Benarkah Allah Mengharamkan kita Melukis dan Membuat Patung?

Benarkah Allah Mengharamkan kita Melukis dan Membuat Patung?

Ada beberapa kejadian yang dilaporkan di mana anggota Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam perusakan patung. Salah satu insiden yang cukup dikenal adalah perusakan patung-patung wayang di Purwakarta, Jawa Barat, yang terjadi sejak September 2011. Misalnya, patung Bima di pertigaan Jalan Baru dirobohkan, lalu patung Semar di pertigaan Combro dan patung Gatot Kaca di pertigaan Martadinata. Kejadian ini menimbulkan kontroversi dan diskusi mengenai pembuatan dan penghancuran patung dalam konteks hukum Islam dan budaya lokal.

Peristiwa ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat dan interpretasi mengenai hukum pembuatan patung dalam Islam, yang juga mencerminkan interaksi antara nilai-nilai agama dan tradisi budaya setempat. Penting untuk dicatat bahwa FPI sebagai organisasi telah dibubarkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 20202.Ada beberapa kejadian yang dilaporkan di mana anggota Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam perusakan patung. Salah satu insiden yang cukup dikenal adalah perusakan patung-patung wayang di Purwakarta, Jawa Barat, yang terjadi sejak September 2011. Misalnya, patung Bima di pertigaan Jalan Baru dirobohkan, lalu patung Semar di pertigaan Combro dan patung Gatot Kaca di pertigaan Martadinata. Kejadian ini menimbulkan kontroversi dan diskusi mengenai pembuatan dan penghancuran patung dalam konteks hukum Islam dan budaya lokal.

Peristiwa ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat dan interpretasi mengenai hukum pembuatan patung dalam Islam, yang juga mencerminkan interaksi antara nilai-nilai agama dan tradisi budaya setempat. Penting untuk dicatat bahwa FPI sebagai organisasi telah dibubarkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 20202.

Dalam Islam, terdapat hadits yang menyatakan bahwa menggambar makhluk bernyawa dan membuat patung dapat dianggap haram atau berdosa. Berikut adalah beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini:

  1. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kain yang memiliki gambar makhluk bernyawa dan beliau merobeknya sambil bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu yang menandingi ciptaan Allah.”
  2. Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).’”
  3. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku? Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum.’”

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menggambar atau membuat patung yang menyerupai makhluk bernyawa adalah haram karena dianggap menandingi ciptaan Allah. Namun, ada juga pendapat lain yang memperbolehkan dalam konteks tertentu, seperti mainan anak-anak atau untuk tujuan pendidikan. Penting untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli fiqh yang terpercaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual mengenai masalah ini.

Dalam pandangan pribadi saya sih, jangankan cuma menggambar dan membuat patung yang menyerupai makhluk bernyawa, membuat klon makhluk bernyawa juga Allah izinkan kok. Bagaimana mungkin gambar sketsa, gambar komik, gambar ilustrasi, dan gambar-gambar kreasi manusia bisa menandingi kekuasaan Allah yang Maha Segalanya? Ini adalah hadis yang tidak sesuai dengan akal sehat. Tapi mungkin saja ada latar belakangnya kenapa hadis seperti ini bisa ditulis.

Apa yang melatarbelakangi keluarnya hadis tersebut? karena gak sesuai akal sehat. Jangankan cuma melukis dan membuat patung. Membuat kloning makhluk hidup dan rekayasa genetik makhluk hidup sekalipun Allah izinkan kok.

Pemahaman tentang hadits yang melarang menggambar dan membuat patung memang beragam dan telah menjadi topik diskusi di kalangan ulama. Beberapa alasan yang melatarbelakangi hadits tersebut antara lain:

  1. Menandingi Ciptaan Allah: Hadits-hadits tersebut menekankan bahwa membuat gambar atau patung makhluk bernyawa dianggap sebagai tindakan menandingi ciptaan Allah.
  2. Pengagungan: Ada kekhawatiran bahwa gambar atau patung bisa digunakan untuk pengagungan yang berlebihan, terutama jika itu adalah gambar atau patung orang yang dihormati atau dianggap suci.
  3. Menyerupai Praktik Musyrik: Membuat patung juga dianggap menyerupai praktik kaum musyrik yang membuat patung sebagai objek pemujaan.

Namun, dalam konteks modern, banyak ulama yang memberikan pandangan lebih luwes terhadap masalah ini, dengan mempertimbangkan konteks dan niat di balik pembuatan gambar atau patung. Misalnya, gambar dua dimensi yang tidak menyerupai makhluk bernyawa atau untuk tujuan pendidikan dan mainan anak-anak bisa dianggap tidak termasuk dalam larangan tersebut.

Tentang Kloning

Mengenai kloning dan rekayasa genetik, pandangan Islam cenderung lebih terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kloning pada hewan tidak dipermasalahkan, tetapi kloning manusia masih menjadi topik debat karena berbagai implikasi etis dan hukum syariah. Rekayasa genetik pada tumbuhan, hewan, dan mikroba umumnya dianggap mubah (boleh) asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak menimbulkan dampak negatif.

Hawa dijadikan melalui Proses Kloning

Pandangan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam memang ditemukan dalam beberapa sumber Islam, tetapi interpretasi ini bervariasi di kalangan ulama. Menurut beberapa tafsir, ayat Al-Qur’an Surah An-Nisa (4:1) menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari ‘nafs wahidah’ (jiwa yang satu), yang kemudian diciptakan darinya pasangannya1. Ini sering diinterpretasikan bahwa Hawa diciptakan dari Adam.

Namun, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa interpretasi ini tidak tepat dan bahwa Hawa diciptakan dari materi yang sama seperti Adam, bukan dari tulang rusuknya2. Beberapa ulama kontemporer menolak pandangan tradisional ini dan menganggapnya sebagai ‘israiliyat’ (cerita yang berasal dari tradisi Yahudi yang tidak memiliki dasar kuat dalam sumber-sumber Islam).Namun, dalam konteks modern, banyak ulama memberikan pandangan yang lebih fleksibel terhadap masalah ini dengan mempertimbangkan konteks dan niat di balik pembuatan gambar atau patung. Misalnya, gambar dua dimensi yang tidak menyerupai makhluk hidup atau digunakan untuk tujuan pendidikan dan mainan anak-anak bisa dianggap tidak termasuk dalam larangan tersebut.

Mengenai kloning dan rekayasa genetik, pandangan Islam cenderung lebih terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kloning pada hewan tidak dipermasalahkan, tetapi kloning manusia masih menjadi topik debat karena berbagai implikasi etis dan hukum syariah. Rekayasa genetik pada tumbuhan, hewan, dan mikroba umumnya dianggap boleh (mubah) asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak menimbulkan dampak negatif.

Pandangan ini menunjukkan adanya keragaman interpretasi dalam tradisi Islam, dan penting untuk memahami bahwa tidak semua ulama setuju dengan interpretasi bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Diskusi lebih lanjut dengan ulama yang kompeten dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah ini.

Ulama yang kompten itu yang bagaimana? meskipun mereka hafal Qur’an dan hadits, menguasai bahasa arab, menguasai ilmu-ilmu pendukung tafsir Qur’an dan hadits, mereka itu kan bukan ahli dan praktisi di bidang Rekayasa Genetik makhluk hidupUlama yang kompeten itu bagaimana? Meskipun mereka hafal Al-Qur’an dan hadis, menguasai bahasa Arab, serta memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tafsir Al-Qur’an dan hadis, mereka bukanlah ahli dan praktisi di bidang Rekayasa Genetik makhluk hidup.

Ulama yang kompeten dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam, termasuk hafal Qur’an dan hadits, menguasai bahasa Arab, serta ilmu-ilmu pendukung tafsir Qur’an dan hadits. Mereka juga harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menafsirkan teks-teks agama dalam konteks kontemporer dan isu-isu etis yang muncul dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Meskipun ulama mungkin bukan ahli dalam bidang rekayasa genetik, mereka dapat berkolaborasi dengan para ilmuwan dan praktisi di bidang tersebut untuk memahami implikasi teknologi ini dari perspektif syariah. Dengan demikian, mereka dapat memberikan pandangan yang seimbang dan informasi yang dapat diandalkan tentang bagaimana hukum Islam diterapkan dalam konteks baru ini.

Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, pengetahuan dibagi menjadi dua: ‘ilmu naqli’ (pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu) dan ‘ilmu aqli’ (pengetahuan yang diperoleh melalui akal). Ulama yang kompeten akan menggunakan kedua jenis pengetahuan ini untuk memberikan pandangan yang holistik dan relevan dengan zaman.

Dalam hal rekayasa genetik, ulama yang kompeten akan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah, seperti perlindungan kehidupan, pencegahan kerusakan, dan kesejahteraan umat manusia, sambil juga mempertimbangkan temuan dan rekomendasi dari para ahli di bidang genetika. Mereka akan mencari titik temu antara ajaran Islam dan praktik terbaik dalam sains dan teknologi untuk memberikan panduan yang sesuai.

Comments

comments