam buku Rahasia Makrifat karya Syekh Isuddin bin Abdus Salam ini, dikisahkan agar manusia bisa menyingkap segala hijab penutup kalbu ini dan mencapai makrifat atau hakikat, maka diperlukan kejernihan batin. Dan ternyata, untuk menjernihkan batin ini, ternyata tidak cukup kalau hanya melalui syariat saja. Tapi, manusia juga harus melakukan yang namanya olah batin, atau kalau dalam bahasa milenial sekarang adalah inner work. Jadi, salat, puasa, zakat, haji, dan mengucapkan kalimat syahadat saja itu tidaklah cukup. Tapi, juga diperlukan kejernihan batin dalam kehidupan sehari-hari. Barulah, manusia bisa menjalani kehidupan spiritual dalam Islam.

Dalam buku Rahasia Makrifat, berikut ini dijelaskan bahwa sebenarnya proses untuk mencapai hakikat atau makrifat itu sebenarnya selaras dengan proses manusia dalam meningkatkan level kesadarannya. Namun, dalam Islam, level kesadaran manusia itu bisa meningkat ketika dia bisa menerima dan menyingkap wahyu-wahyu yang disampaikan melalui Malaikat Jibril. Itulah kenapa, dalam buku Power versus Force yang ditulis oleh Dr. David Hawkins ini, dijelaskan ketika manusia sudah mencapai level kesadaran di area spiritual paradigma, di mana kesadaran manusia itu sudah terkalibrasi di level energi 500 ke atas, maka manusia dikatakan mulai mengalami revelation atau wahyu. Di level ini, hakikat-hakikat mulai ditampakkan dan wahyu-wahyu atau nubuat atau ilham keilahian mulai banyak diterima oleh manusia melalui otaknya. Jibril sendiri, dalam buku Rahasia Makrifat ini, dijelaskan secara hakikat sebagai guru manusia untuk makrifat melalui wahyu.

Sebenarnya, tugas Jibril pada hakikatnya adalah membantu manusia agar naik level kesadarannya, karena itu wahyu-wahyu Ilahi disampaikan kepada manusia. Wahyu-wahyu ini telah disampaikan kepada nabi dan rasul, tapi setelah era nabi dan rasul berakhir, apakah manusia tidak lagi bisa mendapatkan pesan-pesan kesadaran dari Jibril? Ternyata tetap bisa. Tugas Malaikat Jibril selain menyampaikan wahyu kepada Nabi dan Rasul, ternyata juga menyampaikan Rahmat kepada hamba-hamba atau manusia yang bertakwa. Di dalam hadis sahih Bukhari juga disebutkan, dari Abu Hurairah Radhialah Anhu, Rasulullah pernah bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Bahwasanya Allah mencintai Fulan, maka Cintailah Fulan,’ dan Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril pun mengumumkan kepada penghuni langit: ‘Bahwasanya Allah mencintai Fulan, maka Cintailah ia,’ dan para penghuni langit pun mencintai Fulan. Kemudian dikabulkanlah permohonannya di dunia.”

Nah, di berbagai kebudayaan dan agama lain, sosok makhluk cahaya yang bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan kewahyuan untuk meningkatkan level kesadaran manusia ini juga ada. Di kebudayaan Jawa, ada sosok Semar yang bertugas untuk memberikan nubuat, nasihat, ilham, atau wahyu kepada orang-orang Jawa agar level kesadaran mereka terus mengalami peningkatan, dan spiritualitas manusia terus bertambah. Di beberapa aliran Gereja Kristen, ada konsep Roh Kudus yang penafsirannya juga merujuk kepada malaikat Gabriel atau Jibril yang bertugas membawa pesan-pesan Ilahi dan kebenaran langsung dari Tuhan kepada manusia. Pada hakikatnya, tugasnya juga sama, untuk meningkatkan level kesadaran dan level spiritual manusia.

Kembali ke buku rahasia makrifat ini, makrifat adalah suatu tahapan di mana roh manusia itu bisa melihat, mengenal, bahkan mengalami zat Allah secara langsung. Cara manusia agar bisa mengenali Tuhan langsung pada zat adalah ketika manusia sudah hilang dari nama Tuhan alias sudah terlepas dari kemelekatan akan identitas Tuhan. Jika manusia sudah bisa membebaskan diri dari kemelekatan terhadap Tuhan itu sendiri, maka secara alami manusia akan menemukan Allah. Ketika Allah memperkenalkan hakikatnya kepada manusia, maka itu artinya derajat manusia telah diangkat oleh Tuhan di atas seluruh makhluk-Nya. Karena itu, orang-orang bijak dan orang tua di tasawuf atau di Kejawen sering mengatakan bahwa orang yang mampu mencapai hakikat atau makrifat itu adalah orang-orang pilihan, sebab manusia tidak akan bisa sampai pada Allah kecuali dengan kuasa Allah itu sendiri.

Banyak orang yang berusaha keras untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka ibadah keras mereka rutin ikut tarekat, tapi mereka gagal untuk mencapai hakikat atau makrifat itu sendiri, karena memang tidak semua orang yang mengikuti tarekat itu bisa beruntung mencapai hakikat atau makrifat. Makanya, mereka lantas disebut sebagai orang-orang pilihan. Menurut pengalaman para pelaku tasawuf itu sendiri, Tuhan baru akan menampakkan dirinya saat Tuhan sendiri yang menginginkan hambanya. Jika seorang hamba menginginkan Tuhan, justru Tuhan tidak akan menampakkan di. Itulah kenapa kemelekatan dan hasrat terhadap Tuhan sendiri itu harus dilepaskan. Ini mirip sih seperti penjelasan dalam buku “Power versus Force” oleh Dr. David Hawkins.

Sebenarnya, fenomena makrifat ini adalah fenomena spiritual yang universal yang juga bisa dialami oleh umat beragama lain, bahkan umat tak beragama sekalipun. Mulai dari agama apapun, agnostik, atau kepercayaan lokal, semua bisa mengalami pengalaman kemanunggalan atau penyatuan mistik dengan Tuhan itu sendiri. Semakin diinginkan, malah semakin tidak bisa. Justru ketika keinginan dan hasrat tersebut dilepaskan, malah akan menyatu dengan Tuhan dengan sendirinya. Namun, bagi orang yang kesadarannya tidak cukup mumpuni, tentu orang-orang yang telah berhasil melepaskan kemelekatan terhadap Tuhan itu dikira ateis dan berdosa, padahal sebenarnya ini adalah hal yang normal dan wajar dialami oleh para pejalan spiritual, apapun agama dan latar belakang budaya atau filosofi yang mereka tempuh.

Tuhan akan menampakkan dirinya saat tidak dalam pandangan manusia. Tuhan akan menampakkan dirinya saat manusia berhenti bergantung kepada Tuhan, dan hakikat Tuhan tak lagi memberikan pengaruh apa-apa bagi manusia. Manusia menjadi makhluk yang bebas, lepas, dan suwung, atau mengalami ketenangan batin seperti medan nol saking tenangnya. Agar bisa mencapai state ini, maka manusia mutlak perlu untuk menjernihkan batin atau kalbu mereka agar bisa mengalami peningkatan rohani atau peningkatan level kesadaran. Pangkal dan tonggak dari tingkatan-tingkatan rohani untuk melihat Allah dalam buku rahasia makrifat ini adalah tobat, alias memohon ampun, menyudahi, dan melepaskan segala dosa, perbuatan, dan kenangan-kenangan negatif atau kenangan maksiat yang membuat batin itu menjadi kotor. Bahkan dikatakan dalam buku ini bahwa tobat itu bisa memotong segala dosa sebelumnya, dan ternyata syarat sahnya tobat itu adalah sama dengan melepaskan atau letting go, seperti yang dijelaskan oleh Dr. David Hawkins dalam bukunya yang berjudul “Letting Go”.

Pada dasarnya, kekotoran batin manusia itu disebabkan oleh dosa, luka, dan trauma masa lalu yang terekam jelas di pikiran bawah sadar manusia. Ketika manusia melakukan tobat, ada aktivitas melepaskan emosi negatif di situ yang membuat manusia kembali nol atau suci, layaknya kertas putih yang belum ternoda apa-apa. Jadi, jika kalian bertujuan untuk bisa makrifat, maka lakukanlah tobat sering-sering agar batin semakin jernih, dan akhirnya bisa melihat wujud Allah sendiri yang sebenar-benarnya. Tobat sendiri ada tiga jenis tingkatan, yakni Taubah, Aubah, dan Inabah. Kalau kalian ingin mencapai spiritual dalam Islam, maka taubatnya harus sampai ke aubah. Bagaimanakah tobat aubah tersebut? Kita akan lanjut di part kedua.

***

Aubah adalah salah satu istilah dalam tasawuf yang berarti kembali kepada Allah setelah sebelumnya telah bertaubat dan berinabah. Aubah adalah tingkat yang lebih tinggi dari taubat dan inabah, karena di sini seseorang tidak hanya meninggalkan dosa dan kembali kepada ketaatan, tetapi juga meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi dirinya dari mengingat dan mencintai Allah. Aubah adalah keadaan di mana seseorang selalu merasa dekat dengan Allah dan tidak terpengaruh oleh godaan dunia.

***

Dalam buku rahasia makrifat ini, dijelaskan bahwa manusia ingin mencapai tingkat spiritual tertinggi dalam Islam, yakni hakikat atau makrifat, maka manusia mutlak perlu menjernihkan isi batinnya. Cara untuk menjernihkan isi batin ini adalah dengan melakukan tobat. Dikatakan bahwa tobat itu mampu memotong dosa-dosa terdahulu, tapi ternyata tobat itu sendiri ada tingkatannya, mulai dari Taubah, Aubah, dan Inabah. Jika kalian ingin mencapai hakikat atau makrifat, maka tobatnya perlu sampai ke aubah. Awalannya adalah Taubah, akhirnya adalah aubah, tengah-tengahnya adalah inabah. Apa sih perbedaan dari ketiganya? Taubah adalah jenis tobat yang dilakukan manusia awam karena takut akan hukuman, seperti takut dengan siksa neraka, takut terjadi hukuman timbal balik, atau takut dengan siksa kubur. Inabah adalah tobat yang dilakukan manusia karena mengharapkan pahala atau surga. Aubah adalah tobatnya orang-orang yang bertujuan untuk menjaga dan melaksanakan kehambaan, atau untuk menjaga kemanusiaan semata, bukan karena berharap pahala atau takut akan neraka lagi. Taubah adalah tobat orang-orang Islam pada umumnya, terutama yang masih menjalankan Islam secara syariat, sedangkan inabah adalah sifatnya para wali, aubah adalah sifatnya para nabi.

Menurut skala kesadaran Hawkins, berikut ini yang banyak dibahas oleh Dr. David Hawkins dalam bukunya “Power versus Force”, maka taubat itu adalah tobatnya manusia yang masih berada di level 3D atau masih di ranah Force, sedangkan inabah adalah tobatnya orang-orang yang sudah di level 4D, yang berada di level Power, sedangkan aubah adalah tobatnya orang-orang yang sudah berada di level 5D, bahkan 12D, yang mana ini sudah masuk tobatnya orang-orang yang tercerahkan, yang menduduki puncak spiritual tertinggi dalam skala kesadaran Hawkins. Kalau dari penjelasan Syekh Izuddin bin Abdus Salam sendiri dalam buku rahasia makrifat ini, dijelaskan bahwa tobatnya orang awam itu adalah tobat dari dosa, tobatnya orang khawas adalah dari kelalaian kalbu, dan tobatnya orang khawasul kawas adalah dari segala sesuatu selain sang kekasih atau Allah atau Tuhan. Orang yang khawasul khawas ini adalah orang-orang yang sudah hakikat atau makrifat.

Bagi orang yang sudah makrifat, memandang pahala dan memperhatikan siksa, entah itu siksa kubur, entah itu siksa neraka, itu adalah aib bagi mereka. Karena mereka secara lahir dan secara batinnya itu sudah selaras menyembah Allah sepanjang waktu, dan selalu melaksanakan penghambaan dalam setiap detik kehidupannya. Penghambaannya ini, bagaimana sih? Menjalankan fungsi manusia di bumi yang menjalankan sifat-sifat kemanusiaan, dan menjadi khalifah atau wakil Allah di bumi. Orang makrifat sudah tak lagi takut dengan siksa kubur atau siksa neraka, dan mereka juga tidak lagi mengharapkan pahala atau surga. Mereka hanya takut karena segan kepada Tuhan, dan harapan mereka muncul karena percaya kepada-Nya. Karena itulah, dalam buku ini juga dikatakan, sebaik-baiknya hamba Allah itu adalah orang yang syuhaib. Orang yang syuhaib itu tidak takut kepada Allah, namun juga tidak durhaka kepadanya.

Dalam kehidupan orang yang sudah makrifat, maka hati, pikiran, dan tubuhnya itu menjadi sinkron. Bila hati dan pikiran, atau batin itu menjadi ikhlas untuk taat, maka anggota tubuh atau lahirnya ini akan dipakai untuk ketaatan. Bila tubuh atau lahir itu berbuat taat, maka hati dan pikiran, atau batin mereka akan menjadi khusyuk, jernih, dan bersih. Sehingga roh manusia juga ikut jernih, dan semakin sadar akan kehadiran Tuhan yang terus-menerus ada dalam lahir dan batinnya. Dan sebenarnya ada ikatan rani dan ikatan rohani di antara jasad dan roh, atau diri sejati manusia. Jika rohani manusia makin meningkat, atau makin meningkat level kesadarannya, maka satu per satu hijab yang menghalangi manusia untuk melihat zat Allah itu akan terbuka, sampai nanti manusia benar-benar bisa melihat, merasakan, serta mendengarkan hakikat Tuhan yang sesungguhnya.

Nah, ketika manusia sudah tercerahkan, atau makrifat, cara agar batin manusia jernih, dan bisa naik level kesadarannya, adalah dengan melakukan tobat. Yakni dengan menyadari kesalahan atau dosa yang pernah kita lakukan di masa lalu, menerimanya sebagai bagian dari diri kita, lalu memohon ampun kepada Tuhan, meminta maaf, dan memaafkan diri sendiri, kemudian melepaskannya, dan mengambil pelajaran penting dari kejadian-kejadian di masa lalu. Inilah yang disebut dengan tobat, yang juga selaras dengan proses letting go, atau melepaskan, yang diajarkan oleh Dr. David Hawkins dalam bukunya yang berjudul “Letting Go”. Selengkapnya, kalian bisa baca sendiri di buku-buku yang ada dalam video. Untuk mendapatkan bukunya, kalian bisa klik playlist yang ada di akun TikTok saya, lalu klik judul bukunya, dan check out bukunya di keranjang kuningnya.

Syekh Izuddin bin Abdus Salam mengatakan, salah satu metode agar kita bisa membuka hijab kalbu, dan menjernihkan batin, agar bisa mencapai hakikat atau makrifat, adalah dengan bertobbat. Tapi, seperti apa sih bentuk dari hijab kalbu tersebut yang menjadi penghalang manusia dalam melihat Allah? Dalam buku rahasia makrifat ini, ada sebuah cerita yang cukup menarik, dari seorang ulama sufi yang berhasil melepaskan hijab-hijab penutup kalbunya, sehingga bisa makrifat dengan Allah. Abu Yazid al-Bustami, seorang ulama sufi di abad ke-9 Masehi, menjelaskan bahwa hijab kalbu manusia yang membuat manusia itu terpisah dari Allah itu ada empat, yakni nafsu, hawa, nafsu setan, dan dunia. Dalam buku rahasia makrifat ini, dikisahkan bahwa beliau bertahan selama 12 tahun dengan nafsu yang berkabung, selama 5 tahun beliau mengkilapkan cermin nafsunya, dan selama 1 tahun beliau merenungkan hubungan antara nafsu, hawa, nafsu setan, dunia, dan dirinya. Abu Yazid al-Bustami bercerita, “Tiba-tiba, di perutku terdapat ikat pinggang. Aku pun berusaha untuk memotongnya. Selama 5 tahun aku berpikir bagaimana cara untuk memotongnya. Akhirnya, aku dapat memotongnya.” Lalu, aku mengalami mukasyafah, atau mengalami penyingkapan dan penampakan sesuatu yang abstrak dan terselubung atau mahjum. Aku lalu memandang kepada makhluk, dan kulihat mereka semua mati. Aku pun bertakbir empat kali atas kematian mereka. Mukasyafah di sini ini selaras dengan fenomena revelation, atau penyikapan wahyu, dalam skala kesadaran Hawkins yang dijelaskan oleh Dr. David Hawkins dalam bukunya “Power versus Force”.

Sebenarnya, yang mendapatkan wahyu, atau rahmat, atau pesan-pesan kesadaran ilahiah ini tidak hanya nabi atau rasul saja. Setelah era nabi atau rasul berakhir, malaikat Jibril yang bertugas membagikan rahmat kepada orang-orang mukmin dan saleh itu tetap bekerja. Ia terus-menerus membagikan pesan-pesan kesadaran kepada hamba Tuhan yang saleh dan pilihan, agar level kesadarannya itu terus naik, hingga akhirnya tercerahkan, atau makrifat, kepada Allah. Jika kalian seorang yang Islam, dan sedang mendalami tasawuf, lalu akhir-akhir ini kalian seperti mendapatkan ilham-ilham pencerahan yang tiba-tiba masuk melalui kalbu atau intuisi, itu bisa jadi merupakan kinerja dari malaikat Jibril yang menyapa kalian, dan sedang membantu kalian meningkatkan level kesadaran, agar bisa semakin naik rohaninya, dan lebih dekat lagi kepada hakikat sang pencipta.

Kita kembali ke cerita Abu Yazid al-Bustami. Makna dari cerita Abu Yazid al-Bustami tersebut adalah bahwa Abu Yazid telah bermujahadah, atau berusaha dengan sungguh-sungguh, mengendalikan hawa nafsu, dan memusnahkan berbagai kepalsuannya, serta sifat ujub, sombong, rakus, dendam, dengki, dan lain-lain, yang merupakan kebiasaan nafsu. Beliau berupaya melakukan upaya pemusnahan tersebut dengan memasukkan nafsu ke dalam ancaman, lalu memukulnya dengan palu-palu perintah dan larangan, yakni melalui hukum syariat atau fikih, sehingga itu membuatnya habis-habisan melawan nafsu dan hawa nafsunya sendiri. Dan ia yakin bahwa nafsunya itu sudah bersih. Selanjutnya, Abu Yazid memperhatikan cermin keikhlasan hatinya. Ternyata, sisa-sisa syirik hafi, yaitu ri memandang amal, mengharapkan pahala, dan takut siksa, serta mendambakan makam karamah, dan anugerah-anugerah lain, itu masih ada. Hal-hal ini merupakan syirik bagi kelasan

. Lalu, Abu Yazid pun mengukirnya dengan mata kebahagiaan dan kesabaran, dengan pahit dan manis, hingga hatinya itu jernih, dan seolah-olah telah tak lagi menilai suatu amal itu baik atau buruk, semuanya sama baginya, dan hatinya itu menilai bahwa amal itu bisa menjadi baik, atau buruk, atau tidak sama sekali, semuanya kembali kepada niatnya, dan keberadaan hakikat sebenarnya.

Setelah itu, barulah Abu Yazid al-Bustami mulai melakukan tahap penyingkapan, atau penyingkapan kesadaran, atau makrifat. Ia mengalami mukasyafah atau penyingkapan atau penampakan hakikat yang abstrak itu. Dikatakan bahwa ketika Abu Yazid telah menjernihkan batinnya itu, tiba-tiba di perutnya ada ikat pinggang. Abu Yazid pun berusaha untuk memotong ikat pinggang itu. Selama lima tahun, Abu Yazid berpikir bagaimana cara untuk memotong ikat pinggang tersebut. Akhirnya, setelah merenungkan hubungan antara nafsu, hawa nafsu, nafsu setan, dan dunia itu, serta melalui proses mukasyafah, atau pengungkapan yang sangat abstrak atau tertutup, Abu Yazid mampu memotong ikat pinggang tersebut. Dan pada saat itulah, dia bisa melihat hakikat sebenarnya dari segala sesuatu. Semua makhluk di depan matanya itu terlihat mati. Kemudian, Abu Yazid mengatakan “Takbir!” sebanyak empat kali atas kematian mereka. Itulah salah satu pengalaman Abu Yazid al-Bustami dalam mencapai hakikat atau makrifat itu sendiri. Itulah yang dinamakan dengan mukasyafah.

Sebenarnya, metode yang dilakukan oleh Abu Yazid al-Bustami ini adalah metode yang sangat sulit, dan tidak bisa dilakukan oleh orang awam. Namun, bagi yang sudah menjalani jalur tasawuf atau jalur spiritualitas dalam Islam, atau sudah menjalani jalan spiritualitas, mereka bisa mencoba untuk mengikuti jejak para salafus shalih, atau jalur para wali dan nabi, yang sudah lebih dahulu mencapai hakikat atau makrifat itu sendiri. Semua itu butuh perjuangan, kesabaran, kerendahan hati, pengendalian diri, dan juga bimbingan dari guru spiritual yang mumpuni.

Jika kalian ingin belajar lebih lanjut tentang cara-cara menjalani jalan spiritualitas, atau mencapai hakikat atau makrifat dalam Islam, kalian bisa membaca buku-buku tasawuf, atau buku-buku kejawen, atau buku-buku tentang spiritualitas, atau buku-buku yang membahas tentang peningkatan kesadaran, atau buku-buku tentang meditasi, atau buku-buku yang membahas tentang proses penyucian hati, atau buku-buku yang membahas tentang tahap-tahap mendekatkan diri kepada Tuhan, atau buku-buku yang membahas tentang ilmu hakikat atau makrifat. Salah satu buku yang bisa kalian baca adalah buku rahasia makrifat ini.

Kenapa sih orang spiritual itu banyak yang jatuh ke supranatural, seperti sihir, mencari kesaktian, dan lain-lain? Sebenarnya, spiritual itu tidak sama, loh, dengan supranatural. Spiritual adalah proses penyelaman diri untuk kembali ke Jati Diri, sehingga semakin mengenali diri sendiri dan punya kesadaran diri yang baik. Sehingga manusia jadi punya kontrol diri yang baik dan terbuka segala pengetahuannya terhadap hakikat alam semesta. Harusnya, orangnya jadi makin cerdas dan bijaksana, tapi jika ada yang justru jadi halusinasi, makin mistis, makin klinik, hidupnya makin hancur atau makin jahat dan manipulatif, bisa jadi itu adalah tanda dari sindrom kundalini yang banyak menyerang orang-orang yang mendalami spiritual.

Catatan:

Syekh Izuddin bin Abdus Salam adalah seorang ulama besar mazhab Syafi’i yang hidup pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah (abad ke-12 dan ke-13 Masehi). Ia dikenal sebagai Sulthanul Ulama (Raja para Ulama) karena keilmuannya yang luas dan mendalam dalam berbagai bidang, seperti fiqih, tafsir, hadis, tasawuf, dan kalam. Ia juga dikenal sebagai pemberani, warak, dan zuhud, yang tidak takut mengkritik para penguasa dan bangsawan yang zalim dan tidak adil. Ia lahir di Damaskus dari keluarga miskin dan mulai belajar ilmu agama di usia tua. Ia menulis banyak karya yang menjadi rujukan bagi ulama-ulama sesudahnya, seperti Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Raudhat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin, dan Iqaz al-Himam fi Syarh al-Hikam. Ia wafat di Mesir pada tahun 660 H dan dimakamkan di pekuburan al-Qarafah al-Kubra

Comments

comments