Antara Bimbel dan Dunia Sekolah

Antara Bimbel dan Dunia Sekolah

Waktu saya masih duduk di bangku SD, saya belum kenal istilah Bimbel. Saya baru mengenal istilah Bimbel saat kelas dua SMP, saat dibagi selebaran Try Out Ebtanas dari sebuah lembaga bimbingan belajar di dekat sekolah. Waktu kelas 6 SD, saya pribadi hanya belajar dari buku-buku kumpulan soal dan pembahasan Ebtanas tahun-tahun sebelumnya yang begitu mudah dibeli di toko-toko buku.

Bimbingan belajar akan selalu dibutuhkan selama nilai-nilai akademik menjadi parameter penilaian siswa. Saat saya sekolah SMA, Bimbel memang selalu menjadi polemik bagi guru-guru di sekolah. Bagaimanapun juga, Bimbel lahir dari ketidaksempurnaan sistem sekolah. Lebih tepatnya sih sistem pendidikan, parameter pendidikan yang sangat berkiblat pada nilai.

Bimbel banyak memberikan rejeki tambahan bagi para guru bidang eksakta yang ngajarnya bagus. Bimbel juga memberikan kecemburuan sosial bagi para guru yang tidak ikut kecipratan rejeki dari beroperasinya Bimbel.

Seandainya saya bisa kembali ke masa lalu, dengan kondisi pendidikan nasional seperti sekarang, mungkin saya akan ngotot untuk memilih Home Schooling + Bimbel saja, nggak usah sekolah. Karena saya sekarang merasa, sekolah formal terlalu banyak menjejali murid-muridnya dengan pelajaran-pelajaran yang ternyata tidak terpakai dalam hidupnya. Ide terliar yang ada dalam pikiran saya, home schooling untuk mengoptimalkan potensi bakat dan minat, bimbel untuk persiapan ujian pendidikan formal. Tapi yang jadi masalah, dulu di tahun 90-an, rasanya pemerintah kita belum terlalu mendukung program home schooling ya?

Sistem pendidikan kita sekarang memang belum ideal seperti sistem Prodimaar. Memang banyak sih pembenaran-pembenaran yang dikatakan oleh “para ahli” pendidikan. Alasan yang paling bisa diterima dari pentingnya sekolah adalah, sekolah adalah tempat berteman dan bersosialisasi, bersekolah supaya banyak teman, bersekolah supaya tahu tata krama, supaya bisa menghormati guru, teman, penjaga sekolah, tukang dagang di sekolah, kakak kelas, adik kelas… Sayangnya, saat ini, terutama di sekolah fullday yang masuknya jam 7 pagi dan pulangnya jam 2 siang, sistem pendidikan formal yang tidak sempurna terlalu banyak merampas hak-hak anak untuk berkembang optimal sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan